Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.
Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.
Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.
Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Tak Terduga
Langit malam telah gelap sempurna ketika mobil Lisa akhirnya memasuki halaman rumah. Naya bersandar lelah di kursi penumpang, matanya menerawang, pikirannya melayang pada Sean. Meskipun hari itu menyenangkan, hatinya tetap terasa kosong. Ada bagian dari dirinya yang ingin segera pulang — kembali ke putranya. Tiga hari tanpa Sean terasa seperti selamanya.
Belum sempat Lisa mematikan mesin, ponselnya bergetar kencang di dashboard. Nada dering itu memecah keheningan, membuat Naya dan Lisa saling melirik. Lisa menghela napas sebelum akhirnya mengangkat telepon.
“Halo?”
Suara pria dari seberang terdengar buru-buru. “Selamat malam, ini dengan Lisa, adik dari Brian?”
Lisa langsung menegang. “Iya, betul. Ada apa ya?”
Naya menatap Lisa cemas, mencoba membaca ekspresinya.
“Begini, Mbak… saya dari pengelola bar dan kafe Aurum Lounge. Kakak Anda, Brian, ada di sini bersama seorang pria yang mengaku sepupu beliau. Mereka dalam keadaan mabuk berat dan tidak bisa mengendarai kendaraan masing-masing.”
Lisa mengerjap, tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Maaf… Kak Brian? Mabuk?”
Naya pun terlihat kaget, mengingat bagaimana sosok Brian yang selalu disiplin dan teratur. Seolah-olah kata mabuk dan Brian adalah dua hal yang mustahil ada dalam satu kalimat.
“Benar, Mbak. Kami sudah coba menawarkan bantuan taksi, tapi mereka menolak. Karena itu, kami hubungi kontak darurat yang tertera di ponsel Kak Brian.”
Lisa langsung bangkit. “Baik, saya akan segera ke sana.”
Setelah menutup telepon, Lisa memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya. “Astaga, Nay… Kak Brian mabuk. Aku gak habis pikir.”
Naya mengernyit. “Dia sama siapa?”
“Sepupu kami, Aldo. Dan mereka masing-masing bawa mobil.”
Sejenak hening, sampai akhirnya Lisa mendengus frustrasi. “Aku gak bisa nyetir mobil manual. Kak Brian bawa mobil manual.”
Naya menatap Lisa, lalu mengangguk mantap. “Aku bisa.”
Lisa terkejut. “Serius, Nay?”
“Aku biasa nyetir mobil manual. Alvin dulu pake itu. Jadi aku bisa.”
Lisa memegang tangan Naya, matanya berbinar penuh harapan. “Oke, berarti nanti aku antar Aldo, kamu bawa Kak Brian ke apartemennya. Aku kirim alamatnya ke kamu.”
Naya menelan ludah. Ia ragu sejenak — bukan karena soal menyetir, tapi memikirkan bagaimana ia akan berdua saja dengan Brian yang sedang tak sadarkan diri. Tapi ini demi membantu Lisa, dan tentu saja Brian juga.
“Baik, ayo kita jemput mereka.”
DI BAR AURUM LOUNGE
Suasana bar terasa remang, dengan aroma alkohol yang tajam menusuk hidung. Musik pelan berdentum dari sudut ruangan, sementara beberapa pengunjung masih sibuk menikmati malam mereka.
Lisa dan Naya langsung disambut oleh seorang pria dari pengelola bar. “Anda Lisa?”
“Iya.”
Pria itu mengantar mereka ke sebuah sofa besar di pojok ruangan. Di sana, Brian terlihat bersandar dengan mata setengah terpejam, wajahnya merah padam. Sementara di sebelahnya, Aldo menggumam tak jelas, sesekali tertawa sendiri.
“Kak Brian?” panggil Lisa, mencoba membangunkannya.
Brian membuka matanya sedikit, menatap Lisa, lalu tertawa kecil. “Liiiisaaa… adikkuuu sayang…” katanya dengan suara berat, tangannya hampir merangkul Lisa, tapi terhenti.
Naya berdiri agak jauh, bingung dan canggung, tak pernah melihat Brian selemah ini.
Lisa menghela napas panjang. “Astaga… ini pertama kalinya aku liat Kak Brian kayak gini.”
Aldo terkekeh. “Santai aja, Lis… ini cuma… sekaliii… seumur hidup…” ucap Aldo terbata-bata.
“Ya ampun, Aldo…” Lisa memutar mata.
