Alena adalah seorang gadis ceria yang selalu berbicara keras dan mencari cinta di setiap sudut kehidupan. Dia tidak memiliki teman di sekolah karena semua orang menganggapnya berisik. Alena bertekad untuk menemukan cinta sejati, meski sering kali menjadi sasaran cemoohan karena sering terlibat dalam hubungan singkat dengan pacar orang lain.
Kael adalah ketua geng yang dikenal badboy. Tapi siapa sangka pentolan sekolah ini termasuk dari jajaran orang terpintar disekolah. Kael adalah tipe orang yang jarang menunjukkan perasaan, bahkan kepada mereka yang dekat dengannya. Dia selalu berpura-pura tidak peduli dan terlihat tidak tertarik pada masalah orang lain. Namun, dalam hati, Kael sebenarnya sangat melindungi orang yang dia pedulikan, termasuk gadis itu.
Pertemuan tak terduga itu membuatnya penasaran dengan gadis berisik yang hampir dia tabrak itu.
"cewek imut kayak lo, ga cocok marah-marah."
"minggir lo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Addinia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan mie ayam bareng lagi
"Ahli siapa?"
Kael tersenyum lebar, menunjuk ke arah Alena. "Lo, gue belajar dari lo sekarang."
Alena terdiam, wajahnya sedikit memerah tapi ia cepat-cepat menutupinya dengan batuk kecil. Ghost Riders langsung bersorak, menggoda Kael dan Alena.
Bayu tertawa keras. "Hati-hati, Len. Jangan sampe murid lo lebih jago dari lo."
Alena menghela napas panjang, mencoba kembali fokus. Tapi senyuman kecil di wajahnya tidak bisa ia sembunyikan, meskipun ia berusaha terlihat tegas.
"Belajar aja dulu yang bener, Kael. Nanti kita liat hasilnya."
Ditengah-tengah Alena menjelaskan. Tiba-tiba suara ribut dari meja lain di kafe menarik perhatian mereka.
Di meja lain, sepasang kekasih terlihat sedang bertengkar. Suara perempuan terdengar lebih keras, sedangkan si laki-laki mencoba menahan suara, tapi emosinya terlihat jelas. Semua orang di meja Ghost Riders menoleh, suasana menjadi canggung.
"Wah, ini live drama." Bisik Bayu pelan, mencoba menghilangkan ketegangan.
"Cocok banget sama kelas cinta kita." Sahut Ronan.
Kael tersenyum kecil, melirik Alena. "Gimana, Bu Guru? Ada pelajaran baru dari itu?"
Sebelum Alena sempat menjawab, ia tiba-tiba menggebrak meja dengan keras. Suara gebrakan itu mengejutkan semua orang di meja, membuat mereka menatapnya dengan kaget.
Luka tersentak, memegangi gelas kopinya.
Alena menatap mereka tajam. "Dengerin baik-baik. Apa yang barusan kalian liat itu contoh nyata kenapa komunikasi itu penting dalam suatu hubungan."
Ezra menaikkan alis, mencoba menahan tawa. "Gebrakan lo barusan juga komunikasi, Len. Bikin jantung gue mau copot."
Alena mengabaikan Ezra dan mulai menjelaskan dengan serius. "Kalian liat tadi? Mereka nggak saling denger satu sama lain. Si cewek ngomong dengan emosi, si cowok diem tapi jelas nggak terima. Itu bukan komunikasi, itu perang."
Ronan mengangguk pelan, mulai mengerti.
"Jadi, mereka gagal karena nggak saling ngerti, ya?"
"Betul. Dalam hubungan, kalau ada masalah, yang harus kalian lakukan pertama kali adalah tenang. Jangan ngomong pake emosi. Kalau emosi yang ngontrol, hasilnya kayak mereka barusan. Berantakan."
Bayu melipat tangan di dada, berpikir. "Terus, kalo salah satunya udah emosi duluan, gimana?"
Alena tersenyum kecil, menjelaskan lebih lembut. "Kalau pasangan lo lagi emosi, jangan dilawan. Tunggu sampe dia tenang, baru ajak ngobrol. Cinta itu soal sabar dan saling ngertiin. Jangan fokus ke siapa yang menang, tapi fokus ke masalahnya."
Kael tersenyum miring, menatap Alena. "Lo sering ngalamin itu ya, KittyCat?''
"Gue cuma belajar dari kesalahan orang lain. Dan gue nggak mau kalian jadi kayak mereka. Hubungan itu bukan soal siapa yang lebih kuat, tapi siapa yang lebih sabar."
Ghost Riders saling bertukar pandang, terlihat mulai memahami. Suasana di meja mereka menjadi lebih serius, berbeda dari biasanya.
Ezra menggaruk kepalanya, mengangguk pelan. "Lo ada benernya, Len. Gue sering liat orang berantem kayak tadi, tapi nggak pernah ngerti apa yang salah."
Luka tersenyum kecil. "Jadi, intinya kita harus jadi pendengar yang baik dan nggak egois, ya?"
Alena tersenyum tipis, menatap mereka satu per satu. "Persis. Cinta itu nggak rumit kalau kalian ngerti cara ngehargain orang lain."
