Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong, Jaga Batasanmu!
"Kenapa Ayah begitu angkuh sama perempuan yang aku bawa? Apa Ayah nggak suka?" tanya Yudis, masih merasa gusar.
"Ya, sejujurnya Ayah nggak setuju kalau kamu berdampingan dengan perempuan pribumi," jelas Winata, lalu mengambil segelas sirup yang disodorkan pelayan.
"Apa alasannya Ayah nggak setuju? Apa karena perbedaan status sosial?" Yudis menatap tajam pada sang ayah, sambil melipat kedua tangannya.
"Ya. Ayah nggak suka kalau kamu bersanding dengan perempuan miskin. Apa masih kurang penjelasan Ayah?" Winata mendelik tajam pada putranya.
"Miskin? Jadi, Ayah benci banget kalau aku berhubungan dengan perempuan miskin? Astaga! Apa Ayah nggak berkaca sama diri sendiri? Ayah juga bukan berasal dari kasta Brahmana, bagaimana bisa Ayah merendahkan orang lain yang status sosialnya di bawah kita?" sindir Yudis, disertai seulas senyum mengejek.
Winata menatap tajam putranya seraya berujar, "Jangan mendebat ayahmu sendiri, Yudis! Ayah nggak suka itu!"
Yudis hanya terkekeh-kekeh sambil memalingkan muka. Dari sudut lain ruangan, Kevin melambaikan tangan pada Yudis, seakan mengajak pemuda berkacamata itu untuk bergabung. Tanpa basa-basi, Yudis bergegas menghampiri Kevin. Adapun Winata, hanya mendesah kasar memandangi kelakuan putra semata wayangnya.
Di sisi lain, Kevin menyambut Yudis dengan jabatan tangan. Viktor dan Andra pun begitu senang melihat teman satu tongkrongannya ikut berbaur dengan mereka.
"Bro, nggak nyangka lo bakal bawa cewek kemari. Siapa dia? Pacar lo?" tanya Kevin tersenyum lebar.
"Lo tau, kan? Dia Hana," jawab Yudis singkat.
Terbelalak mata Kevin mendengar jawaban Yudis. Pandangannya beralih ke arah Julia dan Hana yang sedang berjalan menuju meja besar tempat makan malam diadakan.
"Elo? Bawa pelayan kafe ke sini? Astaga! Lo nekat banget, ya. Gue kira, lo udah lupain cewek yang udah nolak lo," kata Kevin, dengan mata membulat.
"Apa? Jadi, Yudis pernah ditolak sama itu cewek?" Viktor tercengang.
"Terus, sekarang gimana ceritanya lo bisa bawa cewek itu kemari? Lo iming-imingi dia pakai duit segepok?" tanya Andra penasaran.
Yudis tertawa kecil, melihat reaksi ketiga temannya. "Ayolah! Gue nggak se-mainstream kayak yang kalian pikirin. Pokoknya, sekarang gue seneng bisa ngajak Hana kemari."
Kevin memicingkan mata, seolah-olah sedang menduga perbuatan Yudis pada Hana. "Lo nggak ngelakuin hal yang sama kayak waktu kita merusak si Alin, kan?"
"Ya enggaklah. Gue nggak serendah elo," ejek Yudis memandang sinis.
Tak terasa, acara makan malam pun dimulai. Suasana restoran mewah dengan hidangan berkelas, menjadi momen indah bagi orang-orang berstatus tinggi yang menghadiri acara itu. Sebagai penggagas utama, Jackson Lim sangat senang dengan kehadiran para kolega yang sudah diundangnya. Ayah Kevin pun berterimakasih banyak atas kesediaan waktu ketiga relasinya dalam merayakan kebebasan putra mereka dari jerat hukum.
Hana hanya tersenyum sinis menyaksikan raut sumringah dari pria keturunan Tionghoa itu. Baginya, kebebasan para bajingan itu tak ada apa-apanya dibanding pengorbanan Anwar. Entah seperti apa permainan yang telah dirancang mereka sampai Anwar dijadikan kambing hitam. Yang jelas, Hana muak ikut terlibat dalam acara makan malam mewah bersama pria di sebelahnya, Yudis.
"Ini sangat menggelikan. Bagaimana bisa orang-orang busuk macam kalian berkumpul dalam satu meja, merayakan kebebasan yang seharusnya tidak perlu kalian dapatkan?" gerutu Hana dengan suara rendah.
"Hidup tidak senaif itu, Hana sayang. Terkadang kita harus menggunakan kecerdikan untuk lolos dari jerat hukum. Ah! Bukannya di negara kita ini hukum masih bisa dibeli dengan uang?" sahut Yudis, sambil mengunyah makanan.
"Ya ... kamu benar. Lagi-lagi uang dan kekuasaan yang berbicara. Menjijikkan," ketus Hana.
"Menjijikkan, tapi kamu ikut juga dalam acara makan malam ini. Apa itu bukan hipokrit namanya?"
