Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Semua berkas ini harus kamu ketik, setelah selesai kembalikan ke ruangan saya secepatnya" perintah bu Siska. Wanita 35 tahun itu menunjuk tumpukan kertas di atas meja kerjanya.
"Siap Bu"
Arumi mengangkat kertas tersebut sampai kepalanya miring-miring karena ingin melihat jalan pun sulit.
"Tunggu dulu" bu Siska menghentikan langkah Arumi. Tentu saja Arumi menggerutu dalam hati karena harus menoleh dengan susah payah.
"Selesai mengetik, bersihkan ruangan bos" perintahnya ketus lalu duduk bersandar di kursi satu kaki numpang lutut.
"Baik Bu" jawab Arumi, rasanya ingin membantah jika yang memerintah bukan bos. Padahal itu bukan tugas Arumi, ruangan bos sudah ada bagian yang membersihkan. Arumi merasa tenaganya diperas. Untung bukan sapi bisa-bisa keluar susu.
"Huh! Enak sekali jadi bos hanya tinggal nyuruh-nyuruh kaki nangkring di kursi, padahal hanya sekelas menejer, lalu bagaimana dengan pemilik perusahaan ini" Arumi ngomel-ngomel sendiri membayangkan pemilik pabrik akan bertindak lebih kejam lagi. Ia belum tahu pemilik perusahaan karena bekerja di tempat ini baru seminggu.
Bruk!
Mulut Arumi mangap menatap berkas yang berantakan di lantai, betapa dia akan kena semprot jika bu Siska tiba-tiba keluar dari ruangan.
"Hati-hati Ate..." suara anak kecil tiba-tiba sudah di samping Rumi. Rumi berpaling dari buku menatap wajah anak kecil itu seketika berbinar-binar.
"Kamu lucu sekali" Rumi terpesona menatap bocah yang sedang menatapnya pula. Dulu Arumi ingin mempunyai adik tetapi tidak terlaksana, walaupun punya kakak laki-laki satu, tapi jahilnya kelewatan.
"Buku Ate belantakan Adel bantu ya" tangan mungil itu memungut kertas lalu mengumpulkan di lantai.
"Terimakasih..." Rumi tersenyum, anak ini masih sekitar 3 tahun tapi mempunyai solidaritas yang tinggi.
"Nama kamu Adel ya?" Arumi pun berjongkok di depan si bocah.
"Nama aku Adeline, Ate" Jawa Adel hingga menampilkan gigi putih dan rata.
"Adeline, nama kamu susah" Rumi menyentuh hidung bangir itu lantas keduanya tertawa. Rumi menatap tumpukan kertas yang disusun Adel. Ia sampai lupa bahwa kertas ini harus segera dia bereskan sebelum ketahuan bu Siska yang pasti akan berbuntut panjang.
"Kamu kesini sama siapa?" Arumi menatap anak perempuan itu baru sekali ini melihatnya. Lagi pula merasa aneh di perusahaan ada anak balita.
"Adel..." panggil pria yang berjalan ke arahnya diikuti satu pria lagi. Begitu dekat, mengait tangan Adeline agar berdiri, kemudian mengajaknya pergi tanpa melirik sosok Arumi.
Sepatu hitam kelimis menyenggol tumpukan kertas yang tinggal diangkat itu kembali ambyar. Namun, pria postur tinggi itu tidak merasa bersalah justru pergi begitu saja. Sementara pria yang membawa koper kecil di belakangnya menyusul, ketika melewati Rumi yang menampilkan wajah merengut, si pria mengulum senyum.
Arumi sudah mangap ingin protes karena kertas tersebut berantakan lagi, tetapi Adeline menoleh ke belakang sambil beseru. " Sampai jumpa Ate" ia menoleh tangannya melambai.
Arumi tersenyum tidak jadi marah yang hanya akan membuang waktu, pikirnya. Tangannya cepat merapikan kertas kembali.
"Arumiiii...! Suara Siska seperti angsa, bibirnya pun monyong seperti ingin menyosor Rumi.
"Siap kerjakan Bu" Arumi melanjutkan perjalanan ke salah satu kubikel. Semua karyawan sedang sibuk bekerja tidak ada yang ikut campur, fokus dengan pekerjaan masing-masing.
"Saya kasih waktu dua jam harus selesai" Siska melengos lalu pergi.
"Hah? Mengetik segini banyak hanya dikasih waktu dua jam?" Arumi duduk lemas di depan komputer. Namun begitu, ia menggunakan 10 jari untuk mempermudah mengefisiankan waktu mengetik agar pekerjaan lebih cepat selesai. Walaupun tidak akan selesai jika hanya diberi tenggang waktu dua jam mengingat segitu banyaknya pekerjaan.
