Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 TIDAK ADA CINTA
Aku menelan ludah, merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya, sebelum aku sempat bertanya, Aisyah sudah menyiapkannya di hadapanku, tersenyum kecil sambil berkata, "Selamat makan, Mas."
Tapi kali ini berbeda.
Setelah beberapa detik, akhirnya Aisyah menjawab, tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
“Hari ini aku hanya masak yang sederhana,” katanya datar. “Ada roti dan telur. Kalau mau nasi goreng, masak sendiri saja.”
Aku terdiam.
Itu bukan sekadar jawaban biasa. Itu adalah penegasan bahwa semuanya sudah berubah.
Dulu, Aisyah selalu memastikan aku mendapatkan apa yang kusuka. Tapi sekarang, bahkan untuk sekadar nasi goreng pun dia tidak peduli.
Dan yang lebih menyakitkan adalah… aku tidak bisa menyalahkannya.
Aisyah akhirnya menoleh ke arahku, menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Ada ketenangan di wajahnya, tapi aku tahu betul itu bukan ketenangan yang nyaman.
“Atau…” katanya pelan, tapi suaranya cukup jelas terdengar di telingaku. “Mungkin sebentar lagi, nasi goreng kesukaan Mas akan dibuat oleh istri baru Mas.”
Jantungku seperti berhenti berdetak sesaat.
Aisyah kembali menatap piringnya dan melanjutkan sarapannya dengan santai, seolah ucapannya tadi hanyalah hal biasa.
Sementara aku masih terpaku di tempatku, tidak tahu harus berkata apa.
Kata-katanya menusuk jauh lebih dalam daripada yang pernah kuduga.
Selama ini, Aisyah adalah orang yang selalu peduli dengan kebiasaanku, dengan keinginanku. Dia tahu betul aku menyukai nasi goreng buatannya setiap pagi.
Tapi sekarang, dia bahkan sudah tidak ingin membuatkannya lagi.
Dan lebih dari itu, dia menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Bahwa aku tidak perlu lagi mengharapkannya. Karena sebentar lagi, aku akan memiliki orang lain yang mengurus kebutuhanku.
Seharusnya aku merasa senang, bukan? Bukankah ini yang aku inginkan? Bukankah ini yang diperjuangkan oleh orang tuaku?
Tapi kenapa… aku justru merasa kosong?
Setelah sarapan selesai, aku segera mengambil tas kerja dan bersiap untuk pergi. Biasanya, sebelum aku berangkat, Aisyah akan mengantarku sampai depan pintu, memberikan senyum hangat, lalu mencium tanganku sebagai tanda restu. Itu sudah menjadi kebiasaan kami selama bertahun-tahun.
Tapi pagi ini berbeda.
Aku sengaja melambatkan langkah, berharap dia akan menghampiriku seperti biasa. Namun, Aisyah justru sibuk membantu anak-anak bersiap ke sekolah.
Aku berdiri di dekat pintu, menunggu… dan menunggu.
Tapi dia tak juga menoleh ke arahku.
Saat akhirnya dia bergerak ke depan rumah, aku berpikir mungkin dia akan mengantarku—tapi ternyata, dia hanya ingin mengantar anak-anak ke mobil.
Aku menelan ludah. Perasaan tak nyaman semakin memenuhi dadaku.
"Aku berangkat," ucapku pelan, berharap setidaknya dia akan menoleh dan membalas.
Namun, Aisyah hanya memasangkan sabuk pengaman pada anak bungsu kami, lalu berkata, “Hati-hati di jalan.” Tanpa menatapku. Tanpa mendekat.
Aku mengangguk pelan, merasa seperti orang asing di rumahku sendiri.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku melangkah ke mobil dan berangkat kerja, tapi sepanjang perjalanan, pikiranku penuh dengan satu hal:
Aisyah benar-benar sudah mulai melepaskanku.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, pikiranku dipenuhi oleh bayangan Aisyah.
Dia benar-benar sudah berubah.
Bukan lagi wanita yang selalu tersenyum menyambutku, bukan lagi istri yang memastikan aku merasa nyaman di rumah. Sekarang, dia terasa seperti orang asing—seseorang yang tidak lagi peduli padaku.
Aku menghela napas berat, memijit pelipis yang mulai berdenyut.
