Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya
Di depan sebuah meja berwarna cokelat yang diduduki seorang cewek berbaju hitam dan dua orang cewek pucat berbaju putih di samping kiri dan kanannya, gue dan Sulay menceritakan semua hal yang terjadi terkait kejadian jin ikan gabus di pemancingan.
Satu hal yang baru gue ketahui dengan jelas adalah: Sulay meminta informasi soal gue kepada tim ini diam-diam sebelum kejadian itu terjadi. Itulah alasan kenapa Naya bisa terlibat di sana. Anehnya, tim informasi bisa memprediksi kalau Naya akan ke tempat itu hari ini.
"Jadi, jin itu sebenarnya memang penunggu sungai, ya, Pak?" tanya cewek itu.
"Iya. Ada beberapa laporan dari pemancing kalau dia emang sering meresahkan," sahut Sulay.
"Dan apakah Bapak yakin dia sudah hilang dari sana?"
"Saya yakin, karena eksekusinya langsung ditangani oleh spirit."
Cewek itu kemudian menatap pipi kiri gue yang terluka.
"Apa luka Bapak sudah ditangani serius?"
"I-iya ... gak apa-apa, kok."
Kami sudah bangun dari kursi dan siap-siap pergi ketika salah satu cewek pucat di sana menyerahkan sebuah berkas bersampul merah.
"Apa, nih?" tanya Sulay.
"Data dan informasi terkait 'dia' yang ada baiknya Bapak pelajari dari sekarang."
Sulay menyerahkan berkas itu ke gue. Sampul merahnya membuat asumsi yang gak jauh dari Dea. Hari sudah semakin malam, dan perut gue semakin lapar.
"Udah jam segini, Pak. Gue udah boleh pulang belum, ya?" tanya gue
"Pulang apaan? Bukan cuma lo yang sibuk seharian ini, gue juga! Kita harus pelajari berkas ini dulu, baru boleh pulang."
"Tapi gue lapar, Pak. Gue gak bisa mikir kalau lapar."
Sulay menyepak kaki gue.
"Mie goreng atau nasi goreng?" tanya Sulay dengan cepat.
"Campur!" sahut gue lebih cepat.
"Nah! Itu lo masih bisa mikir. Udah, gak ada alasan lagi. Kita beresin berkas ini malam ini juga."
Duduklah gue bersama orang penggemar Naruto ini hingga jam 11 malam di rooftop kantor. Sudah udaranya dingin, capek, lapar, gak ada kopi, gak ada ... Mery lagi. Gak enak banget duduk berdua bareng Sulay ini.
"Lo kenapa, sih? Lo gak pernah lembur di kantor, ya?"
"Gue lapar, Pak. Gue mau pulang ke rumah,"
"Emang lo punya makanan apa di rumah lo?"
"Y-ya ... enggak tahu juga, sih. T-tapi, kan di rumah gue bisa mikir mau makan atau tidur."
Sulay cuma menatap gue lalu kembali membolak-balik berkas bersampul merah itu. Sebuah pesan WhatsApp dari Mery masuk ke HP gue saat Sulay sibuk dan gue yang mulai ngantuk.
"Udah makan belum, Do?"
"Belum. Gue disandera Pak Sulay di rooftop."
Sulay menatap gue yang main HP lalu menghentakkan tangannya ke meja.
"Jadi ... setelah gue baca secara cepat, kesimpulan yang gue ambil ada beberapa hal:
Pertama, percaya atau enggak, Dea udah ada dan udah jadi salah satu masalah kantor kita dari generasi Pak Tsat.
Kedua, untuk pertama kalinya, dia membuat kontrak dengan pegawai kantor kita. Hal ini membuat pihak kantor bertanya-tanya.
Ketiga, Dea bukanlah nama aslinya."
Gue memperhatikan sampul merah itu ketika Sulay menjelaskan. Kalau diingat lagi, Dea emang identik banget sama warna merah.
"Jadi ... sekarang kita harus apa dulu, Pak? Kita, kan juga udah janji buat bantuin Dea ketemu sama pelukisnya."
"Iya gue juga bilang pengin bantu dia, kok. Tapi, kan waktu itu gue juga bilang kalau kepentingan kantor adalah prioritas gue, Do."
Gue meraih berkas itu dan membukanya. Berkas ini sedikit lebih tebal dari berkas Torgol waktu itu. Gue membaca secara cepat dan penjelasan Sulay emang benar adanya. Kalau perkara usia, gue gak kaget soal dia yang sudah ada sejak zaman dulu. Dan namanya yang ternyata bukan nama asli juga bukan jadi hal yang mengganggu pikiran gue. Yang membuat gue pengin mikir lebih keras adalah: Dea dan kantor ini punya konflik apa, sih? Kenapa bisa selama itu dan gak selesai-selesai?
