SINOPSIS
Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Latihan Batin Ingfah
Waktu berlalu dengan cepat di desa Ban Khun Phum. Kini, Nara telah menginjak usia 6 tahun, sementara Ingfah berusia 4 tahun. Meskipun masih sangat kecil bagi anak-anak normal, takdir telah memaksa mereka dewasa lebih cepat.
Setiap pagi setelah embun menghilang, latihan keras dimulai.
Di bawah pohon beringin tua, Ingfah duduk bersila bersama Bibi Cia. Ingfah tidak lagi sekadar menutup mata; ia belajar membagi kesadarannya.
"Fah, dengarkan detak jantung hutan," bisik Bibi Cia.
Ingfah mulai mengatur napas. Di dalam batinnya, cahaya biru itu kini tidak lagi meledak-ledak, melainkan mengalir tenang seperti sungai. Ia belajar memancarkan energinya ke arah tunas pohon perak yang mereka tanam. Ingfah bisa "melihat" melalui akar-akar pohon, merasakan siapa saja yang menginjak tanah desa mereka.
Cahayanya kini menjadi radar yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Latihan Fisik dan Rohani Nara
Di sisi lain lapangan dekat hutan, Nara berdiri tegak memegang busur hitam Gandiva. Di sampingnya, Prawat berdiri dengan gagah, sementara Bibi Cia mengawasi dari kejauhan.
"Busur ini tidak akan memberimu tali jika kau hanya menggunakan ototmu, Nara," ujar Prawat dengan suara baritonnya.
"Seorang pemburu harus menyatu dengan senjatanya. Kau harus menjadi napas dari busur ini."
Nara mencoba menarik posisi memanah, namun tangannya hanya menggenggam udara kosong di antara ujung busur. Ia berkeringat, napasnya memburu. Ia mencoba berkali-kali, namun tali itu tidak kunjung muncul.
"Nara, tutup matamu," teriak Bibi Cia.
"Jangan bayangkan kau ingin memanah musuh. Bayangkan kau sedang memeluk Ingfah. Bayangkan keinginanmu untuk menjaganya tetap aman dari guk-guk jahat."
Nara memejamkan mata. Ia membayangkan wajah polos Ingfah saat tertawa, ia mengingat janji setianya di Ayutthaya. Tiba-tiba, rasa hangat menjalar dari jantung ke telapak tangannya.
Tring!
Sebuah garis cahaya putih keperakan muncul secara ajaib, menghubungkan kedua ujung busur hitam itu. Talinya tidak terbuat dari benang, melainkan dari energi murni yang bergetar hebat.
Prawat tertegun, ia belum pernah melihat pemandangan seperti itu seumur hidupnya.
"Lepaskan niatmu!" seru Prawat.
Nara melepaskan pegangannya. Tanpa anak panah kayu, sebuah lesatan cahaya berbentuk anak panah meluncur cepat, menembus batang pohon mati di kejauhan hingga hancur menjadi abu.
****
Sore harinya, saat Nara dan Ingfah sedang beristirahat, Ingfah tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar. Warna birunya bersinar tajam.
"Pii Nara... Ayah... ada yang datang," bisik Ingfah.
"Tiga orang... mereka memakai baju hitam. Mereka sedang berputar-putar di dekat pohon perak kita. Mereka bingung karena kabut."
Patan segera mengambil parangnya, dan Prawat menyiapkan tombaknya.
"Mata-mata Luang Wichit," gumam Patan geram. "Mereka sudah sampai di gerbang pelindung."
Nara bangkit, ia menggenggam busur hitamnya yang kini kembali terlihat tanpa tali di mata orang biasa. Ia menatap ke arah hutan dengan tatapan dingin, jauh melampaui usia enam tahunnya.
"Biarkan mereka terjebak di sana, Ayah. Jangan biarkan mereka keluar hidup-hidup untuk melapor."
Kabut putih yang dihasilkan oleh pohon perak perlahan menyelimuti batas hutan, menciptakan suasana mencekam yang membingungkan siapa pun yang tidak memiliki izin dari sang "Anak Cahaya". Di dalam rumah, Ingfah duduk bersila, memejamkan mata dengan keringat dingin di dahi. Ia bertindak sebagai "mata" bagi mereka yang berada di medan laga.
"Pii Nara, Ayah... mereka di dekat pohon jati kembar. Mereka terpisah," bisik Ingfah dari jarak jauh, suaranya terdengar di batin Nara dan Patan.
***
Di tengah hutan, Patan, Prawat, dan Nara bergerak tanpa suara seperti bayangan. Patan dan Prawat menggunakan parang dan tombak mereka untuk berjaga-jaga, sementara Nara memimpin di depan. Di mata manusia biasa, busur hitam di tangan Nara tidak bertali, namun Nara bisa merasakan getaran energinya.
"Tuan Patan, di sebelah kiri," isyarat Prawat saat melihat semak yang bergerak.
Tiga pria berbaju hitam, utusan Luang Wichit, tampak kebingungan. Salah satu dari mereka memegang kompas yang jarumnya berputar tak terkendali.
"Sial! Tempat ini terkutuk! Kita sudah melewati pohon ini sepuluh kali!" teriak salah satu mata-mata itu dengan frustrasi.
"Siapa di sana?!" teriak mata-mata yang lain saat melihat bayangan Nara.
Nara melompat ke atas dahan pohon dengan lincah. Ia menarik napas dalam, mengingat ajaran Bibi Cia. Ia memikirkan keselamat Ingfah. Seketika, Gandiva mengeluarkan senar cahaya peraknya yang menyilaukan.
