NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:111
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33: BADAI MENDEKAT

#

Dua hari setelah pertemuan dengan keluarga Julian, Laura bangun tengah malam dengan perasaan gak enak. Kayak ada sesuatu yang salah tapi dia gak bisa jelasin apa.

Julian tidur di sofa kayak biasa—dia настаивал tidur di sana supaya bisa jaga Laura lebih baik. Tapi malam ini dia tidur gak nyenyak, tubuhnya tegang even dalam tidur.

Laura turun dari tempat tidur dengan pelan, gak mau bangunin Julian. Dia berjalan ke jendela yang ditutup gorden tebal, ngintip sedikit ke luar.

Malam Jakarta tenang. Terlalu tenang.

Tiba-tiba ponsel Julian berbunyi keras, bikin Laura terlonjak. Julian langsung bangun—reflek militer nya kick in—dan langsung ambil ponsel dengan wajah waspada.

"Adrian," jawabnya, suara masih serak tapi udah alert. "Apa yang—"

Laura lihat ekspresi Julian berubah. Dari ngantuk jadi shock, dari shock jadi marah, dari marah jadi—takut. Laura gak pernah lihat Julian takut kayak gini.

"Kapan?" tanya Julian dengan nada tajam. "Berapa banyak? Okay, kumpulin semua tim sekarang. Gue akan—tunggu, trace nya bener? Lo yakin?"

Dia menutup mata, rahang mengeras. "Sial. Okay. Tingkatkan security di safe house tiga kali lipat. Gak ada yang masuk atau keluar tanpa approval gue. Dan Adrian—pastiin semua orang siap. Ini bukan drill."

Dia menutup telepon, duduk di sofa dengan kepala di tangan.

"Julian?" Laura berjalan mendekat dengan hati berhati. "Apa yang terjadi?"

Julian mengangkat kepala, menatap Laura dengan tatapan yang bikin dada Laura sesak. Ada ketakutan di sana. Ketakutan yang genuine.

"Intelijen polisi—mereka intercept komunikasi dari grup Leon," ujar Julian dengan suara pelan tapi tegang. "Leon—dia gak sendirian lagi. Dia rekrut orang-orang. Banyak. Dan mereka—" suaranya pecah sedikit "—mereka planning serangan terkoordinasi. Besok malam."

Laura merasakan lututnya lemas. "Serangan kemana?"

"Multiple locations," jawab Julian, berdiri dan mulai mondar-mandir. "Kantor Sentinel. Apartemen gue. Dan—" dia berhenti, menatap Laura "—dan safe house ini."

Waktu seolah berhenti. Laura merasakan dunia nya berputar.

"Mereka tau dimana aku?" bisiknya, suara nya nyaris gak keluar.

"Entah gimana, mereka tau," jawab Julian dengan kemarahan yang jelas. "Mungkin ada yang bocor info. Mungkin mereka ngikutin Mama dan Vera kemarin. Gue gak tau. Tapi yang jelas—mereka tau. Dan mereka datang."

Laura duduk dengan berat di sofa, tangan nya gemetar. "Jadi—jadi apa yang kita lakuin?"

Julian berlutut di depan Laura, memegang kedua tangannya yang dingin. "Gue punya dua pilihan. Pilihan satu: Gue pindahin lo sekarang ke lokasi yang lebih aman. Somewhere jauh dari Jakarta. Somewhere Leon gak akan pernah nemuin. Dan gue stay di sini, handle Leon dan orang-orangnya."

"Gak," potong Laura cepat. "Gak, aku gak akan ninggalin lo sendirian hadapin Leon—"

"Laura, dengerin dulu," potong Julian dengan lembut tapi tegas. "Pilihan dua: Gue stay di sini sama lo. Triple security, all hands on deck. Kita defend safe house ini bareng. Tapi itu artinya—itu artinya kita in the middle of action. Kita jadi target langsung."

Dia menatap Laura dengan mata berkaca-kaca. "Dan gue gak tau gue bisa lindungi lo kalau mereka datang dengan kekuatan penuh. Gue gak tau—gue gak tau gue bisa handle kalau lo terluka lagi. Atau lebih buruk—"

"Julian," Laura memegang wajah Julian dengan kedua tangannya. "Dengerin aku. Aku gak akan pergi kemana-mana tanpa lo. Kita udah lewatin terlalu banyak untuk sekarang dipisahin."

