Maxwell, Daniel, Edric dan Vernon adalah keempat CEO yang suka menghambur - hamburkan uang demi mendapatkan kesenangan duniawi.
Bagi mereka uang bisa membuat mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan bahkan seorang wanita sekalipun akan bertekuk lutut di hadapan mereka berempat demi mendapatkan beberapa lembar uang.
Sampai suatu hari Maxwell yang bertemu dengan mantan calon istrinya, Daniel yang bertemu dengan dokter hewan, Edric yang bertemu dengan dokter yang bekerja di salah satu rumah sakitnya, dan Vernon yang bertemu dengan adik Maxwell yang seorang pramugari.
Harga diri keempat CEO merasa di rendahkan saat keempat wanita tersebut menolak secara terang terangan perasaan mereka.
Mau tidak mau Maxwell, Daniel, Edric dan Vernon melakukan rencana licik agar wanita incaran mereka masuk ke dalam kehidupan mereka berempat.
Tanpa tahu jika keempat wanita tersebut memang sengaja mendekati dan menargetkan mereka sejak awal, dan membuat keempat CEO tersebut menjadi budak cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si_orion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
Dengan langkah yang ceria, pagi ini Olivia memakai gaun pink yang akhir-akhir menjadi kesukaannya. Dia memoles wajah cantiknya dengan make up tipis, tapi setelahnya wajah cantik itu justru malah cemberut.
Olivia bangkit lalu memperhatikan dirinya di standing mirror. Gendut. Satu kata yang ada dipikiran Olivia sekarang mengenai tubuhnya.
Usia kandungannya mulai memasuki trimester kedua, 5 bulan. Perutnya sudah mulai terlihat membesar, morning sickness sudah tidak dia rasakan lagi. Dan nafsu makan Olivia mulai meningkat semenjak dia tak merasakan mual dan muntah lagi. Itu menjadi salah satu penyebab berat badannya yang kini naik secara signifikan.
Ada perasaan takut dalam diri Olivia saat tubuhnya mulai terlihat gendut akibat kehamilan. Dia ingat dulu Vernon bahkan tak memandangnya sedikitpun karena bentuk tubuhnya. Dan sekarang tiba-tiba Olivia merasa takut Vernon akan berpaling karena dia merasa tubuhnya kembali menggemuk.
Entahlah, rasa khawatir dan berbagai macam pikiran negatif mulai membayangi Olivia. Apalagi ketika mengingat suaminya sering bolak-balik naik pesawat, dia takut suaminya akan berpaling pada pramugari yang melayaninya di pesawat.
"ck."
Olivia berdecak saat melihat timbangan, berat badannya naik lagi. Seharusnya itu bagus tapi Olivia takut dengan itu. Apakah ini adalah kerisauan para ibu hamil terhadap suaminya?
"Kak."
"Hem."
"Kau tak menempatkan pramugari cantik dan seksi untuk Vernon kan?" tanya Olivia pada Maxwell disambungan telepon pagi ini.
"Kenapa? Kau takut Vernon berpaling? Hahha, waspadalah, hati-hati Vernon mencari yang lain karena kau sekarang jadi gemuk." ejek Maxwell membuat Olivia merengut kesal.
"Kak Maxwell!" bentakkan Olivia yang lebih terdengar seperti rengekan.
"Tenang saja, meskipun pramugarinya lebih cantik dan seksi daripada kau. Vernon tak akan tergoda dengan mereka. Meskipun sekarang tubuhmu gemuk, tapi Vernon akan setia padamu, percayalah padaku." ujar Maxwell, perpaduan antara memberikan ketenangan tapi setengah mengejek.
Maxwell jadi suka mengejek Olivia akhir-akhir ini karena Olivia terlihat gemuk. Dan itu menjadikan Maxwell memiliki alasan dan bahan untuk terus mengejek dan menggoda adiknya.
"Kau mencoba menenangkan aku tapi kenapa aku justru malah kesal mendengarnya ya." Olivia berdecak sambil menggigit apel ditangannya.
"Hahaha, sudahlah jangan berpikiran negatif pada Vernon."
"Bukan aku yang berpikiran negatif, tapi anaknya." sanggah Olivia.
"Ck, ya anakmu khawatir ayahnya akan meninggalkan ibunya yang gendut itu. Hahaha."
"Oh aku menyesal sudah menghubungimu." dengus Olivia.
"Tentu saja kau harus merasa menyesal, kau mengganggu aktivitas reproduksi pagiku." sahut Maxwell.
Olivia merotasikan bola matanya, tentu saja dia tahu maksud Maxwell. Apalagi kalau bukan bercinta bersama ibu dari anaknya.
"Astaga, ini masih pagi kau sudah olahraga? Astaga kenapa kau sungguh tak tahu waktu? Kalian sama saja, dasar kumpulan old man berotak mesum." ejek Olivia.
