Kisah tentang seorang gadis yang cantik dan lembut, ia harus menjalani hari-harinya yang berat setelah kepergian kakak perempuannya. Anak-anak yang harus melakukan sesuai kehendak Ibunya. Menjadikan mereka seperti apa yang mereka mau. Lalu, setelah semuanya terjadi ibunya hanya bisa menyalahkan orang lain atas apa yang telah dilakukannya. Akibatnya, anak bungsunya yang harus menanggung semua beban itu selama bertahun-tahun. Anak perempuan yang kuat bernama Aluna Madison harus memikul beban itu sendirian setelah kepergian sang kakak. Ia tinggal bersama sang Ayah karena Ibu dan Ayahnya telah bercerai. Ayahnya yang sangat kontras dengan sang ibu, benar-benar merawat Aluna dengan sangat baik. **** Lalu, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang selalu menolongnya disaat ia mengalami hal sulit. Laki-laki yang tak sengaja ia temui di gerbong Karnival. Lalu menjadi saksi perjalanan hidup Aluna menuju kebahagian. Siapa kah dia? apakah hanya kebetulan setelah mereka saling bertemu seperti takdir. Akankah kebahagian Aluna telah datang setelah mengalami masa sulit sejak umur 9 tahun? Lika liku perjalanan mereka juga panjang, mereka juga harus melewati masa yang sulit. Tapi apakah mereka bisa melewati masa sulit itu bersama-sama? *TRIGGER WARNING* CERITA INI MENGANDUNG HAL YANG SENSITIF, SEPERTI BUNUH DIRI DAN BULLYING. PEMBACA DIHARAPKAN DAPAT LEBIH BIJAK DALAM MEMBACA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugardust, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menginap
Katrina dan Chloe juga melangkah untuk pulang dengan menaiki bus bersama.
“ Jaeden, mau pulang bersama ayahku, aku akan mengantarkan ke rumah pamanmu, dimana rumahnya?” tanyaku pada Jaeden.
“ Eh tidak usah, aku akan pergi sendiri nanti, terima kasih tawarannya, Aluna” jawab Jaeden yang menolak tawaranku.
“ Sungguh? tidak apa-apa mari pulang bersama, ayahku pasti dengan senang hati memberikanmu tumpangan” ucapku yang sedang meyakini Jaeden.
“ Baik lah, kalau kau tidak keberatan. Tapi rumah pamanku berada di jalan Naville 3, bagaimana dengan rumahmu?” tanya Jaeden meyakinkan ajakanku.
“ Oh! tepat sekali! rumahku berada di jalan Boulevard, kita searah” seruku.
“ Eh itu mobil ayahku sudah sampai, ayo kesana” aku menarik tangan Jaeden dan berjalan menuju mobil ayah.
“ Ayah!” panggilku.
“ Eh putriku, siapa ini?” tanya ayah yang penasaran.
“ Oh, kenalkan dia Jaeden teman sekelasku, bolehkah dia menumpang dengan kita karena kita searah” aku menjelaskan situasi dan mulai menanyakan pada ayah, lalu aku buru-buru melepaskan genggaman tanganku dari tangan Jaeden.
“ Oke, baiklah. Apa kalian sudah makan malam? ayah belum. Ayo kita makan malam terlebih dahulu” ajak ayah.
“ Saya tidak usah paman, tidak apa-apa” tolak Jaeden dengan halus.
“ Hei, kalau ditawari orang tua terima saja” ucapku meyakinkan Jaeden.
“ Ayo ayah kita pergi, aku juga sangat lapar! apa boleh kami makan ramen malam ini?” karena aku ingin sekali memakan makanan Jepang hari ini.
“ Tentu saja boleh, ayo naik ke mobil” ayah membukakan pintu belakang untuk Jaeden dan pintu depan penumpang untukku.
Selama perjalanan menuju tempat makan Jaeden tampak diam saja. Dia tidak berkata apapun, mungkin saja karena dia malu dan baru pertama kali bertemu dengan ayah. Saat sampai di tempat makan, kami pun diarahkan oleh pelayan di kursi untuk tiga orang. Jaeden menyamakan pesanannya denganku. Sembari menunggu makanan yang kami pesan tiba. Aku mulai mencairkan suasana.
“ Ayah, apa kau tahu karyawisata itu ternyata sangat menyenangkan, aku benar-benar senang mengikutinya ayah! aku kembali dengan perasaan yang senang!” ucapku yang sangat antusias menceritakan perjalanan karyawisataku.
“ Oh iya? apa semenyenangkan itu berlibur bersama teman-temannu?” tanya ayah padaku, ayah sangat antusias mendengarkan ceritaku.
“ Iya ayah! waktu itu kakiku sedikit terkilir tapi Jaeden menggendongku hingga ke kamar dari atas bukit. Jadi ayah harus mentraktirnya makan karena sudah menolong putri ayah!” ucapku sambil tesenyum.
“ Apa benar itu Jaeden?” ayah bertanya pada Jaeden memastikan kebenaran.
“ Ah iya paman, aku hanya menolong saja” jawab Jaeden yang malu.
“ Tapi kenapa kakimu bisa terkilir? apa sekarang masih sakit? mau ke rumah sakit?” ayah terlihat sedikit cemas setelah mendengar kakiku terkilir.
“ Tidak usah ayah, berkat Jaeden dan teman-temanku, aku bisa dengan cepat mendapatkan pertolongan dari tim kesehatan, sekarang sudah tidak apa” jawabku yang sedang menenangkan hati ayah.
