NovelToon NovelToon
Jejak Langkah Menuju Dunia

Jejak Langkah Menuju Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: avocado lush

Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya

Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Angin di Antara Rintangan

Hari-hari setelah peresmian kincir pertama di desa Jatiroto berjalan dengan penuh harapan, tetapi juga semakin banyak tantangan yang muncul. Meski proyek itu telah menghidupkan kembali semangat warga, Dina tahu perjalanan mereka masih jauh dari kata selesai.

Dua kincir angin lain yang direncanakan membutuhkan lebih dari sekadar semangat; mereka memerlukan kerja keras, teknologi, dan terutama dana yang mulai menipis. Dina duduk di ruang kerjanya yang sederhana, menatap layar laptop penuh angka-angka yang tak bersahabat.

“Anggarannya terlalu tipis,” gumamnya sambil mengusap wajah lelahnya.

Mira masuk membawa segelas teh hangat. “Aku tahu kamu pusing soal itu,” katanya, meletakkan gelas di meja Dina. “Tapi kalau kamu terus-terusan begini, masalahnya nggak bakal selesai. Kita perlu rencana baru.”

Dina menatap Mira, seolah mencari kekuatan dalam kehadiran sahabatnya itu. “Aku sedang mencoba mencari opsi tambahan pendanaan, Ra. Tapi lembaga donor mana yang mau mendanai proyek yang belum selesai? Belum lagi tenggat waktu mereka terlalu ketat.”

“Kalau begitu, kenapa nggak coba langsung libatkan warga lagi? Bukan cuma kerja fisik, tapi juga pendanaan. Mereka sudah melihat hasil kincir pertama, kan? Mungkin mereka mau bergotong royong untuk dua kincir berikutnya.”

Dina terdiam sejenak, mencerna ide itu. Warga memang telah banyak membantu, tetapi meminta mereka menyumbang dana bukan hal yang mudah. Kebanyakan dari mereka adalah petani dengan penghasilan yang pas-pasan.

“Aku khawatir membebani mereka terlalu banyak,” jawab Dina akhirnya.

Mira tersenyum tipis. “Mereka tidak akan merasa terbebani kalau mereka tahu ini untuk masa depan mereka juga. Cobalah, Din. Aku yakin mereka akan mendukung.”

 

Dina akhirnya memutuskan untuk menggelar pertemuan besar di balai desa. Semua warga diundang, termasuk tokoh masyarakat seperti Pak Karim dan Bu Ratna, yang sudah menjadi ujung tombak dalam mendukung proyek ini.

Di depan warga yang memenuhi ruangan, Dina membuka pembicaraan dengan hati-hati.

“Saya tahu, kita sudah melakukan banyak hal bersama. Kincir pertama telah berdiri, dan kita semua melihat manfaatnya. Namun, untuk melanjutkan pembangunan dua kincir berikutnya, kita menghadapi kendala anggaran yang cukup besar.”

Warga saling berpandangan, beberapa mulai berbisik-bisik. Dina melanjutkan, “Saya tidak ingin ini menjadi beban bagi kalian. Tapi saya ingin kita memikirkan cara untuk mendukung proyek ini bersama-sama. Mungkin melalui gotong royong tambahan, atau sumbangan sukarela, sekecil apa pun.”

Pak Karim berdiri, menarik perhatian seluruh ruangan. “Kita sudah melihat hasil kerja keras ini, Dina. Kalau kamu butuh dukungan, kami siap membantu. Bahkan kalau harus menyisihkan sedikit dari penghasilan kami, kami akan lakukan.”

Suaranya diikuti oleh anggukan warga lain. Bu Ratna menambahkan, “Ini bukan sekadar proyek, Dina. Ini masa depan anak-anak kita. Kami akan berkontribusi sebisa kami.”

Dina merasa lega sekaligus terharu. Dukungan itu memberinya kekuatan baru untuk melanjutkan proyek ini.

 

Beberapa hari kemudian, warga mulai menyisihkan hasil panen, sebagian kecil tabungan, atau barang yang bisa dijual untuk mendukung pembangunan. Tidak hanya itu, mereka juga membuat acara penggalangan dana, seperti pasar malam dan pertunjukan seni tradisional.

