Berawal dari penghianatan sang sahabat yang ternyata adalah selingkuhan kekasihnya mengantarkan Andini pada malam kelam yang berujung penyesalan.
Andini harus merelakan dirinya bermalam dengan seorang pria yang ternyata adalah sahabat dari kakaknya yang merupakan seorang duda tampan.
"Loe harus nikahin adek gue Ray!"
"Gue akan tanggungjawab, tapi kalo adek loe bersedia!"
"Aku nggak mau!"
Ig: weni 0192
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon weni3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sampai kantin, kedua sahabat Andini sudah menunggu. Tia dan Riri telah memesankan makanan juga untuknya. Andini mendekat dengan senyum yang mengembang, tetapi saat ingin duduk dia agak terganggu dengan hadirnya Cika yang juga baru datang setelah memesan makanan.
Andini diam di tempat, menatap kedua sahabatnya yang heran akan perubahan sikapnya. Sedangkan Tara yang mengerti segara mengajak untuk pindah tempat.
"Mau pindah aja?"
Andini menggelengkan kepala, "nggak perlu, gue nggak pa-pa." Andini duduk dan meminum minuman yang telah di pesankan. Moodnya tambah hancur saat ini. Mungkin salahnya yang belum ikhlas, membuat dia belum bisa menerima.
"Din..." tegur Tia, Andini hanya menjawab dengan senyuman. Tia dan Riri memang belum tau persis kronologi sebenarnya. Mereka berdua hanya tau jika Cika menghindar. Cika sendiri hanya diam tertunduk dengan menikmati makan siangnya. Semua terasa canggung tak seperti dulu.
"Kalo mau pindah biar gue temenin."
"Nggak usah Tara, kedua sahabat gue ada di sini."
Tara membuang nafas kasar, dia sadar ini semua karenanya. Dia yang sudah membuat persahabatan mereka renggang bahkan hancur tak tersisa. Akhirnya Tara mengalah, dia mengajak Cika untuk pindah tempat. Tak ingin semakin merasa bersalah dan membuat Andini tak nyaman.
"Eh kok Tara ngajak Cika pindah. Sebenarnya kalian kenapa sich?" tanya Tia yang mulai curiga.
Andini belum mau menjawab, dia diam sambil meneruskan makan. Tak perduli sikap Tara yang membawa Cika pindah begitu saja.
"Andin, kalo ada apa-apa cerita. Loe nggak nganggep kita? gue sama Tia malah jadi kayak orang begooo begini."
Andini menatap kedua sahabatnya, air matanya menetes tanpa bisa ia cegah. Berat rasanya ingin bercerita, karena tak ingin mengumbar aib keduanya.
"Andin kok loe malah nangis begini?" Tia dan Riri menggenggam kedua tangan Andin untuk memberi kekuatan. Mereka yakin ada masalah besar yang selama ini Andin tutupi dari mereka.
"Kenapa nangis? maaf kita nggak peka. Tapi loe bisa cerita apapun itu," ucap Riri lagi.
Andini menarik nafas dalam, sebelumnya sempat melirik ke arah Tara dan Cika yang makan tanpa ada obrolan.
"Mereka selingkuh...."
"Apa?" Tia jelas terkejut begitupun juga Riri. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang Andin ucapkan.
"Tara dan Riri ada hubungan di belakang loe?" tanya Riri memastikan dan di jawab sebuah anggukan oleh Andini.
"OMG, gila tuh orang berdua. Dikasih hati minta ampela. Nggak nyangka gue sama mereka, kenapa sich loe nggak ngomong sama kita-kita. Tau gitu gue cakar mukanya tadi!"
"Gue nggak mau buat kalian juga mutusin persahabatan sama dia, cukup gue aja karena ini masalah pribadi gue."
Tia yang kesal sudah ingin beranjak dari tempat duduknya tetapi dengan cepat Andini menahan. "Stop Tia, jangan lakuin apapun. Gue udah maafin mereka, cuma memang untuk bersahabat lagi gue nggak bisa. Please gue nggak mau ribut!"
