Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Kejar kejaran
Bagas duduk di parkiran, motor sport hijaunya sudah dinyalakan, namun ada perasaan yang mengganjal dalam dirinya. Ia terus berpikir, seolah ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan. Bagas mengalihkan pandangannya ke sekeliling, memeriksa parkiran sekolah yang mulai sepi, dengan hanya sedikit pemain tim basket yang tersisa. Beberapa sudah pulang lebih dulu, sementara yang lainnya masih berlarian ke sana ke mari. Ia sadar, hari ini ia terpaksa membawa motornya sendiri karena Mang Ucok tidak bisa menjemputnya.
Ia menatap motor kesayangannya itu dengan perasaan campur aduk. Setelah beberapa menit, pikirannya teralihkan oleh suara langkah kaki yang mendekat. April dan Rendi keluar dari gedung sekolah, keduanya berjalan berbarengan menuju pintu keluar sekolah. Rendi segera melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal pada April, karena rumahnya dekat. April melanjutkan langkahnya sendirian, menunggu jemputan dari rumah, namun tak kunjung datang.
Bagas yang masih duduk di motornya menyaksikan dengan diam. Tapi, sesuatu terasa tidak beres. Sebuah perasaan tidak nyaman menghampirinya. Lalu, tiba-tiba langkah April terhenti. Seorang pria dari segerombolan orang di ujung jalan tampak menunjuk-nunjuk ke arah April. Wajah mereka tampak mencurigakan, dan April segera merasa panik. Ia tahu apa yang akan terjadi. Tanpa berpikir panjang, ia mulai berlari menjauh, menuju arah berlawanan.
April berlari melewati gang-gang sempit, memutar-mutar di antara rumah-rumah warga, mencoba menghindari mereka yang mengejarnya. Nafasnya terengah-engah. Ia tak tahu harus berlari ke mana. Suasana semakin mencekam saat ia mendengar langkah kaki orang-orang itu semakin mendekat.
Sampai akhirnya, April terhenti di ujung gang sempit, tempat ia bisa melihat jalan raya yang terbuka lebar. Saat ia berbalik, ia terkejut melihat seorang pengendara motor sport hijau berdiri di depannya, menghadap ke arahnya dengan helm terbuka.
"Ni pake!" seru pengendara itu, suaranya keras dan memaksa.
April, yang masih kebingungan, tak punya pilihan lain dan segera melompat naik ke motor itu. Tanpa sempat berpikir, ia langsung memeluk pinggang pengendara itu. Namun, ia tidak menyadari kalau pengendara itu adalah Bagas.
Motor sport itu melaju dengan kecepatan tinggi, memotong jalan-jalan sempit dan berbelok tajam. April hanya bisa diam di belakang, dengan perasaan campur aduk. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat segerombolan orang yang masih mengejar mereka dengan motor mereka. Kejar-kejaran ini berlangsung cepat, dan April mulai merasa ketakutan. Tetapi, ia juga merasakan ada sesuatu yang melindunginya.
Bagas tetap fokus di depan, matanya tajam memandang jalanan. Ia tahu kejaran itu berbahaya, dan ia tak bisa membiarkan mereka mengejar April lebih lama lagi. Dalam kepalanya, terbersit alasan kenapa ia merasa tidak nyaman tadi, kenapa ia merasa harus segera pulang dan membawa motornya. Ia menduga, inilah alasan kenapa perasaan itu datang. Ia tak ingin melihat April terjebak dalam masalah ini, dan dalam hatinya, ia tak bisa membiarkan sahabatnya menderita sendirian.
"Jangan lihat ke belakang!" seru Bagas dengan suara tegas, meskipun dirinya juga sedang berusaha sekuat tenaga menghindari para pengejarnya. "Kami harus pergi lebih cepat!"
April, meski bingung, menuruti perkataan Bagas dan menundukkan kepalanya. Dalam keheningan yang mencekam, hanya suara mesin motor yang terdengar keras, mengiringi detak jantung mereka yang semakin cepat.