"Mohon maaf, Pak. Kalau boleh ... beri gue waktu lebih buat mengenal Dea lebih jauh sebelum kita bertindak."
"Lo butuh waktu berapa lama? Lo tahu, kan kalau kerjaan kita selalu dadakan? Lo tahu, kan kalau lo wajib selalu siap buat kerjaan kantor?"
"Iya gue paham itu, Pak. Tapi ... gue rasa ada sesuatu yang mungkin kantor gak pernah tahu soal Dea. Dan gue, sebagai salah satu orang kantor ini pengin nyari tahu itu semua."
Tangga besi di samping kanan gue berbunyi. Terdengar suara langkah mendekat. Gue dan Sulay menunggu siapa yang muncul.
"Di sini ternyata. Gue cariin ke mana-mana juga. Nih, makan dulu."
Mery menaruh sebuah kantong plastik putih di atas meja.
"Lo lapar, kan, Do? Gue gak tahu lo suka ini atau enggak."
Gue membuka bungkus itu. Nasi goreng! Kesukaan gue!
"Nasi! Ini favorit gue, Mer!"
"Bagus, deh. Perlu gue suapin nggak?"
Sulay menatap Mery, lalu menatap Gue.
"Kenapa repot-repot ngasih dia makan, sih!? Dia jadi gak fokus kerja, nih!"
"Eh, dia ini bukan robot, ya! Lagian lo kenapa, sih ngajak dia lembur gini? Emang lagi ngerjain apaan, sih?"
Gue menyerahkan berkas bersampul merah itu pada Mery sambil makan.
"Dari awal gue ke sini, nih cewek emang gak ada habis-habisnya," kata Mery.
"Lo ... nganggap dia cewek, Mer?" tanya gue.
"Iya. Emang cewek, kan?"
Sulay membuka kantong plastik. Kosong.
"Makanan gue mana!?" tanya Sulay.
"Lo, kan cuma mikirin kerjaan. Lo gak butuh makan, dong," sahut Mery.
Sulay diam aja. Gue pengin ketawa. Gue berhenti mengunyah makanan sejenak buat memandangi Mery yang pada saat ini gak pake celemek cokelatnya. Kalau dilihat di bawah sinar bulan kayak gini, Mery ini seperti sebuah cangkir kaca yang memantulkan cahaya.
Sebuah cangkir mewah dan mahal, yang pasti hanya pas kalau diisi oleh kopi terbaik. Sebuah cangkir yang bisa aja retak kalau gak diperlakukan dengan baik. Kenapa gue bisa kepikiran itu, ya? Gue emang jadi jenius banget kalau lagi makan.
"Jadi intinya, lo bawa pulang berkas ini, lo pelajarin langsung bareng Dea di rumah lo. Gue gak tahu dia akan marah soal data dia yang tertulis di sini atau gimana. Dan semoga aja lo bisa ngajak dia diskusi dengan hati-hati. Lo paham, kan Do?"
"Siap, Pak."
Sulay turun dan pergi. Mery masih duduk di depan gue, memperhatikan gue yang lagi makan.
"Lo ... tinggal serumah sama Dea, Do?"
"Dia gak mau pergi, tapi dia udah gue marahin kalau berani ikut gue tidur di kamar. Dan tadi pagi dia bikinin gue sarapan walau dapur gue hampir habis kebakaran."
Mery ketawa.
"Bukan itu bagian lucunya. Lo kecepatan ketawa."
"Oh, ya? Coba di mana lucunya?"
"Di bagian waktu Sulay diseretnya dari kamar mandi gue."
Mery ketawa keras banget. Gue jadi ketawa juga kalau ingat Sulay yang gak berdaya waktu itu.
"Parah lo, Do. Dia pasti malu banget kalau dilihat orang lain waktu itu."
Nasi goreng sudah habis, dan gue sudah kenyang. Gue menyandarkan tubuh ke kursi sambil memejamkan mata ke arah bulan.
"Gimana nasi goreng bikinan gue?"
"Hah!? Lo masak sendiri!?"
"Iya, dong. Emang lo pikir apaan?"
"Gue ... g-gue pikir lo beli."
"Wah, parah lo, Do!"
Mery mencubit perut gue. Sakit.
"I-iya ... enak, kok. Kapan-kapan kalau lo bikin lagi, gue mau, kok habisinnya."
"Lo jangan berlebihan gitu, dong. Ini nasi goreng pertama yang gue bikin, lho. Ada kemungkinan lo sakit perut atau keracunan."
"Hah!? Emang lo pakai bumbu apaan?"
Mery senyum-senyum.
"Ada, deh. Bumbu rahasia.”