Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ke -20
Hari ke-20
16.30 WIB, waktunya pulang ke rumah melanjutkan kehidupan sehari-hari yang semakin terasa hambar.
Aku tak mengerti dengan perasaanku sekarang, hatiku hampa. Tak ada yang bisa ku deskripsikan atas kondisiku hari ini.
Dengan lunglai, kutinggalkan kantor, semoga sore ini ada secerca harapan, atas ulah yang kulakukan.
"Pulang, Wan?" Entah mengapa, akhir-akhir ini Anto selalu membuat moodku semakin buruk.
"Gak. Mau ke sawah," ketusku.
"Widih, jadi petani sekarang?" ejeknya.
"Iya. Mau nyangkul lahan yang luas, nanti bekas galiannya, bisa kugunakan untuk sumpal mulut kau."
"Wkwk, emosi terus!"
"Kau yang memancing emosiku, To," delikku. Aku sengaja berjalan cepat agar tidak sejajar dengannya.
"Yaudah, maaf deh," ujarnya bersalah.
"Dahlah, aku mau pulang dulu." Tak mau mendengar ocehannya, aku segera menjauh darinya.
"Hati-hati, Wan! Yang kuat mentalnya, ya!" Dia berteriak, menyebalkan.
***
"Assalamu'alaikum!" Kulihat tiga orang anak manusia sedang asyik bermain di halaman rumahku. Mereka tertawa riang, seperti tak punya beban.
"Waalaikumssalam, pulang, Bro?" Rasyid menoleh ke arahku.
"Iya," jawabku lemah. Aku melirik Limah, ia tidak berniat menghampiriku.
"Kenapa lesu gitu?" tanyanya lagi.
"Bukan urusanmu, Syid."
"Haha, oke, oke." Tawanya renyah, namun hatiku panas.
Halimah bisa tertawa bersamanya, sementara 4 hari ini, jangankan tawa, suaranya saja jarang terdengar.
Kutatap wajahnya, dia masih sibuk dengan mainan Jingga, tanpa menoleh barang sekejap.
"Dik, lagi apa?" tanyaku berbasa-basi sembari mendekat ke arahnya. Ia sedang mencetak pasir sambil selonjoran di tanah. Benar-benar gak takut kotor.
"Apa?" ketusnya.
"Salim dulu, suaminya pulang." Kusodorkan tanganku. Tanpa diduga dia mencium tanganku. Ada yang berdesir di sini. Dalam dada.
"Sayang, Ayah pulang!" Jingga sedang sibuk mencetak pasir Play-Doh yang kubelikan pekan lalu.
"Iya, Ayah." Dia nyengir sambil menampakkan telapak tanganya yang kotor, aku mengacak rambutnya gemas.
Mereka kembali sibuk dengan mainan Jingga. Tak ada yang mengajakku ikut bermain sama sekali.
Baiklah, aku melangkah masuk. Capek rasanya, ada namun seperti dianggap tak ada.
Kujatuhkan diri di sofa, menghilangkan penat. Lelah sesungguhnya, bukan karena capek fisik, lebih-lebih hati yang capek. Kupejamkan mata, merasakan hembusan nafas yang kian memberat.
"Diminum tehnya, Mas." Aku tersentak kaget. Ah mungkin halusinasi ku saja.
"Mas?" Suaranya seperti nyata, apa aku tak salah dengar?
Aku memicingkan mata, di hadapanku sedang berdiri seorang perempuan yang hadirnya kini sangat kurindukan.
"Dik…" Aku segera bangun, lalu memeluknya.
"Ish, awas!" Ia berusaha melepaskan diri dari pelukanku, namun tidak akan kubiarkan itu terjadi.
"Gak. Sebentar saja, ya. Mas, mohon." Kucium aroma tubuhnya yang wangi. Lama sekali, aku tak merasakan bau itu.
"Udah?" Ia mulai mendorong tubuhku untuk menjauh. Sayangnya kali ini tenagaku lebih besar darinya. Usaha Limah sia-sia.
"Belum." Aku semakin mengeratkan pelukan.
"Mas, aku engap. Mas juga bau." Dia mendorong tubuhku.
"Makasih," ujarku cengengesan.
"Ngapain si peluk-peluk segala? Kayak teletubis aja," dengkusnya kesal. Aku senang mendengar ocehannya kembali.
"Lebih dari teletubis," godaku.
"Dih, kebanyakan ngayal, jadi kayak gitu. Tuh minum tehnya keburu dingin." Dia berlalu meninggalkanku.
Aku seperti tersengat listrik, melonjak kegirangan. Hatiku yang hampa mulai menghangat.
"Ayah kenapa loncat-loncat kayak gitu?" Jingga memperhatikanku aneh. Duh, malu rasanya.
"Sehat, Bro?" Rasyid menatapku. Aih ngapain dia ada dimana-mana?
"Sehat," jawabku datar.
"Syukurlah," ucapnya.
"Om, nginep di sini, ya!" Jingga menahan kepergian Rasyid.
"Eh, Om mau pulang, Sayang," tolaknya halus.
"Gak boleh. Om nginep di sini." Jingga menghadang jalan keluar.
"Izin dulu sama Ayah Jingga. Boleh nggak kalau, Om nginep di sini," ucapnya mengacak rambut Jingga yang dikuncir dua. Dia seperti semakin mengolokku sekarang.
Ingin sekali aku berkata, tentu tidak boleh. Silahkan pulang! Namun rasanya, Jingga akan memusuhiku bila memperlakukan tidak baik om kesayangannya.
"Ayah, bolehkan?" Jingga menempelkan telapak tangannya di depan dada, berharap aku mengatakan iya, dan ia bisa bermain sepuasnya dengan Rasyid.
"Oh, eu, i... Iya, boleh kok." Aku tersenyum dengan terpaksa.
"Holeee ..." Kebahagiaannya tergambar jelas.
“Om ayo main sama Jingga! Aku punya banyak mainan lo, Om.” Jingga menarik tangan Rasyid untuk mengikuti langkah kecilnya. Lalu tak beberapa lama, kamar Jingga ditutup kencang. Aku sampai terlonjak kaget. Mereka tertawa riang dari balik pintu. Ah, sebagai ayah aku merasa cemburu!
***