NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:245
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Narasi dari Neraka

Matahari pagi di jalan tol itu terasa hambar. Sinarnya terang, tapi tidak menghangatkan.

Elara masih duduk bersimpuh di aspal bahu jalan, menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Terlihat file ".docx", dengan pesan bertuliskan, "Jangan dibuka, kalau kamu nggak siap lihat ending di mana tokoh utamanya mati."

Luka tusukan pulpen di telapak tangan kirinya sudah berhenti mengucurkan darah segar, tapi rasa nyerinya berubah menjadi denyutan tumpul yang menjalar sampai ke siku.

Di sampingnya, Sarah dan Bobi mulai siuman. Mereka mengerang pelan, memegangi kepala yang pening akibat efek samping perjalanan lintas dimensi.

"El..." suara Bobi terdengar parau, kayak orang abis nelen pasir. Dia duduk sambil memijat pelipisnya. "Kita... kita udah balik? Ini dunia nyata, kan? Bukan dunia kertas lagi?"

Sarah ikut bangun, matanya langsung menyapu sekeliling dengan waspada. Dia melihat mobil-mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi di jalur utama tol. Suara deru mesin dan klakson terdengar begitu biasa, begitu duniawi.

"Kita balik, Bob," gumam Sarah lega, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah panik. "Rian mana? El, Rian mana?!"

Elara tidak menjawab secara lisan. Dia hanya mengangkat ponselnya yang menampilkan pesan WhatsApp terakhir dari Rian, atau siapapun yang mengirim itu.

"Denting Terakhir - Epilog Alternatif.docx"

"Dia... dia nggak ikut balik," bisik Elara, air matanya menetes jatuh ke layar ponsel. "Dia ngorbanin dirinya buat dorong kita keluar. Dia jatuh bareng Elena."

"Apa?!" Bobi langsung berdiri, mengabaikan kakinya yang pincang. Dia berlari ke pinggir pembatas jalan tol, melihat ke bawah jembatan layang. Kosong. Hanya ada lahan kosong dan ilalang di bawah sana. Nggak ada gubuk buku, nggak ada lembah kertas remas. "Nggak mungkin... Rian jago basket, Sar! Dia pasti bisa manjat! Dia..."

Kalimat Bobi terhenti. Dia sadar Rian nggak pernah main basket. Itu cuma bohongnya Rian pas di dunia kertas tadi. Rian itu anak rumahan yang lebih suka nyeduh kopi daripada olahraga.

"Dia bohong biar kita mau ninggalin dia," kata Sarah, suaranya pecah. Dia menutup mulutnya, menahan isak tangis yang menyakitkan.

Elara menatap ikon dokumen di ponselnya. Jari jempolnya melayang ragu di atas layar.

Jangan dibuka kalau kamu nggak siap lihat ending di mana tokoh utamanya mati.

Peringatan itu jelas banget. Tapi rasa penasaran Elara dan secercah harapan bodoh bahwa mungkin Rian masih bisa diselamatkan, jauh lebih kuat.

"Gue harus buka," kata Elara.

"Jangan, El," cegah Sarah. "Gimana kalau itu virus? Atau mantra lagi? Kita baru aja lolos, El!"

"Kalau ini pesan terakhir Rian, gue harus baca, Sar! Gue berhak tau!" bantah Elara keras kepala.

Tanpa menunggu persetujuan lagi, Elara menekan file itu.

Loading...

Aplikasi pembuka dokumen di ponselnya berputar sebentar. Lalu, teks mulai muncul.

Elara menahan napas, bersiap membaca deskripsi kematian Rian yang mengerikan. Mungkin deskripsi bagaimana dia dicabik-cabik monster Elena, atau bagaimana dia berubah menjadi tumpukan kertas selamanya.

Tapi bukan itu yang tertulis.

Isi dokumen itu cuma satu paragraf pendek. Dan anehnya, kursor di akhir kalimat itu berkedip-kedip, seolah-olah ada yang sedang mengetiknya sekarang juga secara live.