"Enek banget gue liat muka polosnya! gue nggak sudi punya teman kayak dia, loe juga udah nggak usah nangisin mereka lagi. Nggak ikhlas gue liat loe sedih begini." Kesal Tia, dia yang paling lama bersahabat dengan Andini, bahkan dari semasa SD sudah dekat.
Selesai makan siang ke tiganya kembali ke divisi masing-masing. Melanjutkan pekerjaan mereka dengan baik. Mbak Erna yang melihat Andini dengan wajah kusutnya mulai menghampiri, "Kenapa?"
"Nggak apa-apa kok mbak."
"Kusut banget, ada masalah?"
"Cuma masalah biasa mbak, hidupkan memang tak lepas dari masalah mbak." Andini berusaha untuk tersenyum.
"Iya sich, semua pasti punya masalah masing-masing. Tapi muka kamu keliatan banget loh, toilet dulu aja cuci muka biar seger lagi."
"Iya mbak, makasih udah perhatian sama Andini. Berasa punya kakak perempuan, tapi sayangnya Kak Dika nggak nikah-nikah." Mendengar ucapan Andini ada rasa bersalah di hati Erna. Dulu ia meninggalkan Dika saat mereka sudah benar-benar serius, menerima perjodohan dari kedua orang tuanya yang malah berujung hanya di sakiti.
"Nanti kalo sudah datang jodohnya juga pasti menikah, kamu bisa punya kakak perempuan. Nggak berantem terus sama pak Andika jadinya."
"Mbak Erna tau aja, aku emang nggak pernah akur sama dia mbak. Tapi aku sayang sama kakak, dia baik hanya memang mulutnya aja yang kayak rawit." Andini dan Erna tertawa, hal itu membuat mood Andini sedikit membaik.
"Mbak, kita nggak ada kerjaan?"
"Belum turun dari atasan, yang kemarin kan udah selesai. Jadi santai aja dulu, nanti kalo udah turun mandat pasti repot." Erna mengambil cemilan di lacinya dan susu ibu hamil berkemasan yang selalu tersedia di dalam sana.
"Widih...stoknya nggak abis-abis loh," Andini mengambil satu jajanan yang Erna tawarkan.
"Ada aja yang perhatian, makanya lacinya penuh terus."
"Enak ya mbak, apa mbak ada pengagum rahasia?" tanya Andin curiga.
"Mungkin!" Erna menjawab singkat dengan mengangkat kedua bahunya.
Tara masuk dengan membawa berkas yang telah di tandatangani oleh pak bos, dia ikut nimbrung dengan Andini dan Erna di sana.
"Waaahhhh lagi pada nyantai nich, mbak bagi ya!" Tara mengambil snake di atas meja.
"Makan aja! gimana udah dapet tanda tangannya?"
"Udah donk. Lagi nggak ada tamu jadi lancar jaya. Cuma ada pak Andika di sana."
"Si bos mah emang baik, beruntung kita kerja di ruang lingkup yang serius tapi santai. Apa lagi pak Rai, jarang marah-marah kalo nggak memang fatal. Makanya karyawati sini pada suka, walaupun orangnya dingin sama wanita."
"Mbak suka juga?" tanya Tara antusias, sedangkan Andini hanya diam tak menimpali. Dia memilih mendengarkan sambil makan dari pada bicara takut salah. Walaupun ada rasa yang beda saat nama Raihan di jadikan pembicaraan.
"Ya nggak lah, Rai itu dulu teman aku kuliah. Memang dari dulu ya dia begitu, selalu di kagumi banyak kaum hawa. Makanya aku sempat merutuki kebodohan mantan istrinya juga, nggak bersyukur sudah mendapatkan suami incaran sejuta wanita."
"Iya, cuma sayangnya ganteng-ganteng tapi duda ya mbak. Kalo seandainya aku cewek nich, udah aku pepet kali. Bener-bener bodoh wanita yang di beri kesempatan dekat tapi malah di sia-siakan."
Mendengar ucapan Tara dan mbak Erna membuat Andini diam tertunduk, mereka tidak tau jika yang di bahas adalah suaminya.
"Apa iya aku bodoh jika menyia-nyiakan Kak Rai...."
"Andini, kenapa melamun? mikirin pak bos?"
