Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24 Ini Hak Saya
Argha terbangun karena posisi tidak nyaman. Tubuhnya kini tertutup selimut. Perlahan Argha bangkit, menoleh pada Inara yang tidur tanpa selimut.
“Dia benar-benar ceroboh! Tapi, tidur kaya gini badanku sakit semua.” Argha memilih pindah ke ranjang. Menyelimuti Inara dan turut bergabung di sana.
Kebetulan, Inara berbalik ke arahnya, Argha bisa melihat wajah polos Inara yang damai. Tangannya perlahan menyibak anakan rambut istrinya itu yang menutupi wajah.
“Mungkin, kalau kamu bukan masa lalu Artha ….” Argha tak melanjutkan kalimatnya. Pria itu mencoba untuk menahan diri.
Mata Inara terbuka, keterkejutan yang terlihat di wajah Argha,, pria itu buru-buru menarik tangannya.
“Saya akan kembali—“
“Mas.” Inara menahan tangan Argha. Mereka kembali bersitatap. “Maafkan aku soal tadi.”
Argha terdiam, ia masih mencoba untuk menetralisir kegugupannya. Pria tampan berhidung lurus itu mengangguk.
“Kamu tidak ingin tidur di sini?” Mengajak tidur satu ranjang? Jelas ada rasa gengsi yang tinggi pada diri Inara. Namun, ia berharap, suaminya itu mau memulai dari awal.
“Saya hanya tidak ingin buat kamu tidak nyaman,” ucap Argha dengan jujur.
“Kalau aku nyaman, apa kamu masih mau di sini?” Mata Argha menyipit. “Maksudku, bukankah kita telah menikah dan aku istri kamu.”
Argha tersenyum tipis, seraya menikmati kegugupan istrinya itu. Alangkah baiknya, jika ia memberikan sedikit godaan juga, kan?
“Em, kalau kita suami istri, bukankah sebaiknya ….” Sengaja Argha menggantung kalimatnya. Benar dugaannya, wajah Inara yang kini tampak pias. Argha terkekeh, lalu mengusap kepala Inara dengan lembut. “Tidurlah. Saya tidak akan memaksa kamu.”
Mata Inara terus mengerjab, wajahnya tak bisa ditebak, begitu juga Argha, pria itu mendekatkan tubuhnya, menempel pada Inara dan memeluknya erat.
“Seperti ini sudah cukup, kan? Tidurlah.”
Jantung Inara bedebar dengan kencang. Ia mencoba untuk memejamkan matanya. Didekap seperti ini, ia benar-benar merasa nyaman.
Hingga, Inara berselancar ke dalam mimpi, namun tidak pada Argha. Pria itu membuka matanya, menatap wajah cantik yang kini telah terlelap. Argha tersenyum tipis, lalu mengecup bibir Inara dengan singkat.
“Selamat tidur istriku.”
.
***
Sinar mentari menerobos masuk melalui celah korden. Inara mengerjabkan matanya. Bibirnya tertarik saling menjauh membentuk senyuman. Mengagumi pahatan indah dari Sang Maha Kuasa. Ia tak menyangka, hidupnya akan berubah sedrastis ini.
‘Apa semuanya ini nyata, Tuhan? Kalau iya, apakah cinta akan hadir di antara kami? Atau aku hanya akan merasakan sakit itu sendirian? Aku sudha bermain terlalu jauh, aku tak mau terluka.’
Argha membuka matanya. Inara mencoba untuk memejamkan mata, namun suaminya itu justru berdeham. Tahu kalau ia hanya berpura-pura.
“Apa sudah puas menatap wajah tampan saya?”
“Hum?” Inara gelagapan. Ia berusaha bangun, tetapi tubuhnya ditahan oleh Argha. A-aku mau masak. A-aku.”
“Kita ada di hotel.”
Inara memejamkan mata. Merutuki kebodohannya sendiri. Suaminya itu justru terkekeh, lantas menyentil keningnya.
“Kamu lucu sekali kalau lagi salting.”
Sejak kapan mereka sedekat itu? Sejak kapan pula Argha tersenyum semanis itu, tubuh Inara seolah ingin melayang ke angkasa. Perutnya terasa kaku, seolah ribuan kupu-kupu berterbangan di sana, mengelitik sampai ke hati. Menimbulkan rasa panas dan menjalar ke pipi.
Inara yakin, pipinya kini sudah merah seperti tomat.
“Kita tidak ada agenda apapun, kecuali ….”
Kening Inara mengkerut. Argha selalu saja mengatakan kalimat ambigu. Ia tak bodoh, suaminya itu akan ke mana arah bicaranya. Ia juga tahu, ucapan itu hanya godaan belaka. Ia menodong dada Argha. Sudah malas dipermainkan, keraguan akan kejantanan pria itu kembali datang.