Tulisannya berbunyi:

[EPILOG: PENJEMPUTAN]

"Elara duduk di bahu jalan KM 97. Dia menangis. Sarah dan Bobi berdiri di sampingnya, putus asa. Mereka mengira mimpi buruk sudah berakhir. Mereka salah. Karena tepat pada pukul 06.15 pagi, sebuah mobil patroli jalan raya akan berhenti di depan mereka."

Elara mengerutkan kening. Dia reflek melihat jam di sudut layar ponselnya.

06:14

"Satu menit lagi..." bisik Elara. Bulu kuduknya meremang.

"Apanya yang satu menit?" tanya Bobi bingung.

"Di cerita ini..." Elara menelan ludah. "Katanya ada mobil polisi bakal dateng jam 06.15."

Sarah langsung waspada. "Polisi? Bagus dong? Kita butuh bantuan. Kita butuh ambulans buat tangan lo."

"Nggak, Sar. Lo nggak ngerti," kata Elara, matanya liar menatap jalanan di kejauhan. "Kalau teks ini bisa prediksi masa depan... berarti kita masih di dalam cerita. Kita belum keluar sepenuhnya. Naratornya masih ada."

"Atau Rian yang nulis ini buat ngasih tau kita bantuan dateng?" harap Bobi.

Wiu... wiu...

Suara sirene samar terdengar dari kejauhan.

Jantung Elara berhenti berdetak sesaat. Dia menatap ke arah datangnya suara.

Sebuah mobil sedan patroli polisi dengan lampu rotarator biru yang menyala diam (tanpa suara sirene kencang) terlihat mendekat dari jalur lambat. Mobil itu melambat saat melihat tiga orang berdiri di bahu jalan dengan kondisi berantakan.

Mobil itu menepi dan berhenti tepat di depan mereka.

Elara melihat jam di ponselnya.

06:15

Tepat. Akurat sampai ke detiknya.

"Gila..." desis Bobi mundur selangkah. "Beneran dateng."

Di layar ponsel Elara, teks di dokumen itu bertambah lagi. Muncul baris baru dengan cepat:

"Petugas polisi itu akan turun. Namanya Bripka Haryo. Dia akan menawarkan tumpangan ke rumah sakit terdekat. Dia terlihat ramah. Dia terlihat nyata."

Pintu mobil patroli terbuka. Seorang polisi berseragam lengkap, rompi hijau neon, dan topi pet turun. Namanya tertera di dada kanannya: HARYO.

"Selamat pagi," sapa polisi itu ramah, meski keningnya berkerut melihat kondisi mereka yang penuh debu, darah, dan tinta. "Kalian korban kecelakaan? Mobilnya mana?"

Sama persis.

"Pak..." suara Sarah bergetar. "Kami... kami butuh bantuan. Teman kami luka parah." Sarah menunjuk tangan Elara.

"Astaga," Pak Haryo melihat tangan Elara yang bolong. Wajahnya tampak ngeri yang tulus. "Ayo, masuk mobil. Saya antar ke RSUD. Kebetulan saya baru lepas piket."

Sarah dan Bobi sudah siap melangkah maju. Bagi mereka, ini adalah pertolongan nyata. Logika mereka berteriak bahwa ini adalah polisi beneran.

Tapi Elara terpaku pada layar ponselnya.

Teks di dokumen itu mengetik lagi. Kali ini dengan huruf kapital semua, seolah berteriak:

"JANGAN NAIK. ITU BUKAN MOBIL POLISI. ITU KERETA JENAZAH."

"JIKA KALIAN MASUK, KALIAN AKAN DIBAWA KEMBALI KE BAB 1."

"Berhenti!" teriak Elara.

Langkah Sarah dan Bobi terhenti. Mereka menoleh kaget ke Elara. Pak Polisi Haryo juga berhenti, tangannya masih memegang pintu mobil yang terbuka.

"Kenapa, Dek?" tanya Pak Haryo bingung. "Tangan kamu pendarahan itu. Harus segera dijahit."

"Kita nggak naik," kata Elara, mundur menjauh. Dia mencengkeram lengan Sarah dan Bobi. "Kita jalan kaki aja."

"El, lo gila?!" bisik Bobi. "RSUD jauh banget! Kita di tengah tol!"

"Baca ini!" Elara menyodorkan ponselnya ke wajah Bobi dan Sarah.