"Haaahh....nggak kok mbak, mbak Erna nich apaan sich, siapa yang mikirin pak bos?" hal itu membuat Andini salah tingkah, Erna hanya tersenyum memperhatikan. Dia sedikit curiga dengan sikap Andini, tapi tak juga ingin mencari tau lebih dalam lagi.
"Lagian Andini sama kak Rai udah lama kenal mbak, udah nggak heran dia kalo si bos banyak yang suka."
"Iya mbak, Kak Rai sudah seperti kakak aku sendiri. Dia memang dari dulu baik, makanya kak Andika betah sama dia."
Perbincangan mereka terhenti saat ada panggilan masuk yang di duga dari pak bos. Mbak Erna segera menerima panggilan tersebut, dia menoleh ke arah Andini setelah mengatakan iya dan menutup teleponnya.
"Andin di panggil sama pak bos, suruh keruangannya. Kayaknya ngambil berkas yang akan kita kerjakan selanjutnya dech." Ucap Erna ragu, karena Raihan sebenarnya hanya menyuruh dirinya memerintah Andini untuk ke ruangan Raihan.
"Harus aku mbak? kan ada Tara, dia bisa ambil berkas ke atas, nggak mesti aku. Liat muka aku masih kusut gini mbak, nggak enak ngadep atasan." Andini mencoba untuk menolak, hal itu membuat Erna semakin penasaran tentang hubungan keduanya.
"Tapi pak Rai nyuruh kamu, masak aku bantah. Nanti aku yang kena marah. Kamu bisa cuci muka dulu dan touchup lagi."
Dengan berat hati Andini pun akhirnya menuruti, melipir ke toilet dengan membawa bedak dan lipstik kemudian lanjut menuju ruangan Rai setelah terlihat segar kembali.
"Nah, gitu kan cantik. Cuus dech keburu si bos kelamaan nunggunya." Erna tersenyum melihat Andini yang nurut. Kemudian beralih ke Tara yang melihat tak berkedip.
"Udah Tara, orangnya udah nggak keliatan. Suka banget ya sama Andini?"
"Dia mantan aku mbak..."
"Serius?" Erna menutup mulutnya, tak menyangka jika sebenarnya Tara dan Andini ternyata adalah mantan kekasih.
"Iya, belum lama putus," jawab Tara lemas.
"Kenapa?"
"Seperti mantannya si bos, aku kurang bersyukur dan menyia-nyiakan batu permata hanya demi batu koral."
"Menyesal?"
"Pasti, tapi Andini sudah nggak mau lagi. Aku juga yang salah. Dia gadis baik, aku harap akan mendapatkan pria yang baik juga."
"Aamiin....aku salut dengan pemikiran kamu. Walaupun kamu awalnya mungkin salah. Tapi mau menerima dan harus bisa introspeksi diri."
"Iya mbak...."
Andini menyapa sekertaris Rai kemudian melangkah menuju pintu yang tak tertutup rapat. Mengetuk pintu hingga suara dari dalam membuatnya segera masuk.
Raihan mendekat dengan Map di tangannya, mengunci pandang wanita yang saat ini sedang berjalan ke arahnya.
"Tolong berikan ini pada Heru atau Erna."
"Baik pak, ada lagi?" tanya Andini ramah.
"Pulang tunggu aku di parkiran," lirih Rai.
"Maaf pak, saya bisa pulang sendiri."
"Ini perintah dari suami ke istrinya," ucap Rai lembut kemudian menggenggam tangan Andini. Lagi-lagi di dekat Rai jantungnya tak mau diam, "sore ini aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Sejak menikah belum pernah kemana-mana kan? mau ya?"
Andini mengingat ucapan Erna dan Tara tadi, bodoh jika dia menyia-nyiakan Rai. Mungkin bersikap seperti dulu sebelum menikah akan lebih baik dari pada terus menghindar. Toh sebelumya hubungan mereka baik-baik saja.
"Hhmmm...."
Senyum Raihan mengembang, dia pikir Andini akan menolak ternyata tidak. Memang meluluhkan hati yang keras harus dengan kesabaran dan kelembutan bukan kata-kata yang kasar.
mkasih bnyak thorr🫰