Semua terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Alena. Namun, suasana berubah ketika Kael tiba-tiba tersenyum lebar dan menatap Alena dengan tatapan usil.
"Jadi, kalau gue ada di situasi kayak mereka tadi, lo bakal sabar nggak sama gue?"
Alena menatap Kael tajam, lalu mengambil secarik kertas dan melemparnya ke arah Kael. Ghost Riders tertawa keras, suasana kembali mencair.
"Kalian nggak bakal belajar apa-apa kalau terus bercanda. Sekarang, gue mau kalian inget apa yang gue bilang tadi."
...----------------...
Alena melangkah keluar dari kafe dengan langkah tenang, menikmati udara sore yang sejuk. Di belakangnya, Kael berjalan perlahan, memperhatikan tanpa suara. Ia menyeringai kecil, lalu mempercepat langkahnya untuk mendekati Alena.
"Ayam Pak Mamat!"
Alena melompat kecil karena terkejut. Ia menoleh ke arah Kael dengan tatapan kesal.
"Lo mau bikin gue jantungan, hah!"
Kael tertawa. "Lo juga udah bikin kita hampir jantungan, Ale."
Alena mendengus kesal, memutar bola matanya. Kael, tanpa menghiraukan ekspresi kesalnya, berjalan ke arah motornya yang terparkir tak jauh dari sana. Ia mengambil helm hitam dari motornya dan berjalan kembali ke Alena.
Kael menyerahkan helmnya, "Nih, pake."
"Nggak mau!"
"Mau!"
"Kok lo maksa?!"
"Karena lo harus di paksa dulu baru mau. Lo kan batu."
Alena menatap tajam Kael.
"Pake, Ale."
Alena menggeleng, jelas menolak. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Kael melangkah lebih dekat dan memasangkan helm itu di kepala Alena. Tangannya cekatan, tapi tetap lembut, memastikan helm itu pas di kepala Alena. Alena terdiam sejenak, terkejut oleh tindakan tiba-tiba itu.
Pria itu merapikan rambut Alena yang masih keluar dari helm. Tangannya bergerak melarikan sedikit poni Alena. Matanya terlihat sedikit kelegaan melihat benjol yang ada di dahi gadis itu sudah tidak ada hanya menyisakan sedikit kebiruan.
"Kok lo maksa banget sih! Gue nggak suka di paksa-paksa gue bisa pulang sendiri!"
Kael tertawa kecil, menatap Alena dengan tenang. "Lo nggak liat berita kah?"
Alena mengerutkan dahinya. Tapi tidak menjawab Kael.
"Banyak kejadian orang di culik ojek. Lo mau di culik?"
Alena berdecak sebal. "Gue bukan anak kecil yang bakal nangis lo takut-takutin!"
Kael menyengir. "Nggak mempan ternyata."
"Gue nggak mau lo pulang sendirian, Alena Veya Calista." Jelas Kael yang mulai gemas.
"Tau dari mana lo nama lengkap gue?!"
"Kita satu kelas, kalo lo lupa. Dah ah"
Sebelum Alena sempat protes lagi, Kael dengan santai menarik tangan Alena, membawanya menuju parkiran tempat motornya terparkir. Alena mencoba melepaskan tangannya, tapi Kael tidak melepaskannya.
"Kael! Lepasin! Gue bilang nggak mau!"
Kael berhenti sejenak, menoleh sambil tersenyum kecil. "Len, lo boleh ngomel sepanjang perjalanan nanti. Tapi sekarang, gue nggak bakal biarin lo pulang sendiri."
Alena hanya bisa mendesah panjang, akhirnya menyerah. Ia berjalan dengan enggan, mengikuti langkah Kael menuju motornya. Kael tersenyum puas, tahu bahwa ia telah menang dalam situasi ini.
Kael dan Alena tiba di parkiran. Kael menuntun motornya sambil sesekali melirik Alena yang masih memasang ekspresi kesal. Namun, suasana tiba-tiba berubah saat terdengar suara samar dari perut Alena.
Kael berhenti, menoleh sambil menahan tawa. "Lo laper?''
Alena langsung menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Ia pura-pura sibuk merapikan helm.
"Bukan! Lo salah denger!"
Kael tertawa lepas, melipat tangan di dada. "Jadi maksud lo tadi suara knalpot gue?"
Alena menatap Kael tajam.
"Gue tau tempat mie ayam enak, lo harus cobain, yok."
Alena menggeleng cepat, mencoba terlihat tegas. "Nggak perlu. Gue mau pulang aja."
Kael mendekat, menatap Alena dengan senyum jahil. "Lo mau naik motor gue sekarang, atau mau gue gendong?"
Alena menatap Kael dengan kaget, wajahnya langsung memerah. Ia tahu Kael serius dengan ucapannya. Tanpa banyak bicara, ia langsung melangkah cepat dan naik ke motor Kael, duduk dengan sikap kaku.
Kael tertawa puas sambil menoleh ke belakang. "Gitu dong, gue jadi nggak perlu repot-repot gendong lo."
