NovelToon NovelToon
Part Of Heart

Part Of Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Pihak Ketiga
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dwiey

"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.

"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.

Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Restlessness of mind

Tari sibuk mengacak-acak lemari pakaiannya, mencari kaus berkerah yang sudah lama tak ia pakai. Ia lupa meletakkannya di mana, karena sudah bertahun-tahun tidak menggunakan kaus itu.

"Ah, ini dia!" serunya bersemangat, saat akhirnya menemukan kaus hitam lengan panjang yang ia cari.

Dengan cepat, Tari mengenakan pakaian dalam, lalu disusul kaus panjang itu. "Leganya... syukurlah akhirnya ketemu," ia tersenyum sambil memegang dadanya lega.

Tari melangkah keluar kamar dengan dahi berkerut. "Bukannya tadi Ria bilang bakal sampai sebentar lagi? Perasaan aku sudah lama di kamar mandi," gumamnya kebingungan.

Suara pintu yang terbuka tiba-tiba menarik perhatiannya. Tari segera menoleh, dan detik berikutnya, senyum merekah di wajahnya.

"Riana!" seru Tari penuh antusias, langsung berlari memeluk tubuh sahabatnya.

"Eeh, apaan sih, Tar? Kaget aku," wajahnya memancarkan keterkejutan.

"Aku kangen banget, Ri. Sudah lama kita nggak ketemu," Tari berkata dengan senyum lebar diwajahnya. Namun, sesaat kemudian matanya menangkap sesuatu di leher Riana, senyumnya perlahan memudar.

Sebuah bekas kemerahan tampak di leher Riana, sama seperti bekas yang ada di tubuhnya sendiri setelah malam sebelumnya bersama Yudha.

Tari terdiam, masih dalam pelukan Riana. Pikirannya berkecamuk. Apa Yudha melakukan nya juga dengan Riana?, Kapan?, Sebelum atau sesudah mereka melakukannya?.

Ia menggigit bibir bawahnya. Tapi, ia segera memaksakan senyum. Untuk apa ia merasa terganggu? Yudha dan Riana adalah pasangan suami-istri. Justru dirinya yang salah, telah tidur dengan pria sekaligus suami yang dicintai sahabatnya.

Tari terbuai dengan pikirannya, tidak menyadari Riana yang telah melepaskan pelukannya, dan berjalan menuju sofa.

"Tar?," panggil Riana yang sudah duduk di sofa, bingung melihat tari yang terdiam di tempatnya.

"Kamu bawain aku anggur ya, makasih sayangku," Tari tersenyum merekah saat melihat isi paper bag yang dibawa oleh Riana.

Lalu ia ikut duduk di sebelah Riana, dan mereka mulai berbincang ringan dengan di iringi senda gurau.

"Oh ya Tar, sebenarnya aku nggak mau ngomongin ini, tapi aku rasa kamu perlu tahu,"

"Tahu apa, Ri?" Jantung Tari sudah sangat berdebar keras sekarang, takut dengan apa yang akan di ucapkan olehnya.

"Tadi pas aku datang, di lift aku berpapasan sama Ade, Tar—aku juga kaget lihat dia, dan dia pun juga gitu. Dia bilang sekarang tinggal di sebelah mu, dan tujuan utamanya ya mau minta maaf sama kau Tar," Riana memegang lembut tangan Tari yang mengepalkan tangannya.

"Hah, kamu udah ketemu dia? Sialan itu! Jangan dengerin omongan dia, Ri. Aku tahu dia cuma pura-pura. Aku nggak tahu apa tujuannya—tapi aku tahu yang jelas niat dia udah nggak bagus," rahangnya mengeras, tatapan nya menajam.

"Kau nggak boleh judge orang kayak gitu, Tar. Mungkin aja dia udah berubah sekarang. Tadi pas dia ngobrol bentar sama aku, sikapnya bener-bener sopan ko. Aku kasihan juga lihat mukanya," Riana berkata ekspresi sendunya.

Tari tidak menjawab dan hanya menundukkan kepalanya, terlihat wajah cemberut nya di penuhi berbagai macam pikiran.

"Tar, kalau menurut aku, kamu coba dengerin dulu permintaan maaf dia. Kita kan nggak tahu dia bener-bener berubah atau cuma pura-pura. Gimana kalau dia beneran udah berubah?"

Lalu Riana memeluk tubuh Tari dengan lembut dan sesekali menepuk punggung itu.

"Aku tahu ini sulit buat kau, tapi seperti kau yang selalu ada di samping aku, aku juga sama Tar. Terserah kau mau maafin dia atau nggak, tapi setidaknya cobalah temui dia dengan baik-baik ya," Riana tersenyum lembut, lalu sesaat kemudian senyum miring terulas di wajahnya. Tatapan lembutnya berubah menjadi tatapan datar di balik pelukan itu.

Lalu Riana melepas pelukan itu dan melihat mata Tari yang berkaca-kaca. Riana mengerutkan keningnya dan terkekeh kecil. "Kau ini, udah gede masih saja cengeng. Gimana aku bisa ninggalin kau sendiri, coba?" Riana mengelus pelan puncak kepala Tari, gerakannya seperti mengelus anak kucing.

Tari mengerucutkan bibirnya. "Biarin cengeng. Aku nggak peduli yang lain ninggalin aku, tapi kalau kau pergi—bahkan kalau kau ke neraka, aku akan ikut denganmu, Ri."

"Hahaha! Apaan sih, Tar? Kok kata-katamu jadi melankolis begitu? Mentang-mentang penulis jadi hebat bener ya kalau ngerangkai kata-kata gitu," Riana terkekeh dan kemudian bangkit, berjalan menuju dapur di depan mereka.