"Jangan bergerak," suara Nara terdengar dingin, bergema di antara kabut.
Para mata-mata itu terkejut melihat anak kecil berusia enam tahun berdiri di atas dahan dengan senjata yang bercahaya.
"Itu dia! Anak yang kita cari!" teriak pemimpin mata-mata itu sambil menghunus pedangnya.
Namun, sebelum ia bisa melangkah, Patan dan Prawat muncul dari balik kabut, mengunci pergerakan mereka. Patan menatap mereka dengan tatapan membunuh.
"Kalian tidak akan pernah kembali ke tuan kalian untuk membawa berita apa pun."
Terjadi pertempuran singkat. Patan dan Prawat menggunakan keahlian beladiri mereka untuk melumpuhkan dua orang, sementara orang ketiga mencoba melarikan diri ke arah luar hutan.
"Nara, jangan biarkan dia lolos!" seru Prawat.
Nara menarik napas, membidik punggung pria yang lari itu. Ia tidak ingin membunuh, maka ia membidik kaki pria tersebut. Anak panah cahaya melesat secepat kilat, menghantam tanah tepat di depan kaki mata-mata itu, menyebabkan ledakan energi yang membuatnya terpental jatuh pingsan.
Ketiga mata-mata itu berhasil dilumpuhkan tanpa nyawa yang melayang, berkat bidikan presisi Nara.
Kembali ke Rumah
Patan dan Prawat menyeret ketiga orang itu kembali ke perbatasan desa dalam keadaan terikat dan tak sadarkan diri. Di depan rumah panggung, Bibi Cia sudah menunggu dengan sebuah mangkuk kayu berisi cairan berwarna biru pekat yang beraroma sangat kuat.
"Bibi Cia, apa yang harus kita lakukan pada mereka?" tanya Patan.
"Ini adalah ramuan Lueum-Tua (Penghapus Diri)," kata Bibi Cia.
"Tuangkan ke mulut mereka. Mereka akan bangun di pinggir jalan raya besok pagi tanpa ingatan tentang tempat ini, tanpa ingat siapa yang mereka cari, dan tanpa tahu jalan kembali."
Ingfah berlari keluar dan memeluk Nara dengan erat.
"Pii Nara hebat... Fah bisa merasakan keberanian Pii tadi."
Nara mengusap kepala adiknya, meski tangannya sedikit gemetar setelah pertempuran pertamanya. "Selama ada Pii, tidak akan ada guk-guk jahat yang bisa masuk."
Sambil meminumkan ramuan itu kepada para mata-mata, Bibi Cia menatap ke arah langit yang mulai gelap.
"Kita menang hari ini. Tapi Luang Wichit akan curiga jika mata-matanya kembali dengan otak kosong. Kita harus memperkuat perlindungan pohon perak itu."
Malam itu, Ban Khun Phum kembali sunyi, namun mereka tahu bahwa ini hanyalah awal dari perang batin yang lebih besar antara kesucian dan keserakahan.
Berita kembalinya tiga mata-mata Luang Wichit dalam keadaan linglung dan hilang ingatan membuat sang menteri murka. Di ruang kerjanya yang mewah di kota, ia membanting cawan perak ke lantai.
"Bagaimana mungkin tiga orang terlatih kembali seperti kerbau dungu?!" teriak Luang Wichit.
Di sudut ruangan yang gelap, sesosok pria kurus dengan kulit pucat dan tato mantra di sekujur tubuhnya bersuara. Ia adalah Mork, seorang dukun ilmu hitam dari pegunungan utara yang dikenal bisa memerintah roh-roh penasaran.
"Kabut itu bukan kabut biasa, Tuan Menteri," desis Mork.
"Itu adalah tabir pelindung kuno. Anak itu bukan sekadar indigo, dia adalah kunci gerbang kekuatan yang sudah lama hilang. Jika Tuan ingin menembusnya, kita harus menggunakan darah dan kegelapan."
****
Di desa, Ingfah yang kini berusia 4 tahun lebih sering menghabiskan waktu di bawah pohon perak yang ia tanam. Pohon itu tumbuh luar biasa cepat, batangnya kini seputih perak dan daunnya berdesir seperti suara lonceng kecil.
Suatu sore, Ingfah mendongak dan melihat sebuah buah kecil berwarna ungu gelap muncul di dahan terendah.
"Pii Nara, lihat! Pohonnya punya buah," seru Ingfah.
Nara yang sedang mengasah kemampuan "Panah Hujan"—teknik membagi satu anak panah cahaya menjadi puluhan lesatan kecil—segera mendekat.
"Jangan dimakan dulu, Nong Fah. Kita tanya Bibi Cia."
Bibi Cia yang datang melihat buah itu langsung bersujud. "Itu adalah Buah Ingatan. Hanya keturunan murni yang bisa memetiknya. Ingfah, buah itu akan menunjukkanmu siapa ibumu sebenarnya dan mengapa Luang Wichit begitu terobsesi pada keluarga kalian."
Dengan tangan mungilnya, Ingfah memetik buah itu. Saat kulit buah itu pecah di tangannya, sebuah penglihatan menyapu pikirannya: Ia melihat ibunya, Kon Khaw, bukan sebagai wanita desa biasa, melainkan sebagai penjaga pusaka kerajaan yang melarikan diri karena menolak memberikan kekuatan hutan kepada leluhur Luang Wichit yang haus kekuasaan.