"Mbak Rumi ya" pria yang membawa koper tadi menghampiri dengan senyum khas.
"Iya Pak, ada apa, ya?" Rumi terpaksa menghentikan tangannya.
"Ruangan bos belum dibersihkan, tolong ya Mbak" ucapnya lalu pergi.
"Mbak-Mbak, gundulMu" Rumi kesal menatap pria yang sudah menjauh. Kerjaan ini baru dia kerjakan separuh tetapi sudah disuruh bersih-bersih.
"Hais, bodoooo... bu Siska mau marah biar marah" Arumi nggremeng seperti kumbang, lalu beranjak ambil perlengkapan sapu, pel, dan ember ke ruangan bos.
"Ateee... kita ketemu lagi..." seru Adel seketika turun dari kursi berlari memeluk perut Rumi.
Wanita yang tengah bekerja mengangkat kepala cepat, ia kaget melihat Adeline bisa seakrab itu kepada Office Girls. Padahal dia yang bekerja sebagai sekretaris selama satu tahun tidak pernah disapa Adeline.
"Adel disini?" Rumi menurunkan barang bawaan.
"Iya, Adel temani Papa kelja" celoteh Adeline.
Arumi mengangkat kepala menatap pria yang sedang sibuk dengan tumpukan berkas. Pri itu tidak terpengaruh dengan obrolan Arumi dengan Adel. "Jadi pria yang nyenggol tumpukan kertas tadi bos besar perusahaan ini. Huh! Pantas saja, bos sama saja dengan bu Siska suka berbuat seenaknya" bantin Arumi kesal.
"Cepat bersihkan ruangan ini, mau sampai kapan kamu menatap saya? Memang kemana OB yang biasa membersihkan ruangan ini? Biasanya pagi-pagi sudah rapi" bos tiba-tiba mbrebet seperti api dituangi bensin, tentu mengejutkan Arumi. Tanpa menjawab Arumi segera membersihkan lantai.
"Papa jangan malahi Ate, kasihan, Ate..." protes Adel cemberut. Arumi ingin tertawa tetapi dia tahan hanya muncul senyum tipis saja. Rupanya bos besar itu takut dengan anaknya sendiri, nyatanya langsung diam.
Rumi minta Adel kembali ke tempat duduknya jika terus diam disini bisa-bisa pekerjaan tidak akan ada yang selesai.
"Adel bantu belsih-belsih" Adel mengangkat sapu tetapi Arumi cepat-cepat menarik tangannya.
"Adel tunggu disini dulu ya, Tante mau ngepel jika Adel jalan takutnya jaaa... tuuuhh..." Arumi memanjangkan akhir kata.
"Sebaiknya kamu ke kamar sayang..." ucap bos. Rupanya pria itu bisa berkata lembut juga sampai menyita perhatian Arumi.
"Iya Pa" Adel berlari-lari ke belakang di mana papanya duduk. Arumi melongok kamar sebelum pintu ditutup Adel. Nampak ranjang mini berjajar beberapa boneka.
"Sebental Ate... nanti kita main lagi ya" bocah itu membuka pintu kembali, rupanya sayang sekali melewatkan waktu bersama Arumi.
Arumi menunjukkan jari tanda oke sambil tersenyum hingga pintu tertutup, kemudian melanjutkan pekerjaan.
Hening ruangan tersebut, Arumi sat set bekerja agar cepat selesai jika tidak, bu Siska akan mengemoh, mengembek, bahkan menggongong.
"Buatkan saya kopi" suara berat entah berbicara kepada siapa, karena pria itu tetap menyoret lembar demi lembar kertas.
"Kamu tidak dengar" ulang bos tetap tidak mengangkat kepala.
"Bapak menyuruh saya?" Tanya Arumi melempar tatapan kepada sekretaris.
"Ya kamulah siapa lagi" ketus nya.
"Saya pikir sekretaris Pak, soalnya kan biasanya..." Arumi tidak melanjutkan bicara karena bos menatapnya tajam.
"Biar saya yang membuat Pak Davin" Sekretaris angkat bicara. Tetapi Davin mengangkat satu tangan tanda tidak setuju.
Arumi membawa peralatan ke luar ruangan, meletakkan di tempatnya, kemudian mencuci tangan di pantri sebelum membuat kopi.
"Ya ampun... capeknya... ternyata kerja itu begini" Gumam Arumi sambil mengaduk kopi dalam cangkir. Bekerja selama seminggu saja rasanya satu tahun.
...~Bersambung~...
Terimakasih yang sudah mau membaca karya Buna yang ke 15 😁 semoga betah dan retensi aman.