Alena, yang sudah duduk di motor, langsung memukul punggung Kael dengan cukup keras. Kael hanya tertawa semakin keras, tidak mempedulikan protes Alena.
"Kael, lo bener-bener nyebelin, tau nggak?"
Kael masih tertawa, menyalakan motor. "Nyebelin tapi perhatian, kan. Duduk yang bener. Kita makan dulu, baru gue antar lo pulang."
Alena hanya mendesah panjang, menyerah dengan sikap keras kepala Kael. Motor mulai melaju, membawa mereka menuju tempat mie ayam yang Kael sebutkan. Di balik helmnya, Alena diam-diam tersenyum kecil, meskipun ia masih berusaha menyembunyikan rasa senangnya.
...----------------...
Motor Kael berhenti di depan sebuah warung mie ayam sederhana, tapi aroma gurih yang keluar dari dalam membuat suasana terasa hangat. Alena masih duduk di motor, terdiam sambil mengendus pelan aroma mie ayam yang menguar di udara. Matanya berbinar, meski ia berusaha menyembunyikan antusiasmenya.
Kael tersenyum, melihat ekspresi Alena. "Gue bilang juga apa, aromanya aja udah bikin lo penasaran, kan?"
Alena hanya mendengus kecil, lalu mencoba melepas helmnya. Tapi, seperti biasa, ia kesulitan dengan pengaitnya. Kael, yang sudah hapal kebiasaan Alena, langsung turun dari motor dan membantu.
Kael berdiri di depan Alena, tangannya cekatan melepas helm.
"Payah."
Alena memandangnya tajam. "Gue nggak payah, pengaitnya aja yang udah jelek!"
Kael tertawa kecil, melepaskan helm dari kepala Alena. "Yok, turun. Apa mau gue bantu turun juga?"
Alena melompat turun dari motor dengan cepat, lalu langsung berjalan menuju warung tanpa menunggu Kael. Ia sengaja ingin menunjukkan bahwa ia tidak butuh bantuan lagi. Kael hanya tertawa kecil, menuntun motornya ke parkiran sebelum menyusul Alena.
Di dalam warung, Alena sudah berdiri di dekat meja, matanya sedikit memandang daftar menu yang terpajang di dinding. Aroma mie ayam yang hangat benar-benar menggodanya.
Kael mendekati Alena, tersenyum usil.
"Udah keliatan ngiler banget. Mau pesan apa? Mie ayam biasa atau pake bakso?"
Alena membalas dengan tatapan kesal
"Gue nggak ngiler. Gue mau mie ayam biasa."
Kael mengangkat tangan untuk memanggil pelayan, lalu memesan dua porsi mie ayam. Sambil menunggu, ia duduk di meja yang sama dengan Alena. Alena sengaja duduk di ujung meja, menjauh sedikit dari Kael, tapi Kael tampak santai seperti biasa.
"Gue nggak salah milih tempat kan? Lo pasti suka mie ayam disini."
"Kita lihat aja dulu rasanya. Kalau enak, gue bakal kasih nilai. Tapi kalau nggak, gue nggak bakal balik lagi ke sini."
Kael tersenyum lebar. "Oke, gue terima tantangannya. Kalo lo suka lo harus kesini lagi sama gue."
"Kenapa harus sama lo?!"
"Karena gue yang ngasih tau tempat ini."
Beberapa menit kemudian, mie ayam yang mereka pesan datang, dan aroma gurihnya langsung memenuhi meja. Alena mencoba untuk tetap terlihat biasa saja, meski matanya tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya.
Alena mulai makan dengan tenang, mencoba fokus pada makanannya, tapi pandangannya sesekali melirik Kael.
Kael makan dengan santai, menggunakan sumpit dengan lihai. Ia sesekali menyeringai kecil, sadar bahwa Alena sedang mencuri-curi pandang ke arahnya.
"Kalo mau liat gue liat aja kali, nggak usah sembunyi-sembunyi kayak gitu. Gue tau gue ganteng." Ucap Kael tanpa menoleh.
Alena langsung terkejut, sendoknya terhenti di udara. Wajahnya memerah, tapi ia buru-buru menyembunyikan rasa malunya dengan berpura-pura fokus pada mangkuk mie ayamnya.
"Siapa juga yang ngeliat lo, gue cuma ngeliat dekorasi warung ini."
Kael menyeringai, meletakkan sumpitnya sejenak. "Oh, dekorasi ya? Dekorasi bagian mana? Gue nggak liat ada yang menarik di sini."
Alena memutar matanya, mencoba menghindari tatapan Kael yang sekarang menatap langsung ke arahnya. Ia mengambil sejumput mie dengan sumpitnya dan makan dengan cepat, berharap pembicaraan ini selesai.
Kael tertawa pelan, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Nggak usah malu. Gue emang ganteng jadi wajar aja lo ngeliatin gue sampe segitunya."
Alena meletakkan sumpitnya dengan kesal, menatap Kael tajam. "Lo terlalu percaya diri!"
Kael tertawa lepas, senang melihat Alena yang mulai kesal. Ia kembali mengambil sumpitnya dan melanjutkan makannya dengan santai, sementara Alena mendesah panjang, berusaha menenangkan dirinya.