"Kau belum makan kan? Aku buatin kamu nasi goreng kesukaanmu, ya."

"Serius!, makasih Riii" Balas Tari dengan nada bersemangat.

Riana mengambil apron berwarna hitam yang digantung tak jauh darinya. Lalu menarik lengan kedua kemejanya ke atas dan mulai menyiapkan masakan kesukaan Tari, nasi goreng.

Mereka asyik bersenda gurau, dengan Riana yang sibuk memotong beberapa sayur, sementara Tari duduk di sofa memperhatikan setiap kegiatan yang dilakukan sahabatnya.

Lalu suara dering ponsel dari dalam kamar mengalihkan perhatian mereka.

"Ah, sial. Itu pasti Kak Dea. Pasti ada yang perlu direvisi lagi," Tari menghela napas panjang, hanya dengan memikirkannya saja membuat nya mual.

Dea, editornya itu, jika sedikit saja kesalahan dan alurnya berantakan menurutnya, Dea akan meminta Tari untuk merevisi naskahnya terus-menerus sampai hasilnya sempurna.

"Ya udah kerjain aja dulu Tar. Ntar aku anterin nasi gorengnya kalau udah jadi," Riana terkekeh kecil melihat raut wajah Tari yang cemberut.

"Padahal kita udah lama nggak ngobrol bareng, Ri," Keluhnya kesal, lalu dengan malas ia berdiri dan berjalan menuju kamarnya setelah berpamitan sekilas dengan Riana.

Setelah menutup pintu kamar, Tari mengambil ponsel yang ada di atas kasur dan meletakkan ponselnya di meja kerja. Namun, dering itu kembali terdengar lagi. Kali ini ia menjawab dengan nada pasrah.

"Halo, Kak Dea?,"

"Tari, ini soal bab tujuh yang kamu kirim kemarin," suara Kak Dea terdengar tegas seperti biasa langsung to the point tanpa basa basi sama sekali. "Ada beberapa hal yang menurut aku perlu di revisi."

Tari duduk di kursinya, menyalakan laptop, lalu membuka file naskah yang dimaksud. "Oke, Bagian mana aja Kak?."

"Pertama, konflik antara tokoh utama dan antagonisnya di bagian klimaks itu menurut aku feel nya kurang terasa" ujar Kak Dea. "Kamu terlalu cepat menyelesaikan konfliknya, jadi pembaca nggak sempat merasakan emosi karena adegannya kurang mengena."

Tari yang lagi mencatat hal yang perlu ia revisi, sontak terhenti sejenak. "Tapi Kak, aku rasa bagian itu cukup kok. Kalau terlalu panjang, aku takutnya malah bikin bosen."

Dea menghela napas di seberang telepon. "Panjang bukan masalah Tar, asal emosinya dapet dan terasa. Kalau kamu cuma fokus dan buru-buru menyelesaikan konflik, pembaca nggak bakal ngerti emosi dari masing-masing karakter di sini."

Tari merenung sebentar. "Oke, aku ngerti maksud Kakak. Aku coba tambahin lebih detail tentang konfliknya."

"Bagus. Lalu, di bab empat, dialog antara protagonis dan sahabatnya itu terlalu pasaran. Pilihan kata-kata yang kamu pilih pun terlalu umum, aku mau ini beda dari yang lain, karena ini kamu tar"

"Bagian yang soal cinta pertama itu, ya?" Tari menghela napas. "Tapi, aku mau buat dialognya relate, walaupun pasaran tapi kan kalau emang itu yang dirasakan karakternya ya mau gimana lagi kak."

"Relatable nggak harus pasaran Tari. Coba pikirin gimana karakter bisa bicara dengan menyentuh pembaca, contoh nya kamu bisa tambahin elemen personal, misalnya sesuatu hal rahasia hanya mereka berdua yang tahu."

"Oo....oke oke kak, aku ngerti maksud kakak," Tari mengangguk paham.

"Terakhir, soal plot twist di bab sembilan. Itu udah bagus, tapi kesannya terlalu mendadak. Pembaca juga perlu diberi petunjuk samar-samar lah kek apa gitu."

Tari mendesah, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Oke kak."

"Oke. Aku tungguin revisinya sebelum Jumat ya. Jangan mepet-mepet deadline lagi, Tar."

"Iya, tenang aman Kak. Makasih banyak kak,"

Rasanya Tari sudah tidak kuat mendengar banyak nya kata yang harus ia revisi ulang.

Setelah telepon itu berakhir, Tari memijat pelipisnya pelan sambil memandangi layar laptop. "Ya ampun, banyak juga revisi nya," gumamnya, lalu mulai mengetik ulang naskahnya dengan lebih fokus. Dan tentunya di iringi suara keluhan di tiap baris yang ia ketik.

"Kenapa dari banyaknya kerjaan di dunia, aku malah milih jadi penulis" ujarnya lirih, batinnya menangis.

Jujur saja otaknya sudah panas dan rasanya ingin ia jedotkan ke dinding langsung karena kalimat di kepalanya yang terasa berputar-putar dan acak-acakan.

Bau nasi goreng yang menggoda tercium hidungnya dari arah belakang nya. "Nasi goreng nya udah masak lagi" keluhnya.

"Sial!" Gumam nya kesal.

1
Martin victoriano Nava villalba
Wah bahasanya keren banget, bikin suasana terasa hidup.
Cô bé mùa đông
Jujur, bikin terharu.
Jenni Alejandro
Makin nggak sabar buat nunggu kelanjutan ceritanya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!