Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dibalik bayangan
Setelah kejadian di ruang Kepala Sekolah, Shin tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikiran-pikirannya berputar-putar, penuh dengan pertanyaan tentang segel sihirnya yang masih terkunci, Arvin yang tiba-tiba menghilang, dan pesan misterius dari Kepala Sekolah yang membuat perasaan tidak tenang.
Di kamar asrama, Shin terbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan mata yang masih terjaga. Leo yang tidur di ranjang sebelahnya, terlihat nyenyak, meskipun suasana sepertinya sedikit lebih tegang malam itu. Shin bisa mendengar suara nafas Leo yang teratur, namun pikirannya terus teralihkan oleh bayangan yang mengganggu.
"Gue benci malam-malam kayak gini..." gumam Shin pelan. Dia lalu duduk dan menendang-nendang kasurnya, mencoba mengusir rasa gelisah yang menghantuinya. "Apa sih yang dibilang Kepala Sekolah itu tadi? Tantangan sesungguhnya? Bahaya baru? Semua ini kayak nunggu meledak aja, dan gue yakin sih, gue nggak mau jadi bahan ledakan."
Leo yang tidur di ranjang sebelahnya, mengerang pelan, sepertinya masih setengah tidur. "Shin, lo bisa nggak nggak ngomongin hal-hal yang bikin gue makin bingung sebelum tidur?"
"Lo nggak ngerti, Leo. Gue nggak bisa tenang. Segel sihir gue, Arvin yang menghilang, terus Kepala Sekolah ngomong kalau ini semua baru permulaan... ada apa sih dengan Akademi ini?" Shin berbicara dengan nada sedikit frustrasi, merasa terjebak dalam kegelisahan.
Leo membuka matanya perlahan, dan duduk di ranjangnya. "Aku juga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi mungkin, kita harus menunggu sampai semuanya jelas. Tidak ada gunanya terburu-buru membuat kesimpulan."
Shin menggelengkan kepala. "Gue nggak bisa nunggu, Leo. Gue harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Leo menatap Shin dengan tatapan yang lebih serius, meskipun masih terlihat sedikit mengantuk. "Shin, kita mungkin tidak bisa mengubah apapun yang sudah terjadi. Tapi ingat, kita tidak sendirian. Ada banyak orang yang juga berusaha melindungi Akademi ini."
Shin menatap Leo dengan serius. "Lo ngomong kayak lo udah tau semuanya, Leo. Apa lo beneran percaya sama semua yang dikatakan Kepala Sekolah tadi?"
Leo terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan nada yang lebih tenang. "Aku tidak tahu, Shin. Tapi aku percaya pada diriku sendiri, dan pada teman-teman yang ada di sekitar kita."
Shin hanya mengangkat bahu, tapi rasa cemasnya tak kunjung hilang. Setelah beberapa saat, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar, berpikir mungkin sedikit udara malam bisa membantu meredakan kegelisahan yang mengganggu.
Keesokan harinya, suasana di Akademi terlihat biasa saja, meskipun Shin merasa ada yang berbeda. Di koridor, murid-murid Akademi berlari-lari dengan wajah ceria, tidak ada yang menunjukkan rasa khawatir atau ketegangan seperti yang dirasakannya. Semua terlihat seperti biasa, seakan-akan tidak ada yang menyadari bahwa sesuatu yang besar sedang menunggu di depan mata.
Shin dan Leo berjalan bersama menuju ruang kelas. Leo tetap tampak tenang, sedangkan Shin hanya melamun, menatap ke depan dengan wajah tidak terlalu bersemangat.
"Lo nggak denger apa-apa tadi pagi?" Shin bertanya, berusaha memecah kesunyian yang terasa semakin berat.
Leo mengangkat bahu. "Tidak, kenapa?"
Shin mengerutkan kening. "Ada yang aneh, sih. Seharusnya ada pengumuman dari Kepala Sekolah atau semacamnya tentang kejadian kemarin, kan?"
Leo hanya diam, tampaknya setuju bahwa ada sesuatu yang terlewatkan, namun mereka berdua terus berjalan menuju ruang kelas. Begitu sampai di sana, mereka langsung disambut oleh Miss Belina yang duduk di depan papan tulis dengan ekspresi serius.
"Shin, Leo," Miss Belina menyapa mereka begitu mereka masuk. "Kalian berdua sudah kembali. Saya harap kalian membawa laporan yang jelas dan lengkap. Namun, sebelum itu, ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan."
Shin duduk di kursinya dengan kaki terangkat, siap untuk mendengarkan—atau lebih tepatnya, tidak terlalu peduli dengan apa yang Miss Belina ingin katakan. "Laporan? Lagi? Ya udah, cerita aja, Miss. Gue rasa ini semua cuma masalah nunggu waktu aja."
Miss Belina tampaknya tidak terpengaruh dengan sikap Shin yang seenaknya, dan melanjutkan pembicaraan. "Saya mendengar dari Kepala Sekolah bahwa ada banyak hal yang terjadi kemarin. Namun, ada satu hal yang harus kalian ketahui—sihir yang terkunci di dalam diri Shin tidak akan begitu saja terbuka. Diperlukan usaha lebih dari sekadar eksperimen konyol atau ucapan sembarangan."
Shin langsung mengangkat tangan, menyela. "Eksperimen konyol? Gimana sih, Miss! Gue udah coba segala cara buat membuka segel itu, dan gue nggak dapat hasil apa-apa!"
Miss Belina melirik Shin dengan tatapan tajam. "Tentu saja, Shin. Karena membuka segel seperti itu tidak semudah itu. Tapi ada cara lain untuk membukanya, meskipun sangat berbahaya."
Shin mengerutkan kening. "Berbahaya? Lo bercanda, Miss. Selama ini gue udah ngerasain semuanya, dan nggak ada yang lebih buruk dari ini."
"Kesalahan terbesar adalah menganggap segel ini bisa dipecahkan hanya dengan kekuatan fisik atau kekuatan semata," Miss Belina menjelaskan. "Itu adalah bagian dari diri Shin yang paling dalam. Diperlukan pemahaman yang lebih dalam mengenai diri Shin dan kemampuan sihir yang terpendam di dalam dirinya."
Shin menatap Miss Belina, matanya menyipit. "Jadi, lo bilang gue harus memahami diri gue sendiri untuk membuka segel? Hah, ini sih... jadi semakin nggak masuk akal!"
Leo ikut berbicara, meskipun masih dengan cara sopannya. "Miss Belina, apakah ada cara yang lebih spesifik yang bisa kami lakukan? Atau apakah ada petunjuk lain yang bisa membantu Shin?"
Miss Belina berhenti sejenak, seakan menimbang-nimbang kata-katanya. "Ada satu hal. Untuk membuka segel ini, kalian perlu menemui seseorang. Tapi itu hanya bisa dilakukan di tempat yang sangat berbahaya. Tempat itu... adalah Hutan Naga Kegelapan."
Shin terkejut. "Hutan Naga Kegelapan? Lo serius, Miss?"
"Ya," jawab Miss Belina, "Hutan itu adalah satu-satunya tempat di mana segel seperti yang ada pada dirimu, Shin, bisa dibuka. Tapi perjalanan ke sana tidak mudah, dan kalian akan menghadapi banyak bahaya. Bahkan... Dewa Naga Kegelapan itu sendiri mungkin akan menghalangi jalan kalian."
Shin menatap Leo, dan Leo hanya mengangguk perlahan, menyadari bahwa perjalanan mereka belum selesai, dan mereka akan menghadapi lebih banyak tantangan yang jauh lebih berbahaya lagi.