"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Won't Let You Go
Yudha duduk di tepi kasur, menggenggam erat sebelah tangan Tari. Tangannya terasa hangat, mengalirkan rasa aman dan kenyamanan untuk Tari.
"Tari..." Yudha memanggil pelan, matanya menatap dalam ke arah wanita itu.
Tari tidak menjawab. Ia hanya membiarkan Yudha menggenggam tangannya, matanya yang mulai basah oleh air mata balas menatap pria itu. Ada keheningan di antara mereka, menyadari arti dari sorot tatapan satu sama lain.
Yudha menghela napas pelan, menundukkan kepalanya sejenak, mencoba merangkai ucapannya. "Aku tahu... aku sangat sadar dengan keadaan kita. Bukan hanya kau yang menyayangi Riana, aku pun juga sayang padanya. Tapi Tari, aku tidak bisa juga untuk melepaskanmu."
Tari masih diam, tapi genggaman tangannya pada Yudha sedikit menguat. Matanya yang sayu menatap lurus ke pria di depannya, dan perlahan, bibirnya bergerak. "Hentikan lah rencana ini Yud, aku benar-benar minta tolong padamu. Huuu.....huuuu" Isakan Tari akhirnya keluar, tanpa bisa ia hentikan.
Seharusnya dari awal ia tak pernah menyetujui rencana gila ini, dengan begitu ia tak akan menyakiti kedua pasangan suami istri yang saling mencintai ini.
"Kau selalu memikirkan Riana, tapi bagaimana denganku" Yudha menatap nanar pada Tari.
"Yudha jika aku kehilangan Riana, aku tak punya siapapun di dunia ini. Tolonglah Yudha....Jangan memaksaku untuk menyakitimu terus menerus"
Air mata terus mengalir dari nya, kali ini tanpa adanya suara isakan.
Yudha menutup matanya sejenak, menahan napas panjang sebelum menjawab, "Kita bicarakan ini nanti, Tari. Kau sedang sakit sekarang. Fokuslah untuk sembuh dulu."
Ia berdiri perlahan, meraih mangkuk dan gelas yang kosong di meja samping tempat tidur. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah perlahan.
Pintu kamar ditutupnya dengan hati-hati. Raut wajah Yudha yang gusar terpancar jelas, matanya terlihat kosong.
Keesokan paginya, di tempat lain...
Riana duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Ponselnya dipegang erat di telinga, sementara wajahnya menunjukkan amarah yang begitu jelas. Telepon dari ibunya, Laras, yang kembali meminta uang tambahan, membuat emosinya naik.
"Ibu, aku udah bilang, jangan terus-terusan minta uang! Apa ibu nggak tau arti kata menghemat" suara Riana hampir berbisik, takut suaranya terdengar oleh pembantu rumah nya yang sedang membersihkan lantai 2.
"Uang yang aku kasih kemarin itu dari Yudha, dan Ibu tahu sendiri apa artinya kalau sampai Ibu mertuaku tahu soal ini!"
"Riana Ibu tahu soal itu, tapi Ibu bener-bener butuh uang sekarang. Uang yang kemarin sudah habis untuk bayar utang, listrik, dan beli kebutuhan rumah. Kalau kau nggak bantu, Ibu harus minta ke siapa lagi?"
"Aku tau ibu ngabisin uang untuk ngasih pacar ibu kan, ibu pikir aku bodoh apa" Riana mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. Ia berdiri dari sofa, berjalan ke jendela sambil melirik ke arah tangga, memastikan tak ada yang mendengar. "Yudha bakal curiga kalau aku terus minta uang tanpa alasan jelas. Ibu nggak paham juga? Kalau sampai Ibu Mertuaku tahu aku pakai uangnya untuk Ibu, habis aku Bu!, kita nggak bakal bisa nikmatin hidup mewah seperti ini lagi,"
Nada suara Laras mulai terdengar memelas. "Riana, masa kau tega bilang begitu ke Ibu sendiri? Ibu ini cuma mau sedikit tambahan, nggak sampai 10 juta lagi ko, Kau anak satu-satunya, masa kau mau biarin Ibu susah?"
"Bu, aku bukan nggak peduli! Tapi aku juga harus hati-hati! Kalau sampai mereka tahu, aku yang bakal kena masalah besar! Apalagi Bu Sely... dia selalu memperhatikan semua pengeluaran rumah tangga kami. Dia nggak suka aku minta uang terlalu banyak dari Yudha," Suaranya dingin dan penuh tekanan.
Laras diam sejenak, lalu berkata dengan nada kesal, "Jadi kau lebih takut sama mertua daripada peduli sama Ibu sendiri? Kau lupa siapa yang membesarkanmu sampai kau bisa menikah dengan Yudha?"