"Tapi kalau lo stay, lo dalam bahaya—"

"Dan kalau lo hadapin Leon sendirian, LO dalam bahaya," potong Laura dengan tegas. "Julian, aku gak bodoh. Aku tau kenapa lo mau aku pergi. Lo pengen lindungi aku. Tapi lo lupa—aku juga pengen lindungi lo."

Julian menatapnya dengan tatapan yang penuh cinta dan keputusasaan. "Lo gak ngerti betapa takutnya gue kehilangan lo. Gue nyaris kehilangan lo sekali. Gue gak akan survive kalau itu terjadi lagi."

"Dan lo pikir aku akan bisa hidup kalau sesuatu terjadi sama lo?" tanya Laura, air matanya mulai jatuh. "Lo pikir aku bisa bahagia kalau lo mati karena lindungi aku?"

Mereka terdiam, menatap satu sama lain dengan mata berkaca-kaca, masing-masing berperang dengan ketakutan nya sendiri.

"Gue harus mikir," ujar Julian akhirnya, berdiri dan berjalan ke jendela. "Gue harus mikir dengan jernih. Gue—gue gak bisa ambil keputusan sekarang. Terlalu banyak yang dipertaruhkan."

Laura berdiri juga, berjalan ke belakang Julian, memeluknya dari belakang. "Kita hadapi ini bareng. Please. Jangan kirim aku pergi."

Julian memegang tangan Laura yang memeluknya, mata nya menatap kosong ke luar jendela yang gelap. "Gue gak tau apa yang harus gue lakuin, Laura. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue—gue bener-bener gak tau."

***

Pagi datang terlalu cepat. Julian gak tidur semalaman—dia di ruangan lain, telepon dengan Adrian, dengan polisi, dengan private investigator, nyusun strategi dan backup plan.

Laura juga gak bisa tidur. Dia duduk di tempat tidur, memeluk bantal, pikiran nya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan menakutkan.

Jam delapan pagi, Adrian datang dengan dua orang polisi—detektif yang handle kasus Leon. Mereka duduk di ruang tamu, dengan peta digital di laptop dan foto-foto surveillance.

"Berdasarkan intercept komunikasi terakhir," jelas salah satu detektif, pria berusia empat puluh tahunan dengan wajah serius, "Leon planning serangan jam sepuluh malam. Dia bagi timnya jadi tiga grup—satu ke kantor Sentinel untuk distraksi dan sabotase, satu ke apartemen Mr. Julian untuk—well, sepertinya mereka cari sesuatu di sana, dan grup ketiga—grup terbesar—akan ke sini."

"Berapa orang di grup ketiga?" tanya Julian dengan nada datar.

"Sekitar lima belas sampai dua puluh orang," jawab detektif. "Bersenjata. Dan kayaknya—kayaknya Leon sendiri yang lead grup ini."

Laura merasakan darahnya membeku. Dua puluh orang. Bersenjata. Datang ke sini.

"Kami bisa kirim backup," lanjut detektif. "Tim tactical response bisa standby di lokasi terdekat. Tapi—tapi kami gak bisa guarantee mereka sampai tepat waktu kalau serangan dimulai. Response time minimal sepuluh menit dari panggilan."

"Sepuluh menit terlalu lama," ujar Julian dengan tajam. "Dalam sepuluh menit, banyak hal bisa terjadi."

Detektif mengangguk dengan ekspresi gak enak. "Makanya kami saranin—kami sangat saranin—untuk evacuate Miss Laura dari lokasi ini sekarang. Pindahin dia ke protective custody yang lebih aman."

"Gak," Laura langsung bersuara. "Aku udah bilang—"

"Laura," potong Julian, menatapnya dengan tatapan yang desperate. "Please. Dengerin mereka. Ini untuk keselamatan lo."

"Dan keselamatan lo?" tanya Laura dengan nada menantang. "Siapa yang jaga lo kalau aku pergi?"