“Apa, sih. Gak usah bercanda, kamu tidak akan bisa.”
“Apa?’’ Argha menarik tangan Inara, gadis itu kembali dalam dekapannya. “Apa kamu bilang? Jangan setengah-setengah.”
Inara mencoba untuk menstabilkan kegugupannya, matanya beralih pada korden kamar hotel yang ia tempati, mencoba mencari alasan. “Kamu juga bicara setengah-setengah, sengaja Cuma mau goda an nakut-nakutin aku. Tapi, aku sudha tahu itu trik.”
Argha menyeringai. Ia merasa, jika kelelakiannya ini dipertaruhkan. “Kamu meremehkan saya?”
Inara tersenyum kecil. Hal itu membuat Argha tertantang dengan sikap tengilnya. “Aku enggak ngeremehin. Lagian, siapa yang ngeremehin kamu, kan? Kamunya aja yang baper.”
Kini Argha mebubah posisi dengan menindih Inara. Gadis itu mendelik, tak percaya, wajah mereka saling berhadapan dengan jarak kurang dari sejengkal.
“Kamu pasti nyesel karena udah ngeremehin saya.”
Inara menelan ludah dengan kesulitan. Wajah tampan suaminya itu membuatnya semakin berdebar.
Dan …. Tunggu dulu! Inara merasa tubuhnya panas dingin, saat merasakan sesuatu yang keras di bawah sana menusuk perutnya. Ia bukan bodoh yang tak tahu itu benda apa.
‘Ya ampun … sebenarnya dia ini beneran gay apa bukan? Tapi ….’
“Kenapa? Kamu gak siap? Sepertinya saya enggak peduli lagi dengan prinsip untuk tidak memaksakan kehendak kamu. Kamu memang perlu dikasih pelajaran.”
Gluk.
Inara menggeleng, ia benar-benar gugup saat ini, mencoba untuk mendorong sang suami, hanya saja tubuh pria itu terlampau berat.
“M-mas … aku mau mandi. Kita—“
“Kenapa harus mandi? Kita selesaikan ini dulu.” Inara mendelik, saat bibir mereka menempel. Argha menyecap bibir mungilnya itu, ia benar-benar kualahan menerima serangan dari sang suami.
Terlebih, benda itu semakin keras menusuk perutnya. Tubuh Inara seolah melayang-layang, menikmati serangan agresif.
Hanya saja, ia mendelik saat merasakan sesuatu yang keluar. Inara mendelik, mencoba untuk mengakhiri, namun Argha justru semakin tertantang, pria itu menyerbu lehernya, tangannya sudah tidak bisa tinggal diam, menggapai apapun yang menjadi puncak sensitif dirinya.
“Mas, tolong hentikan!” pinta Inara dengan menahan diri.
Argha menyeringai. “Kamu tidak bisa lepas lagi, Nara. Ini hak saya.”
Inara memejamkan mata, tak ingin membuat suaminya semakin kecewa. Namun, ia menahan tangan Argha saat suaminya itu mencoba membuka kancing bajunya.
“Mas.”
Argha mengangkat sebelah alisnya, sisi arogannya kembali datang. “Saya bilang—“
“Aku halangan. Jadi, apa kamu mau lanjut?” cicit Inara membuat wajah Argha tampak melongo, lantas frustrasi.
“Ha? Ha-halangan? Maksudnya kamu haid?”
Inara mengangguk dengan lemah, wajahnya juga sangat kecewa. Ia merutuki kesialan ini. Padahal, ia sudah merasa melayang jauh ke angkasa tadi. Sialnya, tamu tak diundang tiba-tiba saja datang mengganggu.
“Sejak kapan?”
Tatapan Inara turun ke belakang, ia merasakan basah di celananya. Ia tahu itu apa. Hari ini juga tanggal biasanya ia datang bulan.
“Baru saja.”
“Arrgh!” Argha menarik dirinya menjauh, duduk dengan menatap jagoannya yang meronta, tangannya mengacak-acak rambutnya sendiri. Sepertinya ia sudah memberontak. ‘Apa harus bermain solo?’
“Mas.” Inara menyentuh pundak Argha dengan rasa bersalahnya. “kamu tidak apa-apa?”
Argha menggeleng, tanpa menjawab. Sudah pasti ia akan kesakitan.
“A-aku ke toilet dulu.”
Argha mengangguk, wajahnya masih tampak menderita. Namun, saat Inara di ambang pintu, ia menoleh dan tatapan mereka bertemu.
“Ka-kalau sudah selesai nantinya, akan kuberi tahu,” uca Inara dengan buru-buru menutup pintu kamar mandi.
“Dia bilang apa barusan?”