“ Baiklah, makanan sudah datang, ayo kita makan, tapi pelan-pelan masih panas” ucap ayah sambil mengaduk ramennya.
Kami mulai menikmati semangkok ramen yang telah dihidangkan, wanginya sangat harum rempah, aku perlahan-lahan mulai menyeruput kuah dari ramen itu. Mulai memakan sedikit demi sedikit menggunakan sumpit dan sendok khusus. Aku sangat menikmatinya.
Ayah pergi membayar tagihan ke kasir, aku dan Jaeden menunggu di luar. Suasana hati Jaeden terlihat semakin baik.
“ Apa kau sudah kenyang?” tanyaku pada Jaeden.
“ Iya, aku sudah kenyang, akan sangat berterima kasih padamu dan ayahmu” jawab Jaeden yang tersenyum menampakkan giginya kepadaku.
“ Seharusnya aku yang berterima kasih padamu, lain kali aku akan mentraktirmu lagi” ucapku pada Jaeden, aku sungguh-sungguh berterima kasih, makna terima kasihku sebenarnya sangat luas.
Ayah telah selesai membayar dan malangkah keluar, kami memasuki mobil dan mobil mulai melaju. Kami mengantar Jaeden dulu ke rumah pamannya. Tapi sayangnya rumah pamannya kosong. Jaeden terlihat kebingungan. Lalu aku menawarkannya untuk menginap di rumahku.
“ Ayah, apa boleh Jaeden menginap di rumah kita untuk malam ini saja?” tanyaku ragu kepada ayah.
“ Mana bisa begitu, anak laki-laki dan perempuan dalam satu rumah, tidak, tidak boleh”
“ Tidak usah Aluna, tidak apa aku akan menginap di motel terdekat saja” saut Jaeden.
“ Ayah tolong kali ini saja, aku akan menceritakan keadaan yang terjadi pada Jaeden nanti saat di rumah kepada ayah, dia bisa tidur di kamar tamu” aku berbisik memohon kepada ayah agar mengizinkan Jaeden untuk menginap di rumah kami.
“ Ya sudah baiklah, Jaeden kau boleh menginap di rumah kami tapi hanya untuk malam ini saja” ucap ayah yang seperti setengah hati memberikan izin.
“ Ah kalau paman berkenan, apa boleh? karena saya sudah merepotkan paman hari ini” tanya Jaeden yang memastikan perkataan ayah.
“ Iya, masuk lah ke mobil” jawab ayah singkat.
“ Terima kasih paman, atas kebaikanmu” ucap Jaeden sambil membungkukkan kepalanya.
Jaeden pun masuk ke dalam mobil, dan mobil melaju ke rumah kami. Hari sudah malam, sekitar jam sembilan malam lewat. Aku sudah lelah dan ingin segera berbaring di kasurku, aku sangat merindukan kasurku.
Sesampainya di rumahku, setelah turun dari mobil ayah membuka pintu rumah. Aku mempersilakan Jaeden masuk, dan menunjukkan kamar tamu yang akan dia gunakan. Ayah naik ke lantai dua dan pergi ke ruang kerjanya terlebih dahulu. Aku bergegas masuk ke kamar dan meletakkan barang-barangku, lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri. Aku ingin segera berbaring.
Saat membuka pintu kamarku untuk keluar, aku melihat Jaeden yang juga akan mandi.
“ Ah, kau duluan saja menggunakan kamar mandi” ucapku pada Jaeden mempersilakan dia masuk kamar mandi.
“ Oh iya baiklah, terima kasih”
Setelah beberapa saat sembari aku menunggu di ruang tamu dan menonton televisi, dan sepertinya Jaeden sudah selesai mandi.
“ Apa kau sudah selesai man…di?” aku membalikkan badanku dari kursi tengah dan melihat ke arah Jaeden yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Betapa terkejutnya aku, dia tidak memakai sehelai baju pun, dia keluar dengan bertelanjang dada, hanya menutupi bawahnya dengan celana pendek dan handuk yang dia kalungkan di lehernya.
“ Hei! kenapa kau tidak pakai baju! tutup dulu sana!” teriakku yang sangat terkejut berusaha membalikkan pandangan dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku.
“ Ah, aku lupa aku bukan di rumah” dia kembali masuk ke kamar mandi, dia juga tampak terkejut dan begitu malu.
Hatiku berdegub kencang, aku juga malu karena sudah melihat sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat itu.
“ Apa itu tadi? tubuhnya benar-benar bagus dan seperti pahatan patung yang dibentuk dengan sempurna” aku berbicara dalam hati.
“ Ah apa yang aku fikirkan! dasar Aluna sudah gila!!” sepertinya aku sudah gila, aku mulai memukul-mukul kepalaku dengan tanganku.
Dia telah keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar. Aku membesarkan volume televisi agar pura-pura tidak mendengar dia lewat. Aku sungguh malu untuk menatapnya. Setelah mendengar suara pintu di tutup, aku segera masuk kamar mandi dan mulai mandi, aku terus membayangkan tubuh Jaeden bahkan saat aku memejamkan kedua mataku, aku sudah tidak ingin mengingatnya, tapi pikiran jahat itu terus saja menggangguku. Aku benar-benar perempuan yang tak tahu malu. Aku malu sekali, ini membuatku gila.