Setelah sedikit berunding, mereka memutuskan untuk membawa Brian dan Aldo secara terpisah. Lisa akan mengantar Aldo pulang, sementara Naya mengantarkan Brian ke apartemennya.
PERJALANAN KE APARTEMEN BRIAN
Naya membantu Brian berdiri, meski lelaki itu jauh lebih tinggi dan berat darinya. Dengan susah payah, ia memapah Brian ke mobil manual milik lelaki itu.
Brian terhuyung sebelum masuk mobil. “Aku bisa nyetir sendiri…” gumamnya, meski langkahnya limbung.
“Gak, Kak… aku yang nyetir,” jawab Naya tegas, mencoba mengabaikan kegugupannya.
Setelah Brian duduk di kursi penumpang, Naya masuk, menarik napas panjang, lalu menyalakan mesin mobil. Ternyata menyetir mobil manual di malam hari sambil membawa orang mabuk adalah tantangan besar.
Di sepanjang jalan, Brian terus meracau.
“Naya… Na… yaaa…”
Naya meliriknya sekilas. “Kenapa, Kak?”
Brian memejamkan mata, kepalanya bersandar ke jendela. “Kamu tuh… aneh…”
Kening Naya berkerut. “Aneh gimana?”
“Kamu… diem… tapi matamu… ngomong…” kata Brian pelan, suaranya berat dan lemah.
Naya menelan ludah. Ia tak tahu harus menjawab apa.
Lalu Brian tertawa kecil, entah karena apa. “Aku biasanya kuat minum… tapi… Aldo… nyuruh aku minum banyak…”
Naya hanya diam, mencoba fokus pada jalanan.
Setibanya di apartemen Brian, Naya memarkir mobil dengan hati-hati. Apartemen Brian terlihat modern dan minimalis, seperti kepribadian lelaki itu — atau setidaknya, kepribadian yang selama ini Naya tahu.
DI DALAM APARTEMEN
Naya membantu Brian turun dari mobil, memapahnya masuk ke dalam apartemen. Meski pintunya elegan dan rapi, suasana di dalam terasa kosong dan dingin.
Brian hampir terjatuh di sofa begitu mereka masuk. Naya buru-buru membantunya duduk.
“Kak, udah… istirahat aja ya,” ucap Naya canggung.
Brian memandang Naya lama — tatapannya kosong, namun tetap tajam.
“Naya…” gumamnya, tangannya tiba-tiba terangkat seolah ingin menyentuh wajah Naya.
Naya refleks mundur selangkah. “Kak… udah ya… aku pulang.”
Alih alih mendapat ucapan terimakasih atau mempersilahkan Naya pulang, Brian justru semakin bergejolak menahan Naya. Brian tak suka dibantah, tak ada yang boleh melawannya termasuk Naya.
Naya tersentak saat Brian menarik pergelangan tangannya, genggamannya kuat hingga membuatnya meringis. Jantungnya berdebar kencang, nafasnya memburu.
“Kak Brian… tolong lepasin,” suara Naya bergetar, dadanya sesak.
Tatapan Brian kosong namun tajam, wajahnya memerah karena alkohol. “Kamu… bikin Lisa ngelawan aku,” gumamnya. “Sejak kamu datang, dia berubah.”
Naya menggeleng panik. “Aku gak pernah, Kak… tolong aku mau pulang.”
Ia mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Brian justru semakin kuat. Naya meronta, mendorong dada Brian dengan kedua tangannya, namun tubuh pria itu tak bergeming.
“Kak, tolong… jangan begini,” suaranya hampir pecah.
Brian justru mendorong Naya ke dinding, tangannya menekan bahunya hingga ia tak bisa bergerak. Ketakutan mulai menguasai Naya, tubuhnya gemetar hebat.
“Aku gak suka kamu, Naya,” desis Brian. “Kamu racunin pikiran adikku.” Lanjutnya.
Air mata Naya mulai mengalir. Ia kembali memberontak, berusaha melepaskan diri. Tangannya mendorong, mencakar lengan Brian, bahkan menendang kakinya dengan sisa tenaga yang ia punya.
“Kak… aku takut… tolong lepasin aku!” pekik Naya, suara nyaris patah.
Brian hanya terdiam, tatapannya kosong, namun genggamannya tak melonggar. Alam bawah sadarnya masih melihat Naya sebagai ancaman, meski dirinya tak benar-benar sadar dengan apa yang ia lakukan.