"Eh, tapi kau berbeda dengan Vernon dan Kak Edric. Mereka melakukannya kapanpun dan dimanapun dengan istrinya, tapi kau? kak kau tak memiliki niat untuk segera taubat, hah?" sindir Olivia, dia terkekeh saat mendengar decakan Maxwell diseberang sana.
"Kau balas dendam mengejekku sekarang?!”
"Aku serius kau harus segera menikahi kak Pricilla sebelum Zayden memiliki adik. Kau juga harus sadar usia, kau sudah tua jangan melajang dan menjalang terus."
"Seharusnya kau bilang juga pada Pricilla untuk menerima lamaranku. Aku sudah melamarnya tapi dia justru malah menolak." suara Maxwell terdengar seperti sedang curhat dan menyindir wanita yang kini berada dibawahnya.
Olivia terkejut. "Kau sudah melamar kak Pricilla? Sungguh? Serius?" ucap Olivia tak percaya tapi didetik berikutnya dia malah tertawa. "Aku rasa kau memang pantas ditolak, Kak. Kak Pricilla mana mau dengan pria tua brengsek cabul berotak mesum sepertimu. Kalau bukan karena Zayden, mungkin kak Pricilla sudah kabur darimu.”
Tawa Olivia menggelegar setelah mengejek kakaknya hingga dia mendengar pekikan tak terima dari Maxwell. Olivia memutuskan sambungan teleponnya setelah Maxwell mengatakan akan segera memberikannya keponakan lagi berserta kakak ipar. Dia membiarkan kakaknya itu untuk berusaha.
Namun, setelah merasa cukup baik usai menelepon dan saling mengejek dengan Maxwell, perasaan Olivia kembali risau. Pikirannya tertuju pada Vernon yang sekarang sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri.
Olivia mendengus kesal, bisa-bisanya Vernon meninggalkan istrinya yang sedang hamil ini ke luar negeri. Tak tahukah pria itu bahwa kini Olivia sedang dikepung oleh berbagai pikiran negatif tentang dirinya?
Olivia semakin berpikiran negatif pada suaminya ketika Vernon tak kunjung membalas pesannya juga mengangkat telepon darinya. Wanita itu lantas menghubungi asisten Vernon.
"Apa ini?!" pekik Olivia saat melihat foto yang dikirimkan oleh asistennya Vernon.
Olivia memang sudah mengambil alih asisten Vernon menjadi mata-matanya selama pria itu bepergian, sehingga Olivia akan selalu mendapatkan informasi tentang kegiatan Vernon diluar sana.
"Ck. Kak Maxwell! Ish, dia bilang tidak menempatkan pramugari yang cantik dan seksi, lalu ini apa?!" Olivia mendumel dengan mata memerah dan cairan hangat mengumpul dikelopak matanya.
"Pantas saja dia tak membalas pesanku atau mengangkat teleponku, rupanya sedang bermain dengan wanita lain. Ishh!" omel Olivia sambil menangis menatap foto yang diberikan oleh asisten Vernon.
Olivia kesal, apalagi bentuk tubuh pramugari itu sangat proporsional dan seksi. Olivia jadi minder saat melihat tubuhnya sekarang. Pipinya semakin chubby, tubuhnya gemuk bahkan pakaiannya sudah tak muat, kakinya juga mulai terlihat membengkak. Olivia minder dengan penampilannya sekarang.
Dia jadi terngiang oleh adegan di film-film yang sering dia tonton. Jadi ini yang tokoh wanita di film itu rasakan.
Dengan kesal Olivia terus menyepam pada Vernon, dia berulang kali menelepon tapi tetap tak ada jawaban.
"ARRGHH!" jerit Olivia kesal melempar ponselnya ke dinding hingga hancur berserakan.
Dengan air mata dan kemarahannya, Olivia pergi ke kamar dan segera mengemasi pakaiannya. Entah apa yang ada dalam otaknya sekarang, dia memasukan pakaiannya ke dalan koper besar, mengambil semua kartu debit dan kredit milik Vernon, dan membawa semua perhiasannya. Olivia tetap matre meskipun sedang marah.
Dia menarik kopernya keluar dari penthouse dan turun mencari taxi. Dia bahkan tak memedulikan anak buah Vernon yang terus berusaha menghentikannya, Olivia mengancam akan berbuat nekat jika anak buah Vernon berani mengikutinya.
Olivia akan pergi sebentar untuk meredam amarahnya. Dia tak bisa tinggal disana karena dia tahu sifatnya yang mudah terbujuk. Olivia tak ingin dengan mudahnya terbujuk oleh Vernon.
Bagaimana pun Vernon telah melakukan kesalahan fatal.
***
Selasa siang menuju jam makan siang, pekerjaan Maxwell sudah selesai sehingga dia kini bisa duduk berleha-leha dimeja kerjanya sembari membuka galeri ponselnya yang penuh dengan foto-foto Zayden.
