Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga dengan Raka
Saat melangkah keluar dari mall, Mika yang sibuk dengan tas belanjaannya tanpa sengaja menabrak seseorang. Barang-barangnya terjatuh berserakan.
"Aduh, maaf!" Mika buru-buru berjongkok untuk mengumpulkan barang-barang belanjaannya. Saat ia mendongak, betapa terkejutnya dia melihat sosok yang familiar—Raka.
"Mika? Kau di sini?" Raka tersenyum lebar, langsung berjongkok untuk membantu membereskan belanjaan Mika.
"Aduh, aku bantu ya." Dengan cekatan, Raka memasukkan barang-barang Mika ke dalam tas belanja. Mika hanya bisa menatapnya, masih belum sepenuhnya percaya dengan pertemuan ini.
"Terima kasih, Rak," ucap Mika sambil menarik napas lega.
"Kamu sendiri di sini?" tanya Raka, matanya memancarkan perhatian tulus.
"Iya, habis belanja kebutuhan rumah," jawab Mika singkat.
Raka mengangguk, lalu dengan nada ringan, ia bertanya, "Eh, kamu tinggal di kawasan Citra Agung, kan?"
Mika terperangah, menatap Raka dengan bingung. "Kok kamu tahu?" tanyanya curiga.
Raka terkekeh kecil. "Aku lihat dari story Instagram kamu, yang waktu kamu post rumah baru itu. Kebetulan aku pernah datang ke rumah itu dulu, temanku waktu itu lagi nyari rumah di kawasan situ."
Mika terdiam sejenak, merasa sedikit canggung namun penasaran. Ia tak menyangka Raka masih begitu perhatian, meskipun mereka sudah lama tidak berhubungan
***
"Kamu betah tinggal di sana?" Raka bertanya dengan nada lembut, memastikan Mika nyaman dengan kepindahannya.
"Ya... lumayan," jawab Mika, berusaha terdengar santai meski pikirannya masih berkecamuk. "Tapi kadang rasanya aneh balik ke kota ini lagi."
Raka menatap Mika dengan penuh pengertian, seperti bisa merasakan perasaan yang Mika pendam. "Aku bisa paham. Pindah ke tempat yang punya banyak kenangan itu nggak gampang. Tapi kalau butuh teman ngobrol, kamu bisa hubungi aku kapan aja, ya."
Mika tertegun. Kata-kata Raka terdengar tulus, memberikan kenyamanan yang jarang ia temukan. Meski ia sedang menjalankan rencana balas dendam, keberadaan Raka tiba-tiba seperti sebuah oase di tengah kekacauan emosinya.
"Kamu masih seperti dulu ya, Rak. Baik dan perhatian," ucap Mika lirih, tanpa sadar tersenyum kecil.
Raka tertawa kecil, matanya tetap menatap Mika dengan lembut. "Kamu juga masih sama kok. Cuma sekarang tambah keren aja."
Mika tak bisa menahan senyumnya. Ada rasa hangat di dadanya, seolah sebuah beban sedikit terangkat.
Saat semua barang belanjaan sudah dibereskan, Raka berdiri dan menatap Mika dengan ragu sejenak. "Kamu mau aku anterin pulang?" tawarnya. "Belanjaanmu lumayan berat, lho."
Mika menggeleng lembut. "Aku nggak apa-apa, Rak. Tapi makasih, ya, kamu udah bantu."
Raka mengangguk, tapi masih belum ingin melepaskan momen itu. "Kita harus ketemu lagi, ya, Mik. Aku kangen ngobrol sama kamu."
Mika tersenyum samar. "Kapan-kapan, ya. Kalau aku ada waktu."
Raka menatapnya penuh harap, tapi tak mendesak. "Oke, aku tunggu."
Mika merasa terenyuh melihat sikap Raka yang begitu hangat dan penuh perhatian. Meskipun hatinya sedang dipenuhi ambisi balas dendam, kehadiran Raka membuatnya merasakan sesuatu yang ia kira sudah hilang—sebuah perasaan nyaman dan diterima.
"Hati-hati ya, Mik," ucap Raka sebelum beranjak pergi.
"Kamu juga, Rak." Mika tersenyum lembut, dan untuk sesaat, ia melupakan semua rencana licik yang telah ia susun.
***
Di dalam taksi, Mika menyandarkan tubuhnya ke jok belakang. Matanya menerawang keluar jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelebat. Pikirannya masih berkecamuk—pertemuan tak terduga dengan Raka tadi membawa kehangatan sekaligus kebingungan di hatinya.
“Kenapa dia selalu tahu caranya bikin aku merasa nyaman?” Mika bergumam dalam hati, merasa sedikit goyah.
Namun, lamunannya buyar ketika ponselnya bergetar di pangkuannya. Sebuah notifikasi masuk. Pesan dari Antony.
Antony Donavan:
“Hey, kau sudah selesai belanja? Mau ketemuan sekarang?”
Mika menatap layar ponselnya dengan ekspresi tak terbaca. Sebuah perasaan aneh menjalar di dadanya. Pesan dari Antony terasa seperti dorongan untuk kembali fokus pada rencana utamanya—balas dendam pada Dara dan menghancurkan kehidupan sempurnanya.
Ia mengetik balasan cepat.
Mika:
“Aku masih di jalan pulang. Kita bisa ketemu besok.”
Antony langsung membalas dalam hitungan detik, seolah tak sabar.
Antony Donavan:
“Besok? Oke. Aku tak sabar.”
Mika tersenyum tipis, senyuman penuh arti. Antony mungkin mengira dirinya sedang mengendalikan situasi, tapi Mika tahu persis siapa yang sebenarnya sedang bermain dengan api.
Setelah membalas pesan, Mika memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia merapikan rambutnya yang tergerai sambil menatap bayangannya sekilas di kaca jendela taksi.
“Aku akan pastikan kau semakin jauh dari keluargamu, Antony. Dan Dara akan merasakan sakit yang sama seperti yang dia berikan padaku dulu.” Tekadnya semakin bulat.
Taksi akhirnya berhenti di depan rumah Mika. Mika membayar ongkos dan membawa tas belanjaannya turun. Udara malam terasa dingin, tetapi tidak mampu mendinginkan hatinya yang sedang terbakar ambisi.
Mika masuk ke dalam rumah dan menutup pintu di belakangnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara langkah kakinya yang bergema. Ia merapikan belanjaannya dan menyalakan lilin aroma terapi di sudut meja.
***
Mika tahu pertemuan dengan Antony keesokan harinya akan menjadi momen penting. Ia harus tampil sempurna. Segala gerak-geriknya harus diperhitungkan agar Antony semakin terjebak dalam pesonanya.
Mika membuka lemari dan memilih gaun yang paling elegan namun menggoda. Gaun merah dengan potongan dada rendah, pas di tubuh, dan sederhana tapi mewah. Ia memandangi gaun itu dengan senyum licik di wajahnya.
“Aku akan membuatmu tergila-gila padaku, Antony,” bisiknya.