Mereka membaca peringatan itu. Wajah Sarah memucat. "Kembali ke Bab 1...?"

Pak Haryo tersenyum. Senyumnya sedikit terlalu lebar. Sedikit terlalu kaku.

"Kenapa ragu?" tanya Pak Haryo. Nada suaranya berubah. Tidak lagi berwibawa khas polisi, tapi... mengalun. Seperti nada piano. "Di dalam dingin lho. AC-nya nyala. Musiknya enak."

Pak Haryo menunjuk ke dalam mobil.

Elara melihat ke dalam mobil patroli itu. Di jok belakang, tidak ada kursi penumpang biasa.

Jok belakangnya kosong. Dan lantainya... lantainya terbuat dari tuts piano.

"Lari!" teriak Elara.

Elara, Sarah, dan Bobi langsung berbalik badan dan lari sekencang-kencangnya menjauhi mobil patroli itu. Mereka lari menyusuri bahu jalan, melawan arah arus lalu lintas.

"Hei! Jangan lari!" teriak Pak Haryo.

Tapi dia tidak mengejar. Dia hanya berdiri di samping mobilnya, menatap mereka dengan leher yang miring 90 derajat, patah.

Mereka lari sampai paru-paru rasanya mau meledak. Setelah yakin cukup jauh, mereka melompati pagar pembatas tol dan berguling turun ke area rerumputan di pinggir jalan raya biasa.

Mereka sembunyi di balik semak-semak, terengah-engah.

"Itu tadi apa..." Bobi memegang dadanya, napasnya bengek. "Polisi hantu? Adrian lagi?"

"Dia belum selesai sama kita," kata Elara, menatap ponselnya lagi. "Dia masih ngendaliin plotnya. Selama dokumen ini aktif, hidup kita didikte."

"Terus kita harus gimana?" tanya Sarah frustrasi. "Kita nggak bisa lari terus kalau dia bisa spawn musuh di mana aja!"

Ting!

Dokumen di HP Elara update lagi.

"Elara dan teman-temannya berhasil menghindari jebakan pertama. Tapi mereka lupa, penulis cerita ini sedang memegang kendali penuh. Jika mereka tidak mau masuk ke mobil, maka mobil yang akan mendatangi mereka."

Suara gemuruh terdengar dari jalan tol di atas mereka.

Sebuah truk kontainer besar tiba-tiba oleng, menabrak pembatas jalan tepat di atas tempat mereka sembunyi.

BRAAAAK!

Pagar besi hancur. Truk itu miring, muatannya tumpah.

Bukan barang logistik yang tumpah dari kontainer itu.

Melainkan ribuan lembar kertas HVS.

Kertas-kertas itu menghujani mereka seperti badai salju.

Dan di tengah hujan kertas itu, HP Elara bergetar lagi. Teks baru muncul:

"Rian mengirimkan bantuan. Tapi dia butuh akses. Elara, ketikkan kata kuncinya sekarang!"

[MASUKKAN KATA KUNCI: _ _ _ _ _ _ _ ]

"Kata kunci?!" Elara panik. "Kata kunci apa?! Gue nggak tau!"

"El, liat kertas-kertas itu!" tunjuk Bobi.

Elara memungut salah satu kertas yang jatuh di dekat kakinya.

Kertas itu kosong. Tapi ada watermark tipis di tengahnya. Gambar bunga.

Bunga Edelweiss.

Elara memungut kertas lain. Gambarnya sama. Semua kertas itu bergambar bunga Edelweiss.

"Edelweiss..." gumam Elara. "Bunga abadi."

Dia teringat sesuatu. Di loteng, saat dia membaca buku harian Elena. Ada satu frasa yang diulang-ulang Elena di halaman terakhir. Sesuatu tentang keabadian yang bukan musik.

"Cinta kita abadi, Adrian. Bukan lagumu."

"Cinta?" tebak Elara. Dia mencoba mengetik C-I-N-T-A di ponselnya.

[AKSES DITOLAK]

"Salah!" teriak Elara. Truk di atas sana mulai tergelincir turun ke arah mereka. Mereka akan tertimpa kontainer besi dalam hitungan detik.

"Apa kata kuncinya, El?! Pikir!" teriak Sarah.