Sementara itu, kejaran semakin intens. Para pengejar mereka mendekat dengan cepat, namun Bagas tak menyerah. Ia terus memacu motornya, berbelok tajam di setiap kesempatan, menjauh dari mereka. Sesekali, ia menoleh untuk memastikan April masih aman di belakangnya.
Perasaan Bagas semakin kuat. Ia tidak bisa membiarkan April terjebak sendirian dalam masalah ini. Keputusan sudah bulat di hatinya. Tak peduli apapun yang terjadi, ia akan melindungi teman-temannya, apalagi April yang sudah lama menjadi sahabatnya.
Pada akhirnya, kejaran itu berhenti juga. Mereka berhasil melarikan diri ke jalan yang lebih ramai, dan para pengejar akhirnya menyerah, berbalik arah. April masih terdiam di belakang, tubuhnya sedikit menggigil, tetapi ia merasa sedikit lega.
Bagas akhirnya melambatkan motornya, berhenti di pinggir jalan. April turun dengan cepat, wajahnya masih cemas. Namun, dia melihat ke arah Bagas, yang tampaknya tak terlalu terbebani oleh kejaran tadi.
"Bagas..." suara April serak, "Kenapa kamu...?"
Bagas hanya tersenyum singkat, mengangkat helmnya. "Jangan khawatir, April. Lo gak sendirian. Gue nggak akan biarin lo keluar dari masalah ini."
April hanya bisa menatap Bagas dengan rasa terima kasih yang besar. Dalam hatinya, ia tahu satu hal yang pasti: sahabat sejati memang selalu ada di saat yang paling dibutuhkan.
Bagas duduk di pinggir jalan, tubuhnya sedikit condong ke depan, mencoba menenangkan diri setelah kejaran yang menegangkan. Di tangannya, ada sekaleng minuman segar yang ia ambil dari dalam tasnya. Ia menyodorkan kaleng itu ke arah April yang duduk di sampingnya.
"Ni minum, buat ngilangin cemas lo," ujar Bagas dengan nada santai.
April menatap kaleng itu sejenak, kemudian mengambilnya dan meminumnya dengan pelan, merasakan kesegaran yang sedikit meredakan ketegangannya. Ia menghela nafas, mencoba menenangkan diri setelah kejadian tadi.
Bagas duduk diam sejenak, matanya memandangi jalan raya yang ramai, pikirannya melayang. Setelah beberapa saat, ia berbicara lagi, suaranya agak rendah namun cukup jelas. "Gue nggak sengaja denger percakapan lo sama Rendi tadi," kata Bagas. "Walau nggak terlalu jelas, tapi ada sesuatu di pikiran gue yang gak bisa dijelasin dengan kata-kata. Jadi, gue mutusin buat pulang paling akhir, dan setelah gue pikir-pikir, gue punya kesimpulan. Ternyata sumbernya dari dirimu."
April terdiam sejenak, mendengarkan apa yang dikatakan Bagas. Namun, ia sedikit bingung. "Tapi kenapa lo bersyukur bisa pulang terakhir?" tanyanya, penasaran.
Bagas tertawa kecil, sedikit geli dengan pertanyaannya. "Gue capek, njai, di kejar-kejar terus. Bisa kebayang gak sih, betapa stress-nya itu?" jawabnya, mencoba mengalihkan ketegangan dengan canda.
April tak bisa menahan senyum kecil. Melihat Bagas tertawa, ia merasa sedikit lebih tenang. "Ya udah, tunjukin jalan ke rumah lo, biar gue anterin. Kemarin lo yang anter gue, sekarang giliran gue," ujar Bagas, masih dengan senyum lebar di wajahnya.
April menatap Bagas, merasa terharu dengan perhatian dan dukungannya. Ia tahu bahwa Bagas selalu ada untuknya, seperti halnya ia selalu berusaha ada untuk Bagas.
"Thanks, Bagas. Gue nggak tahu harus gimana tanpa lo," kata April dengan suara pelan, meski senyumnya tulus.