Pria 30 tahun itu terkekeh gemas melihat putra kecilnya yang begitu polos dan banyak tingkah. Maxwell banyak mengabadikan keseharian Zayden diponselnya, sehingga kini ponselnya begitu penuh dengan segala hal tentang Zayden.
Maxwell bahkan sudah mengetahui segala hal tentang Zayden, sampai pada hal yang sedetail mungkin. Maxwell sungguh telah jatuh hati pada sang putra. Zayden dengan segala kepolosan dan kegemasannya telah menjungkir balikan kehidupan Maxwell.
Kehidupannya yang dulu terasa abu-abu yang hanya dia habiskan dengan kerja, berjudi, balapan. dan bermain wanita. Kinı hidupnya jauh lebih berwarna dan terasa sangat cerah. Pagi hari saat dia membuka mata, dia melihat Pricilla yang tidur disampingnya atau kadang Zayden ikut tidur bertiga disana.
Kebiasaannya kini, setelah memberikan kecupan selamat pagi diwajah cantik Pricilla, Maxwell akan segera beranjak menuju kamar Zayden. Membangunkannya dan memandikannya, lalu memakaikannya baju dan mengajaknya bermain sebelum dia berangkat kerja.
Maxwell menertawakan dirinya yang telah menjilat ludahnya sendiri. Kalimat tentang anti pernikahan dan anak, kini justru malah berbalik. Maxwell sangat bucin pada anak dan ibu darı anaknya. Ya, meskipun Pricilla masih bersikap sok jual mahal tak mau menerima lamarannya. Oke, tak apa-apa, Maxwell sedang belajar bagaimana mengungkapkan cinta pada seorang wanita.
Kenapa Pricilla tidak datang sejak dulu, dan kenapa Maxwell membatalkan perjodohan mereka dulu. Tapi kejadian itu rupanya memberikan hikmah sendiri untuk Maxwell. Mungkin jika dulu dia tak bertemu dengan Pricilla dan melakukannya malam itu, mungkin juga sekarang Zayden tak akan ada disini dan Maxwell akan tetap pada kehidupan abu-abunya.
"Bye, love you baby."Maxwell mematikan sambungan video callnya dengan Zayden, lebih tepatnya melalui Pricilla.
Namun, senyuman kebahagiaannya setelah menelepon sang anak seketika berubah saat ketiga sahabatnya memasuki ruangannya. Lebih tepatnya bukan pada ketiganya, tapi hanya pada Vernon.
Dia mendesis melihat adik ipar kurang ajarnya itu. Ingin dia menghajar Vernon, tapi dia tak mau diamuk Pricilla dan Olivia.
"Seingatku aku tak mengundang siapapun hari ini." sindir Maxwell menatap ketiga sahabat karibnya yang tanpa permisi masuk lalu duduk disofa ruangannya.
"Jangan sok jual mahal, aku tahu kau butuh tempat untuk bercerita." sahut Edric merebahkan tubuhnya disofa, akhir-akhir ini dia seperti ibu hamil yang mudah kelelahan dan sering merasa lemas akibat mual yang masih sering menyerangnya dipagi hari.
Maxwell berdecak, tapi Edric benar, dia memang sedang ingin bercerita mengenai permasalahan asmaranya. Tapi sayang, akan percuma jika Maxwell meminta saran pada mereka bertiga, toh mereka juga sama-sama amatir dalam urusan asmara. Tak ada yang bisa diandalkan, saran mereka pasti tak akan jauh dari cara-cara kotor penuh kelicikan.
"Oh astaga, sebenarnya aku ingin sekali menghajar adik iparku, tapi sayangnya anakku mampu mengurungkan niatku itu." ujar Maxwell melangkah duduk disamping Vernon sambil menggeplak keras punggung pria itu.
Vernon meringis mengelus pundaknya. "Itu hanya salah paham astaga, aku tidak pernah one night stand ataupun bercinta bebas lagi semenjak bersama Olivia." bantah Vernon.
"Lalu apa yang kau lakukan kemarin di pesawat huh? Main catur?!" seru Maxwell.
"Pramugari itu yang menggodaku, dia yang menawarkan diri-"
"Lalu kau makan?" potong Daniel.
Vernon segera menggelangkan kepalanya. "Tentu saja tidak, mana mau aku bermain dengan wanita lain selain istriku."
"Tapi Max, aku pikir kau yang menugaskan pramugari itu." ucap Vernon.
Maxwell mengernyit. "Aku tidak pernah menugaskan pramugari lagi untuk kalian, semenjak kalian bucin pada pasangan masing-masing." ujar Maxwell.
Maxwell benar, semenjak mereka bertiga mengenal pasangannya masing-masing, mereka mulai berhenti dalam dunia bebas. Mereka tak pernah lagi bermain wanita panggilan.