Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Setelah minggu lalu disibukkan dengan masalah internal perusahaan, Gavin kini harus melakukan perjalanan ke luar kota untuk meninjau salah satu lokasi proyek besar perusahaan. Meski ini adalah perjalanan penting untuk memastikan kelangsungan proyek, keputusan ini tetap berat untuk Gavin. Meninggalkan Dasha yang sedang hamil dan Nathan yang selalu menunggu kepulangannya setiap malam membuat Gavin merasa bersalah.
"Pasti bisa jaga diri, kan, Sayang?" Gavin bertanya pada Dasha malam sebelum keberangkatannya, sambil menggenggam tangannya erat.
Dasha tersenyum menenangkan. "Tentu saja. Aku akan baik-baik saja, Gavin. Fokus pada pekerjaanmu, dan aku akan menjaga Nathan dan bayi kita."
Nathan, yang mendengar percakapan itu, tiba-tiba menyela dengan wajah sedih. "Papa pergi berapa lama? Aku nggak mau Papa pergi lama-lama."
Gavin mengangkat Nathan ke pangkuannya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Papa cuma pergi sebentar, Kak Nathan. Nanti Papa video call setiap hari, ya. Kamu harus jaga Bunda dan adik, oke?"
Nathan mengangguk meski matanya tampak sedikit berkaca-kaca.
Saat Gavin pergi, suasana rumah menjadi sedikit lebih sepi. Dasha berusaha mengisi waktu dengan berbagai aktivitas bersama Nathan agar ia tidak merasa terlalu kehilangan. Mereka sering menghabiskan pagi dengan membaca buku cerita atau menggambar bersama.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Dasha merindukan kehadiran Gavin di rumah. Setiap malam sebelum tidur, ia dan Nathan selalu menunggu panggilan video dari Gavin.
"Papa, tadi aku belajar bikin huruf besar di sekolah! Nanti aku tulis surat buat Papa!" cerita Nathan dengan antusias saat mereka berbicara melalui layar ponsel.
Gavin tersenyum, meskipun matanya menunjukkan sedikit kelelahan dari perjalanan panjangnya. "Papa nggak sabar nunggu surat dari Kak Nathan. Kamu jago sekali, ya!"
Setelah berbicara dengan Nathan, Gavin biasanya meluangkan waktu untuk berbicara dengan Dasha. "Gimana kabarmu hari ini, Sayang? Perutmu masih nyaman?" tanyanya penuh perhatian.
Dasha tersenyum dan menjawab dengan nada lembut, "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir, fokus saja sama pekerjaanmu. Tapi... kami tetap kangen."
Nathan, yang mulai menyadari bahwa bundanya mungkin merasa lelah tanpa Papa di rumah, sering menunjukkan tingkah lucu dan menggemaskan untuk menghibur Dasha.
Suatu hari, saat Dasha sedang beristirahat di sofa, Nathan datang membawa mainan dinosaurusnya.
"Bunda, dinosaurus ini namanya Dino. Dia bakal jagain Bunda sama adik kalau aku di sekolah," katanya sambil meletakkan mainan itu di samping Dasha.
Dasha tertawa kecil dan memeluk Nathan. "Terima kasih, Kak Nathan. Bunda merasa aman sekarang."
Nathan juga sering membantu dengan cara-cara sederhana. Ia akan mengambilkan segelas air untuk Dasha atau membantu membereskan mainannya sendiri tanpa disuruh.
"Bunda nggak boleh capek-capek, ya. Papa bilang aku harus jadi kakak yang tanggung jawab," ucapnya dengan wajah serius, meski suaranya terdengar menggemaskan.
Di tengah kesibukannya, Gavin tidak pernah lupa untuk memberikan perhatian pada keluarganya. Selain panggilan video setiap malam, ia juga sering mengirim pesan singkat kepada Dasha, menanyakan kabarnya atau sekadar mengirim foto dari tempat-tempat yang ia kunjungi di Belanda.
"Sayang, ini foto salah satu taman di dekat lokasi proyek. Aku harap suatu hari kita bisa ke sini bersama," tulisnya dalam salah satu pesannya.
Dasha tersenyum membaca pesan itu. Meskipun berjauhan, Gavin selalu membuatnya merasa dekat.
Setelah seminggu di Belanda, Gavin akhirnya kembali ke rumah. Ketika pintu terbuka, Nathan langsung berlari menyambutnya dengan pelukan erat.
"Papa pulang! Aku kangen banget!" seru Nathan.
Gavin mengangkat Nathan ke dalam pelukannya dan mencium pipinya. "Papa juga kangen sama kalian."
Dasha yang berdiri di dekat sofa hanya tersenyum melihat pemandangan itu. Gavin mendekat, lalu memeluknya sambil menatap perutnya yang semakin membesar.
"Aku senang bisa pulang. Terima kasih sudah menjaga semuanya, Dash."
Dasha hanya mengangguk pelan. "Kamu pasti capek. Ayo istirahat, dan jangan lupa cerita tentang perjalananmu."
Malam itu, mereka menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Meski seminggu terasa lama bagi mereka, cinta dan perhatian Gavin selalu membuat Dasha dan Nathan merasa bahwa ia tetap ada, tak peduli seberapa jauh jarak yang memisahkan mereka.
.
.
.
.
.