Bagas hanya mengangguk ringan, lalu segera menghidupkan motor sport hijaunya. "Ayo, jalan!" teriaknya dengan ceria. "Bengangan kenceng, biar lo bisa merasa bebas, ha-ha!"
April tersenyum, meski masih sedikit cemas, tetapi kali ini ia merasa lebih tenang. Dengan motor yang melaju kencang, mereka berdua meninggalkan jalan yang sibuk, menuju rumah April. Jalanan yang sepi mulai terasa lebih aman, dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua larut dalam keheningan yang nyaman, hanya suara mesin motor yang terdengar.
April tak tahu harus berkata apa lagi, tetapi perasaan syukur dan lega semakin menguat. Setidaknya, hari ini ia tahu bahwa sahabatnya, Bagas, akan selalu ada di sampingnya, siap membantu kapan saja.
Tak lama setelah perjalanan mereka, Bagas dan April tiba di rumah April. Bagas memarkirkan motor sport hijaunya di depan teras rumah.
"Enggak masuk dulu, Gas," pinta April.
"Enggak, duluan gue liat-liat pekarangan rumah lo yang luas ini," jawab Bagas dengan nada santai. "Bikinin kopi, yuk."
April mengangguk, kemudian berteriak, "Bentar, Gas, gue ganti baju dulu!"
"Oke, Pril," jawab Bagas, sambil tetap memandangi halaman rumah April yang tampak luas dan asri.
April masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian, sementara Bagas berdiri di depan teras, memperhatikan taman dan pekarangan yang indah. Tiba-tiba, tanpa peringatan, sebuah baskom berisi air jatuh dari balkon atas dan tepat mengenai tubuh Bagas.
Bagas terkejut, dan tubuhnya langsung basah kuyup. Ia mendongak ke atas, hanya untuk melihat seseorang yang tampaknya sedang tergesa-gesa menuruni tangga balkon.
"Maaf!" teriak orang itu, sambil buru-buru membawa sebuah handuk.
Bagas menatap kesal, dan saat kedua mereka berpapasan di pintu teras rumah, mereka saling bertatapan. Tanpa sadar, mereka menunjuk satu sama lain dan berseru bersamaan, "Kamu!"
Bagas mendengus kesal, tampak sedikit terganggu dengan kejadian tersebut. Gadis itu langsung membuang muka dan, tanpa banyak bicara, meninggalkan handuk di tangan Bagas, kemudian berlari masuk ke dalam rumah.
Seketika itu, terdengar jeritan dari dalam rumah. "Dek, ada apa?" teriak April yang baru saja keluar dari kamar.
"Gak apa-apa," jawab Cila singkat, sambil meninggalkan April yang masih bingung dan penasaran.
April pun keluar dari dalam rumah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sesampainya di pintu teras depan, ia langsung tertawa terbahak-bahak melihat Bagas yang basah kuyup.
"Lo kenapa, Gas?" tanya April sambil tertawa terbahak-bahak, tak bisa menahan candaannya.
"Abis dilempar Kakek Zeus air sebaskom!" jawab Bagas sambil memasang muka kesal dan menunjuk ke arah Cila yang sudah menjauh.
April tertawa semakin keras mendengar penjelasan Bagas. "Serius deh, Gas. Kenapa lo bisa sampai basah gitu?" tanyanya, masih terbahak-bahak.
Bagas hanya menggelengkan kepala, mencoba menahan rasa kesalnya. "Gue juga gak ngerti. Tiba-tiba aja... plak!," ujarnya sambil menunjuk ke tubuhnya yang masih basah. "Kayaknya gue harus hati-hati kalau lagi di sekitar rumah lo nih, bisa-bisa kena serangan dadakan dari atas," tambahnya, setengah bergurau.
Cila yang sedang masuk ke dalam rumah hanya melirik sekilas ke arah mereka dan tetap berjalan pergi, tanpa menjawab. Bagas dan April hanya saling bertukar pandang dan tertawa bersama, meskipun Bagas masih sedikit kesal dengan kejadian itu.