Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cibiran Tetangga
Cibiran Tetangga
Pernikahan Maya dan Arman secara resmi mungkin sudah selesai, tetapi hidup mereka kini menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Mereka tahu bahwa meskipun mereka mencoba menjalani kehidupan mereka dengan bahagia, dunia luar tidak akan menerima hubungan mereka yang terlarang begitu saja. Dan seperti yang sudah mereka duga, tak lama setelah pernikahan mereka terungkap, cibiran dan bisik-bisik dari tetangga mulai menghampiri mereka.
Maya dan Arman tinggal di sebuah lingkungan yang cukup dekat, di mana kehidupan sosial sangat erat, dan setiap perubahan kecil dalam hidup seseorang langsung menjadi bahan pembicaraan. Mereka yang sebelumnya hidup dalam ketenangan, tiba-tiba menjadi pusat perhatian yang tidak diinginkan. Setiap kali mereka melangkah keluar rumah, mereka bisa merasakan tatapan penuh kecaman dan bisikan yang terdengar sangat jelas, meskipun mereka berusaha untuk tidak peduli.
Suatu hari, Maya sedang berada di pasar untuk membeli bahan makanan. Ketika ia melintas di depan beberapa ibu rumah tangga yang sedang berbincang, percakapan mereka terhenti sejenak. Maya bisa merasakan pandangan tajam dari para ibu itu yang segera beralih ke arah dirinya.
“Apa kamu dengar tentang Maya dan Arman?” salah satu ibu bertanya dengan suara bisik.
“Iya, katanya mereka menikah secara resmi. Bayangkan saja, seorang ibu menikahi menantunya sendiri. Tak tahu malu!” jawab ibu yang lainnya dengan nada sinis. “Mereka pasti tidak sadar betapa besarnya dosa yang telah mereka perbuat.”
Maya menggigit bibirnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun perasaan sakit mulai merasuk. Ia tahu bahwa mereka akan berbicara tentang pernikahan mereka. Namun, mendengarnya secara langsung, dengan kata-kata yang begitu tajam, membuatnya merasa seolah-olah ada batu besar yang menindih dadanya.
Sambil mengerahkan segenap kekuatan untuk tetap tidak menanggapi, Maya melangkah cepat dan menyelesaikan urusan belanjaannya. Di rumah, ketika ia menceritakan kejadian itu kepada Arman, pria itu hanya bisa menatapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. Ia tahu betul betapa kerasnya dunia luar menilai hubungan mereka, tetapi ia merasa tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menerima kenyataan.
“Maaf, Mama,” kata Arman, suaranya penuh rasa bersalah. “Aku tahu ini sangat berat untukmu. Aku juga merasa kesulitan menghadapi pandangan orang-orang tentang kita.”
Maya hanya menghela napas panjang. “Aku tahu kita tidak bisa mengubah apa yang mereka pikirkan, Arman. Tapi rasanya sangat sulit hidup dengan stigma seperti ini. Semua orang tahu kita salah, dan mereka tidak akan pernah berhenti menghakimi.”
Tetangga-tetangga mereka memang tidak pernah berhenti berbisik di belakang mereka. Beberapa bahkan terang-terangan mengkritik keputusan mereka. Ketika mereka berjalan bersama, mereka sering mendengar komentar pedas tentang "keluarga tak normal" atau "hubungan terlarang." Ada yang bahkan terang-terangan menghindari mereka, berbalik arah jika kebetulan bertemu di jalan, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang berbahaya.
Anak-anak mereka juga mulai merasakannya. Mereka yang sebelumnya tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pribadi orang dewasa itu mulai mendengar komentar dari teman-teman mereka. Kadang mereka ditanya, "Kenapa ibumu menikah dengan ayah tirimu?" atau "Apa benar ibumu itu istrimu sekarang?" Sebagai orang tua, Maya dan Arman sangat paham bahwa mereka harus melindungi anak-anak mereka dari sakit hati akibat komentar-komentar tak pantas ini, meskipun mereka sendiri sudah terbiasa dengan rasa malu yang datang setiap kali bertemu dengan orang lain.
Pada suatu sore, ketika Arman sedang berjalan menuju rumah dari pasar, seorang tetangga lelaki, yang selalu berbicara kasar, menghampirinya dengan tatapan sinis.
“Jadi, bagaimana rasanya jadi suami sekaligus menantu, Arman? Apa istrimu puas sudah menikahi anaknya sendiri?” ledeknya dengan nada mengejek.
Arman hanya bisa menahan diri, meskipun amarahnya hampir meluap. Ia ingin sekali membalas perkataan itu dengan keras, tetapi ia tahu bahwa itu hanya akan memperburuk keadaan. "Tidak ada yang bisa saya katakan pada orang-orang seperti Anda," jawab Arman dengan tegas, sambil melanjutkan langkahnya.
Di sisi lain, Maya merasa semakin tertekan dengan perlakuan orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha keras untuk menjaga kepala tetap tegak dan tidak membiarkan cibiran tersebut menghancurkan kebahagiaannya dengan Arman. Namun, rasa sakit dan malu itu terus-menerus menghantui mereka, dan mereka sering berbicara dengan hati-hati satu sama lain, membicarakan bagaimana cara mereka bisa menghadapinya.
“Kita harus kuat, Arman,” kata Maya pada suatu malam. “Ini mungkin cobaan terberat dalam hidup kita. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebencian orang lain. Kita harus tetap bersama dan melanjutkan hidup.”
Arman menggenggam tangan Maya dengan lembut. "Aku tahu, Mama. Kita akan melewati ini semua. Tak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Selama kita bersama, itu yang terpenting."
Namun, meskipun mereka saling memberikan dukungan, Maya dan Arman tahu bahwa dunia di luar sana tidak akan mudah menerima mereka. Cibiran tetangga hanyalah awal dari sekian banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Mereka harus menemukan cara untuk menghadapi dan menerima kenyataan ini—bahwa cinta mereka, meskipun penuh dengan kesalahan, tetap sah bagi mereka.