Di satu sisi, aku ingin mengabaikan perasaan ini, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanyalah fase yang akan berlalu. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang menusuk hatiku setiap kali mengingat tatapan datarnya pagi tadi.
Pikiranku semakin kacau saat mengingat Aisyah. Semua perubahan sikapnya, tatapan datarnya, dan betapa dia kini terasa begitu jauh dariku.
Namun, yang lebih menusuk hati adalah saat anak-anakku bercerita kepadaku beberapa malam yang lalu.
"Ayah... tadi malam kami lihat Ibu nangis," ujar putri sulungku dengan suara pelan.
Aku terdiam, merasakan jantungku berdetak lebih kencang.
"Iya, Yah," tambah adiknya. "Kami nggak sengaja lihat Ibu duduk sendiri di ruang tamu. Matanya merah. Tapi waktu kami dekati, Ibu buru-buru lap air matanya dan senyum ke kami."
Aku menggigit bibir, berusaha menahan sesak yang tiba-tiba menyerang dadaku.
"Ibu bilang dia nggak apa-apa," lanjut putri sulungku. "Tapi kami tahu Ibu sedih. Kenapa, Yah?"
Aku tidak bisa menjawab saat itu.
Dan sekarang, ketika aku mengingat kembali percakapan itu, hatiku semakin sakit.
Aisyah menangis dalam diam.
Dia tidak pernah berteriak, tidak pernah melarangku, tidak pernah memohon agar aku membatalkan keputusan ini. Tapi air matanya yang disembunyikan dari anak-anak cukup menjadi bukti bahwa dia sedang menahan luka yang begitu dalam.
Dan yang lebih menyakitkan adalah... aku penyebabnya.
Setibanya di kantor, aku masih terus memikirkan Aisyah. Kepalaku penuh dengan bayangan dirinya, tatapan dinginnya, dan cerita anak-anakku tentang bagaimana dia menangis diam-diam setiap malam.
Aku berusaha fokus pada pekerjaanku, tapi itu sia-sia. Aku terus melamun, menatap layar komputer tanpa benar-benar membaca apa yang ada di sana.
“Reza.”
Aku tersentak saat mendengar suara temanku, Raka. Dia menatapku dengan dahi berkerut, jelas menyadari ada yang tidak beres denganku.
“Lo kenapa? Dari tadi ngelamun terus.”
Aku menghela napas, menyandarkan tubuh di kursi. Aku tidak bisa menyembunyikannya lagi.
“Gue… lagi ada masalah,” jawabku pelan.
Raka menarik kursinya lebih dekat. “Masalah apa? Kalau bisa diceritakan, cerita aja. Siapa tahu ada solusi.”
Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya—tentang desakan orang tuaku untuk menikah lagi, tentang Aisyah yang berubah, tentang anak-anakku yang melihat ibunya menangis, dan tentang rasa bersalah yang semakin menghantuiku setiap hari.
Saat aku selesai bercerita, Raka terdiam cukup lama.
“Reza… lo sadar nggak, sih?” katanya akhirnya. “Aisyah bukannya berubah, dia cuma berhenti berjuang.”
Aku menatapnya, bingung. “Maksud lu?”
Raka menghela napas. “Dulu, dia berjuang buat jadi istri yang baik, selalu perhatian, selalu nurut. Tapi sekarang? Dia sadar semua itu sia-sia. Jadi dia berhenti. Bukan karena dia nggak sayang lagi, tapi karena lo sendiri yang membuat dia lelah.”
Kata-katanya menusukku begitu dalam.
Aku tidak bisa membantahnya. Karena dalam hati, aku tahu—itu benar.
Raka menatapku dengan serius, ekspresinya jauh berbeda dari biasanya.
"Reza, dengerin gue baik-baik," katanya dengan nada lebih dalam. "Hati-hati sama keputusan yang lo buat. Apalagi kalau itu cuma karena tekanan orang tua."
Aku menghela napas, merasa berat. "Gue cuma nggak mau ngecewain mereka, Rak. Mereka pengen cucu laki-laki buat meneruskan keluarga."
Raka menggeleng. "Dan lo mau ngorbanin rumah tangga lo buat itu? Lo sadar nggak, banyak laki-laki yang nyesel seumur hidup karena dengerin orang tuanya dalam hal kayak gini?"
Aku terdiam.
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang