Menunggu adalah cinta yang paling tulus, tapi apakah yang ditunggu juga mencintai dengan tulus? Sudah tiga tahun lamanya Anaya Feroza Mardani menunggu sang kekasih pulang dari Indonesia. Kabar kematian sang kekasih tak akan membuat Naya begitu saja percaya sebelum dirinya bertemu dengan jasad sang kekasih.
Penantian tiga tahun itu, membuat kedua orang tua Naya harus menjodohkan Naya dengan seorang Dokter tampan bernama Naufal Putra Abikara anak dari Abikara Grup, yang tak lain adalah musuhnya saat SMA dulu.
Apakah kekasih yang Naya tunggu akan datang? Dan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal? Bagaimanakah hubungan Naya dengan Naufal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aniec.NM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 22
Kayra mengetuk pintu rumah mewah itu, dalam hatinya berharap yang membukakan pintu adalah kakaknya, Kayra juga berharap dia tidak akan bertemu dengan Vero.
Tok .. tok .. tok!
Penghuni rumah membuka pintu. Harapkan Kayra seketika pudar, lelaki yang tidak diharapkan ternyata yang membukakan pintu untuknya. Beberapa detik mereka saling melempar pandangan satu sama lain, tanpa ada satu kata apapun yang keluar dari mulut keduanya. Hingga akhirnya Kayra membuat suara lebih dulu.
“Gue mau ketemu sama Kak Naya.” Kayra mengalihkan pandangannya ke arah lain, untuk beberapa saat dia belum bisa menatap lebih lama mata lentik lelaki itu.
“Ada, masuk!” Vero mempersilahkan Kayra masuk.
Keduanya masing sama-sama canggung, setelah beberapa minggu tidak bertegur sapa.
Setelah membukakan pintu untuk Kayra, lelaki itu pergi ke kamarnya meninggalkan Kayra di ruang tamu. Hingga tak berselang lama, Naya datang dari arah belakang rumah.
“Kayra!”
“Kak Naya!”
Mereka saling berpelukan, melepas rasa rindu yang cukup lama tidak berjumpa. Naya mengajak Kayra untuk bercerita banyak di ruang tamu, ruang tamu itu dipenuhi oleh candaan kakak beradik.
“Si mang Ujang penjaga komplek di rumah kita gimana kabarnya?” tanya Naya excited sekali.
“Baik kok Kak.”
“Terus, apa mang Ujang udah nembak Bi Eem belum, dulu kan mereka deket banget?” tanya Naya lagi.
“Jadian kok.”
Naya begitu terheran dengan jawaban adiknya, baru kali ini adiknya merespon pertanyaannya tanpa menanyakan balik. Raut wajahnya pun merasa tidak senang, masih ada sedikit kesedihan di matanya, Naya bisa merasakan itu.
“Kay, are you ok?” tanya Naya, menggenggam tangan adiknya.
“Apa kamu nggak seneng ketemu aku?” tanya Naya.
“Bukan gitu Kak, Kaka ngomong apa sih, aku seneng kok bisa ketemu kakak lagi,” elak Kayra berusaha mencairkan suasana.
“Kak, sebenarnya aku nggak enak dateng kesini. Aku ngerasa masih ada salah sama Vero, aku canggung Kak,” terang Kayra, jari jemari nya saling meremas.
“Waktu itu Kakak udah bicara sama Vero, semoga aja dia bisa paham dan ngerti, Kakak harap kamu bisa ambil mempelajari dari masalah ini. Suatu saat Vero pasti bakal maafin kamu kok, walaupun hatinya sekeras batu pasti akan patah juga,” terang Naya.
“Makasih ya Kak, semoga Vero ngasih maaf buat aku.”
Tanpa mereka sadari, Vero yang sendari tadi berdiri di depan pintu kamar atasnya, mendengar percakapan kakak beradik itu. Vero merasakan ada rasa bersalah, ia begitu egois mempertahankan egonya, hingga membuat Kayra tersiksa karena belum mengucapkan kata maaf.
‘Sorry Kay, karena gue lo jadi tersiksa begini,’ batinnya.
“Ohh ya Kak, aku bawain kue brownies buatan mama. Mama nggak bisa dateng soalnya lagi ada arisan,” terang Kayra, membuat paper bag itu. Naya sangat senang, dia mencoba satu persatu kue buatan mamanya.
“Btw, kak Naufal mana, kerja?” tanya Kayra, memang sejak tadi dirinya tidak melihat keberadaan Naufal.
“Dia nggak kerja, ada tuh di belakang lagi main basket,” jawab Naya.
Memang sebelum Kayra datang Naya dan Naufal sempat bermain basket bareng.
“Oh kalau Pak Abikara?” tanya Kayra lagi.
“Jarang pulang, di luar negri terus ngurus kerjaan.”
Belum lama mereka membicarakan Naufal, lelaki muncul dari belakang dan tangan yang sibuk mengusap keringatnya dengan handuk.
“Eh ada Kayra, baru dateng atau udah lama nih!” sapa Nafaul, ikut duduk bareng.
“Nggak lama sih Kak, ini aku cuma mau nganter kue kesukaan Kak Naya aja dari mama,” jawab Kayra dengan ramah.
“Makan bareng yuk, bibi udah masak banyak tuh!” ajak Naufal.
“Nggak usah repot-repot Kak, Kayra udah kenyang kok,” tolak Kayra.
“Kayra, kamu kayak orang lain aja deh, nggak papa ayo makan bareng,” sambung Naya.
Bujukan dari Naya pun membuat Kayra merasa tidak enak dan akhirnya mengiyakan permintaan itu. Mereka makan siang bersama, di meja makan keluarga Abikara hanya Naufal, Naya, Vero dan Kayra. Tak ada yang mengeluarkan suara apapun, hanya suara sendok dan garpu yang saling bersahutan.
‘Ya ampun kok aku canggung banget ya, makan bareng Varo.’
Jarak keduanya tidak lah jauh, Kayra dan Vero saling berhadapan tanpa bertegur sapa bahkan saling menatap pun tidak, mereka seperti orang asing. Naufal sengaja mengajak Kayra makan bersama, tujuannya ingin membuat mereka akur, Naya pun berpendapat dengan Naufal.
Keheningan di meja makan itu tak berselang lama, Naufal memulai membuka percakapan itu memecahkan keheningan.
“Kalian satu kelas kan?” tanya Naufal. Naufal hanya berbasa basi, dia sudah tahu sebelumnya kalau mereka berdua satu kelas.
“Iyah Kak,” jawab singkatan itu dari Kayra.
“Oh ya, Kayra katanya kamu kan mau belajar basket, dari pada ikut les belajar basket, mending minta Vero buat ngajarin kamu aja dia pinter lo main basketnya,” kata Naya.
Kayra dan Vero hanya saling memandang dalam beberapa detik. Entah apa yang ada di pikiran Naya dan Naufal, yang jelas itu membuat mereka berdua merasa terpojokan.
“Aku nggak jadi ikut basketnya Kak, aku jadinya ikut les piano,” jawab Kayra.
“Loh, Vero pun jago juga main pianonya malahan dia pernah juara satu lomba piano pas SMP dulu. Ya kan, Ver?” Naufal mulai mengompori.
“Udah nggak bisa,” jawab Vero, terlihat wajahnya tak suka.
Nyatanya Vero tidak bisa bermain piano bahkan memegang piano pun tidak pernah, apalagi sampai ikut lomba piano. Naufal ahli sekali dalam mengarah sebuah cerita.
Sekitar delapan menit sudah mereka makan, Kayra berpamitan untuk pulang. Dikarenakan senja sudah menampakan warna jingganya dan mata hari sudah tenggelam dengan sinarnya, sebelum itu kakak beradik itu saling berpelukan.
“Jangan lupa main lagi ya.”
“Siap Kaka.” Kayra memberi hormat sebagai pertama mengiyakan permintaan Kakaknya itu.
“Kamu pulang sendiri?” tanya Naufal.
“Iyah Kak.”
“Mau di anterin nggak?” tawar Naufal.
“Nggak usah repot-repot, aku bisa sendiri kok.”
“Yaudah, kalau sudah sampai jangan lupa ngabarin ya,” pesan Naya.
“Siap Kak Nay. Yaudah aku pergi dulu ya.”
**
Naufal tengah bersiap-siap untuk pergi kerja, dia mendapatkan shift malam, hal asil Naya sendiri di rumah. Memang sudah biasa ditinggal kerja saat malam hari dan pulang subuh, Naya memahami bukan hanya dirinya yang membutuhkan Naufal, tetapi orang-orang di rumah sakit jauh membuat suaminya.
“Nay, jangan tidur malem-malem ya, nggak baik.” Naufal menggingakan.
“Fal, nanti kalau lagi jam kos, jangan lupa telpon atau ngabari ya. Awas aja kalau nggak ngabarin aku bakal nyamperin kamu!” ancam Naya, sorot mata tajam itu, mampu membuat Naufal terkekeh seharusnya dia akan takut.
“Emang kamu berani nyamperin aku?” tanya Naufal.
“Bisa kok. Aku pake mobil sendiri nyamperin kamu.”
“Terus setelah kamu nyamperin aku, kamu ngapain ?” tanya Naufal, dia begitu gemas dengan istrinya.
“Hmmm, marah sama kamu, terus, aku bakal nyuruh kamu pulang detik itu juga!” ucapan Naya memberikan penekanan.
Membuat Naufal tak ingin menanyakan yang lain, memang Naya begitu konsisten dengan omongannya.
Naya merapikan kemeja Naufal, merapin penampilannya, sedangkan lelaki itu sibuk menatap lekat istrinya dari dekat, tatapan tidak lepas dari Naya.
“Udah rapi, kamu boleh pergi.”
“Nay!”
“Iyah?” tanya Naya.
“Kamu sangat cantik malam ini, tunggu aku pulang ya,” bisik Naufal tepat di telinga Naya.
Senyuman manis terpancar di bibir perempuan itu, dia tau apa maksud dari ucapan Naufal barusan. Tanpa aba-aba, Naya mencium bibir lelaki itu dengan singkat, hingga membuat Naufal membulatkan kedua matanya.
“Kok singkat banget sih.”
“Itu kissing pertama, kalau kissing kedua kaya gini.” Naya meraih tangan Naufal, kemudian mencium punggung tangannya.
Keduanya sama-sama terkekeh, hingga percakapan mereka harus berakhir karena Naufal sudah telat.
“Yaudah aku pergi dulu ya, istri.”
“Hati-hati pak suami, semangat kerjanya demi istri mu ini,” ucap Naya membentuk love di tangan.