Hari itu telepon dari sekolah Nathan mengejutkan Gavin dan Dasha. Pihak sekolah mengabarkan bahwa Nathan terlibat dalam perkelahian dengan salah satu temannya. Mendengar kabar tersebut, Dasha langsung merasa khawatir.
"Berantem? Kak Nathan?" gumam Dasha dengan nada tak percaya.
Gavin, yang baru saja pulang dari kantor, langsung mengambil kunci mobil. "Kita harus ke sekolah sekarang. Kita perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Setibanya di sekolah, mereka langsung menuju ruang kepala sekolah, di mana Nathan duduk dengan wajah tertunduk. Di sebelahnya, seorang anak lain tampak terisak, ditemani oleh orang tuanya. Guru kelas Nathan menjelaskan situasi dengan hati-hati.
"Pak Gavin, Bu Dasha, tadi siang Nathan terlibat perkelahian kecil dengan temannya, Raka. Kami ingin menjelaskan kronologinya agar semuanya jelas."
Dasha menatap Nathan dengan penuh kekhawatiran. "Kak Nathan, kenapa kamu berkelahi? Kamu biasanya anak yang baik."
Nathan tetap diam, tidak berani menatap bundanya.
Guru melanjutkan, "Menurut beberapa teman, Raka mengolok-olok Nathan. Ia mengatakan sesuatu yang membuat Nathan marah, lalu Nathan memukulnya. Untungnya, kami segera melerai sebelum situasi semakin buruk."
Gavin menghela napas panjang, lalu menatap Nathan. "Apa benar begitu, Nathan? Kenapa kamu sampai memukul temanmu?"
Nathan akhirnya angkat bicara dengan suara gemetar. "Raka bilang kalay adik bayi di perut Bunda lahir Bunda bakal engga sayang Nathan lagi dia bilang Bunfa cuma pura-pura jadi Bunda yang baik."
Ucapan itu membuat Dasha dan Gavin terkejut. Nathan menunduk lebih dalam. "Aku nggak suka dia bilang begitu. Bunda itu penting buat aku."
Mendengar penjelasan Nathan, Gavin merasa campur aduk antara marah dan bangga. Ia tahu bahwa tindakan Nathan tidak benar, tetapi ia juga menyadari betapa besar kasih sayang anaknya terhadap calon adiknya.
Gavin berlutut di depan Nathan, menatapnya dengan lembut. "Nathan, Papa tahu kamu marah karena dia bicara sesuatu yang menyakiti hati kamu. Tapi memukul teman itu tidak boleh. Kamu harus belajar mengontrol perasaanmu."
Nathan mengangguk perlahan, air matanya mulai mengalir. "Maaf, Papa... maaf, Bunda."
Dasha, yang duduk di sebelahnya, mengusap punggung Nathan dengan lembut. "Bunda tahu kamu sayang sama Bunda. Tapi kamu juga harus belajar memaafkan dan bicara baik-baik kalau ada masalah."
Orang tua Raka, yang juga hadir di ruangan itu, mendekati mereka. "Kami minta maaf kalau anak kami berkata sesuatu yang tidak pantas. Kami akan berbicara dengan Raka tentang ini."
Dasha dan Gavin saling berpandangan, lalu mengangguk. "Terima kasih. Kami juga akan memastikan Nathan belajar dari kejadian ini," kata Gavin dengan nada tegas tapi sopan.
Di perjalanan pulang, suasana mobil terasa hening. Nathan duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela dengan wajah muram.
Setelah beberapa saat, Gavin akhirnya berbicara. "Nathan, Papa bangga kamu sayang sama Bunda Tapi, kamu harus ingat, menunjukkan kasih sayang itu bukan dengan cara berkelahi. Kalau kamu marah, bilang ke guru atau orang dewasa yang ada di sana, oke?"
Nathan mengangguk kecil. "Aku janji nggak akan berantem lagi, Papa."
Dasha menoleh ke belakang dan tersenyum lembut. "Kak Nathan itu kakak yang hebat. Adik pasti bangga punya kakak seperti kamu. Tapi mulai sekarang, kita hadapi semuanya dengan sabar, ya."
Nathan tersenyum tipis untuk pertama kalinya sejak insiden itu. "Iya, Bunda. Aku akan lebih baik lagi."
Malam itu, setelah makan malam, Nathan mendekati Dasha yang sedang duduk di sofa. Ia membawa secarik kertas.
"Bunda, Papa, aku mau minta maaf lagi. Ini aku buat surat buat adik, supaya dia tahu aku sayang banget sama dia."
Gavin dan Dasha membaca surat itu bersama. Isinya sederhana, tapi penuh makna:
"Adik, aku sayang kamu. Maaf ya kalau aku belum jadi kakak yang baik. Aku janji nanti aku akan jaga kamu dan Bunda. Dari Kakak Nathan."
Dasha memeluk Nathan erat, air matanya mengalir. "Kak Nathan sudah jadi kakak yang baik sejak sekarang. Terima kasih, Sayang."
Gavin mengusap kepala Nathan dengan lembut. "Papa bangga sama kamu, Kak. Kita semua belajar dari kejadian hari ini."
Dengan suasana yang kembali hangat, keluarga kecil itu mengakhiri hari mereka dengan pelajaran berharga: cinta tidak hanya tentang melindungi, tapi juga tentang belajar mengendalikan diri dan memaafkan.