"Diamlah! Aku melakukan semua ini demi keselamatan keluarga dari kekejaman orang kayak kamu, tidak lebih!" sungut Hana memelototi Yudis.
Yudis menaruh telunjuk di depan bibirnya. "Ssst ... ini bukan waktunya marah-marah."
Hana mendelik, kemudian lanjut menyantap hidangannya. Kemarahan bergemuruh dalam dadanya, terlebih saat memandangi keempat pelaku pemerkosaan dan pembunuhan teman masa kecilnya. Terbesit dalam hatinya untuk membalas perbuatan kejam mereka terhadap Alin.
Namun, setelah mendengar bahwa Andra dan Kevin akan pergi ke luar negeri, Hana terpaksa menahan diri. Berpikir matang-matang sebelum melancarkan pembalasan dendam, lebih penting baginya daripada bersikap gegabah.
Setelah acara makan malam selesai, satu per satu orang berpamitan dari restoran itu. Andra, Viktor, dan Kevin pulang lebih dulu. Orang tua mereka menyusul dari belakang sambil berbincang-bincang membahas bisnis. Sementara itu, Hana dan Yudis berjalan paling terakhir meninggalkan restoran mewah menuju tempat parkir.
"Hana, gimana kalau kita pesan kamar buat beristirahat sejenak. Aku malas kalau pulang ke rumah," usul Yudis, sembari menunjukkan raut lesu.
"Katanya cuma makan malam doang. Enggak, ah! Aku mendingan pulang ke kos daripada melayani nafsu kamu," bantah Hana menatap tajam.
"Ayolah, Hana! Sekali ini saja. Aku nggak akan mengganggu kamu lagi kalau kamu bersedia menghabiskan one night stand bareng aku. Aku janji," bujuk Yudis, berusaha meyakinkan.
Alih-alih memedulikan Yudis, Hana melanjutkan perjalanannya dengan acuh tak acuh. Ia sudah menduga, kalau pria itu akan meminta lebih setelah acara selesai.
Setibanya di tempat parkir, Hana berdiri di dekat mobil Yudis sambil memasang raut masam dan melipat tangan. Yudis yang berjalan cepat mengejar Hana, segera berdiri di depan gadis itu.
"Cepat bukain pintunya. Aku mau ambil barang-barangku dan pulang sendiri," suruh Hana, sambil sesekali melirik ke pintu mobil.
"Kalau aku nggak mau, gimana?" Yudis melangkah perlahan, hingga menahan Hana di dekat mobil.
Hana mendesah kasar, lalu menatap Yudis dengan tajam. "Cepat buka pintunya!"
Yudis tersenyum. "Kamu ini gemar sekali menolak, tapi giliran ditolak malah marah. Hm, menarik. Ternyata kita ini memiliki persamaan, ya."
Hana mendorong Yudis, seraya mendesak, "Cukup basa-basinya! Cepat buka pintu mobilnya! Aku mau pulang sendiri dan membawa barang-barangku!"
Yudis balas mendorong Hana ke mobil, lalu menahan tubuh gadis itu dengan kedua tangannya. "Kalau kamu nggak mau menerima aku, setidaknya izinkan aku menyentuh kamu sekali saja," bisiknya di telinga Hana.
Hana menelan ludah sembari memejamkan mata tatkala Yudis mulai menciumi lehernya. Sungguh, ia tak rela tubuhnya dijamah oleh pria kejam seperti Yudis. Alih-alih berpasrah diri, ia memberontak sekuat tenaga. Dipukulinya badan Yudis, sembari menuntut agar dilepaskan. Pemuda itu pun berhenti menciumi leher Hana, kemudian menatap kedua mata gadis itu lekat-lekat.
"Kenapa, Hana? Kenapa kamu susah banget buat menerima aku? Apa karena aku sudah menghabisi teman-teman kamu? Atau aku masih banyak kekurangan buat kamu? Katakan, Hana," ucap Yudis.
"A-Aku ... Aku ingin menjaga harga diri sampai menikah dengan orang yang tepat. Tolong hargai prinsip aku," tegas Hana, menatap wajah Yudis.
"Lalu, gimana dengan aku? Apa aku bukan orang yang tepat buat kamu? Sesekali cobalah mengerti kemauan aku. Aku cuma ingin diterima sama kamu. Mendapatkan cinta dan perhatian dari kamu tuh berharga banget buat aku. Apa itu salah?" sanggah Yudis.
Tertegun Hana mendengar perkataan Yudis. Ia teringat kembali pada cerita Rasminah yang disampaikan oleh Julia. Sejenak, Hana pun berpikir, bahwa Yudis hanya menginginkan perhatian dan kasih sayang yang sama seperti pengasuhnya.
"Tapi aku bukan Rasminah, Yudis," celetuk Hana dengan lirih. Matanya menatap canggung pada Yudis yang sedang menuntut jawaban darinya.