Kata-kata membuat amarahnya memuncak. "Bu, cukup! Aku udah bantu sebisa mungkin. Kalau Ibu nggak bisa mengatur uang sendiri, aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku akan kasih bulan depan, tapi sekarang jangan minta lagi!"
Keheningan di telepon membuat Riana merasa bersalah, ya mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa terus-terusan menguras uang dari Yudha untuk memenuhi kebutuhan ibunya yang tak ada habisnya. Setelah beberapa saat, suara Laras terdengar lagi, penuh kekecewaan.
"Baiklah, Riana. Kalau kau nggak bisa, ya sudah. Tapi ingat, Ibu cuma punya kau sayang."
Telepon berakhir, meninggalkan Riana terpaku di tempatnya. Ia memandang layar ponselnya yang kini mati, lalu meletakkannya di meja dengan kasar.
"Astaga, Ibu..." gumamnya sambil memijit pelipis. Ia menghela napas berat, tatapan nya terlihat sendu. Di satu sisi, ia mencintai ibunya dan ingin membantu. Apalagi setelah kepergian ayahnya tiga tahun yang lalu, tidak ada lagi yang memenuhi kebutuhan Ibunya.
Namun di sisi lain, tekanan dari ibu mertuanya, membuatnya takut mengambil langkah yang salah. Ia tak bisa kehilangan Yudha, ia mencintai pria itu, apalagi soal kekayaan nya, Riana lebih bersyukur untuk itu.
Riana menatap keluar jendela, mencoba menetralkan emosinya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim uang sebesar 5 juta ke rekening ibunya. Tak mungkin ia membiarkan ibu kandung nya sendiri kesusahan.
Setelah mengabarkan Ibunya melalui pesan bahwa ia sudah mentransfer uang itu, Riana menghembuskan napas lega karena ibunya terlihat senang dalam pesan yang dikirimnya.
Riana bersenandung kecil, dan mengambil gelas jus jeruk di atas meja di depannya. Ia meminum nya sambil melihat acara tv komedi show di depannya.
Lalu pikiran nya teralihkan dengan Yudha yang sedang menginap bersama Tari di rumah Ibu mertuanya itu. Yudha belum mengabari nya apapun pagi ini.
Riana meraih ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk Yudha. Namun, sebelum pesannya terkirim, ia menghapusnya lagi. "Ah, lebih baik aku telpon saja," gumamnya pelan, lalu langsung menekan tombol panggil.
Suara nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara berat Yudha terdengar di seberang. "Halo, Riana?"
"Hai sayang lagi apa? Kok belum ngabarin?"
Yudha terdengar menghela napas pelan sebelum menjawab, "Maaf aku belum sempat mau liat hp. Tari lagi kurang enak badan, jadi aku nggak sempat kasih kabar."
"Oh, emangnya Tari sakit ya?" tanya Riana, suaranya terdengar simpatik.
"Iya, semalam dia muntah. Tapi pagi ini sudah mendingan, aku liat ntar sore kalau belum baikan aku bakal bawa dia ke dokter,"
Riana menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan amarah yang mulai kembali muncul. "Oh gitu, Jagain Tari ya sayang, terus kabarin aku dan kamu juga jangan sampai ikut sakit,"
"Iya, aku pasti jagain Tari. Aku bakal kabarin terus kok."
Senyum sudah hilang dari wajahnya, meski Yudha tak bisa melihatnya. "Ya sudah, jangan lupa makan ya. Kamu harus jaga kesehatan juga, inget pesan aku."
"Iya sayang, terima kasih," balas Yudha dengan nada lebih lembut.
Hening sesaat di antara mereka, sebelum akhirnya Riana memberanikan diri bertanya. "Yud... kapan kamu pulang?"
"Aku belum tahu, aku udah izin sama ayah buat cuti misal Tari belum baikan juga. Mungkin beberapa hari lagi, Tari masih perlu istirahat, dan aku nggak mau meninggalkan dia sendirian," jawab Yudha jujur, tanpa menyadari bagaimana kata-katanya membuat amarah Riana semakin memuncak. Suaminya itu sibuk membicarakan kondisi Tari, bahkan tidak bertanya soal dirinya sama sekali.
"Baiklah sayang, aku tutup ya,"
"Iya Riana. Sampai nanti."
Telepon pun berakhir. Riana meletakkan ponselnya di meja dengan sedikit kasar. Ia menggigit bibir bawahnya lagi, kali ini dengan tatapan penuh emosi.
'Kenapa harus selalu Tari sih, sebenarnya siapa orang ketiga disini '
Ia menatap layar TV di depannya, tetapi kini tidak lagi tertarik dengan acara komedi yang sebelumnya membuatnya tertawa. Pikirannya dipenuhi oleh Tari dan perhatian Yudha yang seolah tercurah penuh kepada wanita itu.
"Kenapa aku jadi seperti orang luar di pernikahanku sendiri?" Riana menggigit bibir bawahnya menahan kekesalan.