"Gue punya tim—"

"Tim lo bukan aku," potong Laura dengan tegas. "Julian, dengerin aku sekarang. Aku tau lo takut. Aku juga takut. Tapi aku gak akan lari dan ninggalin lo hadapin ini sendirian."

Julian menatapnya dengan ekspresi yang penuh konflik. Dia pengen marah, pengen paksa Laura untuk pergi. Tapi di saat yang sama, dia ngerti—ngerti kenapa Laura gak mau pergi.

"Ada pilihan ketiga," ujar Adrian tiba-tiba, semua mata menoleh padanya. "Kita—kita bisa buat Leon pikir Miss Laura ada di sini, tapi sebenarnya dia di tempat lain. Decoy."

"Decoy gimana?" tanya Julian, mulai tertarik.

"Kita pindahin Miss Laura sekarang, secretly. Gak ada yang tau kecuali inner circle. Terus kita pasang decoy di safe house ini—someone with build yang mirip, dari jauh kelihatan kayak Miss Laura. Saat Leon dan timnya datang, mereka engage dengan kita, dan tactical team bisa surround mereka."

Detektif mengangguk perlahan. "Itu bisa work. Tapi—tapi resikonya tinggi. Kalau Leon curiga dan gak masuk ke trap—"

"Dia akan cari Laura di tempat lain," selesai Julian dengan nada gelap. "Dan kita gak akan tau dimana."

Ruangan terdiam. Semua pilihan punya resiko. Semua keputusan bisa salah.

"Berapa lama gue punya waktu untuk mikir?" tanya Julian.

"Maksimal sampai jam tiga siang," jawab detektif. "Kalau mau pindahin Miss Laura dengan aman, itu harus sebelum sore. Makin malam, makin berbahaya."

Setelah mereka pergi, Julian duduk di sofa dengan kepala di tangan. Laura duduk di sampingnya, gak tau harus bilang apa.

"Gue—gue gak bisa ambil keputusan ini," bisik Julian, suara nya pecah. "Semua pilihan salah. Semua pilihan bisa bikin gue kehilangan lo."

Laura memegang tangan Julian, menggenggamnya dengan erat. "Apapun yang lo putuskan, aku akan dukung. Aku percaya sama lo."

Julian mengangkat kepala, menatap Laura dengan mata yang merah. "Lo percaya sama gue? Even pas gue gak percaya sama diri gue sendiri?"

"Terutama saat itu," jawab Laura dengan lembut. "Julian, lo udah lindungi banyak orang selama ini. Lo udah bikin keputusan sulit berkali-kali. Lo bisa lakuin ini lagi."

Julian menarik Laura ke pelukannya, memeluk dengan erat kayak takut Laura akan hilang kalau dia lepas. "Gue mencintai lo," bisiknya. "Gue mencintai lo lebih dari nyawa gue sendiri. Dan itu—itu yang bikin keputusan ini jadi sangat susah."

"Aku tau," bisik Laura balik, air matanya membasahi kemeja Julian. "Aku juga mencintai lo. Dan aku tau lo akan buat keputusan yang bener. Aku percaya sama lo."

Mereka duduk seperti itu—berpelukan dengan erat, masing-masing berpegang pada satu sama lain seperti itu satu-satunya hal yang pasti di dunia yang penuh ketidakpastian.

Dan jam terus berjalan. Waktu terus berkurang. Keputusan harus dibuat.

Dan Julian tau—apapun yang dia pilih, ada harga yang harus dibayar. Pertanyaannya cuma: harga apa yang dia willing untuk bayar? Dan apakah dia bisa hidup dengan konsekuensi dari keputusan nya?

Jam dua siang, ponsel Julian berbunyi. Adrian.

"Boss, kita butuh keputusan sekarang. Kalau mau evacuate Miss Laura, kita harus move dalam satu jam. Kalau gak—kita prepare untuk defend here."

Julian menatap Laura yang duduk di sampingnya, menatap dengan mata yang penuh pertanyaan dan ketakutan tapi juga dengan kepercayaan yang absolut.

Dan di moment itu, Julian membuat keputusan yang akan mengubah segalanya.

Keputusan yang mungkin akan nyelamatin mereka.

Atau menghancurkan mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!