Elara memejamkan mata. Dia mencoba mengingat Rian. Rian yang asli. Apa yang Rian katakan padanya di balkon?

"Password-nya: KopiTanpaGula."

Bukan, itu password Wi-Fi.

Apa lagi? Apa yang Rian bisikkan saat dia memeluk Elara sebelum jatuh ke dimensi lain?

Dia nggak ngomong apa-apa. Dia cuma senyum dan ngasih jari tengah ke Rian Tua.

Tunggu. Jari tengah?

Bukan. Sebelumnya. Saat di mobil. Saat Rian sadar dari kerasukan.

"Bersambung di Neraka."

Elara mengetik dengan cepat: N-E-R-A-K-A.

[AKSES DITOLAK]

"Sial!"

Kontainer itu mulai meluncur turun. Bayangannya menutupi mereka.

"Elara!" Bobi dan Sarah berpelukan pasrah.

Tiba-tiba, Elara melihat tuts piano yang masih dia pegang di tangan kanannya. Tuts itu ada ukiran kecil di bagian bawahnya. Ukiran yang baru dia sadari sekarang karena kena cahaya matahari.

Ukiran itu bertuliskan angka: 88.

Jumlah tuts piano. Jumlah bab yang dijanjikan peneror itu.

Dan juga simbol Infinity (Keabadian) ganda.

Elara mengetik angka itu.

8 - 8

[AKSES DITERIMA]

[MENGUNDUH KARAKTER: RIAN_V2.DOCX]

BOOOM!

Tepat sebelum kontainer itu menimpa mereka, kontainer itu meledak di udara. Hancur berkeping-keping menjadi serbuk kertas.

Dari balik ledakan kertas itu, seseorang mendarat di tanah dengan posisi berlutut.

Dia mengenakan jas hujan kuning lusuh milik Rian Tua. Tapi wajahnya... wajahnya adalah Rian Muda.

Tangannya yang tadi putus sudah tumbuh kembali, tapi bukan tangan daging. Tangan kanannya terbuat dari tinta emas yang bercahaya menyilaukan.

Rian berdiri perlahan, menepuk debu dari jasnya. Dia menatap Elara dan tersenyum miring.

"Sorry telat," kata Rian. "Gue harus nge-hack alur cerita dulu dari dalem."

Elara, Sarah, dan Bobi melongo.

"Rian?" bisik Elara tak percaya.

"Bukan Rian biasa," koreksi Rian, mengangkat tangan emasnya. "Sekarang gue Co-Writer."

Rian menjetikkan jarinya.

Pemandangan jalan tol dan semak-semak di sekitar mereka berdesir, lalu terkelupas seperti cat tembok yang kering.

Di balik lapisan realitas yang terkelupas itu, terlihat sebuah ruangan putih raksasa.

"Kita di mana?" tanya Bobi.

"Kita ada di Desktop," jawab Rian santai. "Kita bakal nyerang Adrian langsung di Source Code-nya."

Tapi saat Rian berbalik, dia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti tersenyum.

Di kejauhan "Desktop" putih itu, berdiri sebuah Gunung Sampah.

Dan di puncak gunung itu, Adrian sedang duduk di singgasana yang terbuat dari ribuan laptop rusak.

Dan di tangan Adrian... dia memegang Sarah.

Tunggu. Sarah?

Elara menoleh ke sampingnya. Sarah ada di situ. Berdiri di sebelahnya.

Lalu siapa Sarah yang dipegang Adrian?

Rian menatap Sarah yang ada di sebelah Elara dengan tatapan dingin.

"Elara, Bobi... menjauh dari dia," perintah Rian pelan.

"Kenapa?" tanya Elara bingung.

"Karena Sarah yang asli udah ketangkep Adrian sejak kita jatuh di lubang plot tadi," kata Rian. "Yang berdiri di sebelah lo itu... cuma Typo."

Sarah di sebelah Elara tiba-tiba menyeringai lebar hingga telinga. Tubuhnya meleleh menjadi huruf-huruf acak yang berantakan.

"Sraah... Shara... Saaahhr..."

Monster Typo mulai melotot, memperhatikan mereka satu per satu, lalu.......

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!