Pak Samad, dengan kecapinya, menjadi salah satu daya tarik utama di pasar malam itu. Suara kecapinya mengundang banyak pengunjung dari desa-desa sekitar. Uang yang terkumpul tidak hanya membantu menutupi biaya, tetapi juga mempererat ikatan warga.

Armand, insinyur utama proyek, kagum dengan apa yang terjadi. “Saya belum pernah melihat semangat komunitas seperti ini. Dina, kamu benar-benar berhasil menyatukan mereka.”

“Ini bukan karena saya,” jawab Dina sambil tersenyum. “Ini karena mereka percaya pada mimpi ini.”

 

Pembangunan kincir kedua dimulai dengan semangat baru. Warga dan tim teknis bekerja bahu-membahu, melawan panas matahari dan lelahnya hari-hari panjang. Namun, di tengah proses itu, hujan deras yang tiba-tiba mengguyur desa menjadi tantangan besar.

“Akses ke lokasi lumpuh total,” lapor salah satu pekerja.

Dina dan Armand segera memeriksa lokasi. Jalan menuju lokasi pembangunan berubah menjadi kubangan lumpur yang mustahil dilalui kendaraan pengangkut material.

“Kita tidak bisa menunggu sampai hujan berhenti. Ini akan memakan waktu terlalu lama,” ujar Armand.

Dina menatap jalanan berlumpur itu, berpikir keras. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbicara langsung kepada warga.

“Saya tahu ini sulit,” katanya di depan kelompok pekerja dan warga yang berkumpul di balai desa. “Tapi kalau kita tidak menemukan cara untuk membawa material ke lokasi, proyek ini bisa tertunda lebih lama.”

Pak Karim, seperti biasa, menjadi yang pertama menawarkan solusi. “Kalau kendaraan nggak bisa lewat, kita angkut barangnya secara manual. Kita gotong bersama-sama.”

Warga setuju tanpa ragu. Selama beberapa hari berikutnya, mereka membentuk barisan panjang, membawa material satu per satu ke lokasi pembangunan. Meski melelahkan, semangat gotong royong itu tidak pernah pudar.

 

Akhirnya, setelah berminggu-minggu kerja keras, kincir kedua berhasil berdiri. Baling-balingnya mulai berputar di bawah terpaan angin sore, disambut sorak sorai warga yang hadir. Dina merasa lega, tetapi ia tahu, tantangan terbesar masih menanti mereka: kincir ketiga, yang terletak di lokasi paling sulit.

Sambil berdiri di bawah bayangan kincir kedua, Dina menghela napas panjang. Mira mendekatinya, membawa sebotol air.

“Kamu hebat, Din,” katanya.

Dina tersenyum kecil. “Kita semua hebat, Ra. Tapi ini belum selesai.”

Mira menepuk bahu Dina dengan lembut. “Kamu akan menyelesaikannya, seperti yang selalu kamu lakukan.”

Dina menatap kincir yang berputar dengan mantap, merasa bahwa perjalanan mereka, meski penuh rintangan, akan membawa angin baru untuk masa depan desa. ***

Setelah keberhasilan kincir kedua, perhatian Dina langsung terfokus pada tantangan terakhir: membangun kincir ketiga di atas bukit curam. Lokasi itu memang menjanjikan hasil energi terbaik, tetapi aksesnya yang sulit dan kondisi tanah yang rawan longsor membuat semua pihak harus berpikir dua kali.

Pagi itu, Dina, Armand, dan beberapa tokoh warga seperti Pak Karim mendaki ke puncak bukit untuk memetakan rencana pembangunan. Udara di atas bukit lebih sejuk, tetapi medannya penuh batu dan tanah gembur.

“Kalau kita mulai menggali fondasi di sini, risiko longsornya terlalu tinggi,” ujar Armand sambil memeriksa tanah dengan alat pengukur.

Pak Karim mengangguk setuju. “Kami bisa bantu memperkuat jalur, tapi ini perlu strategi khusus. Kalau sampai longsor, materialnya bisa menutup jalan utama ke desa.”

Dina memandang bukit itu dengan penuh pertimbangan. Ia tahu bahwa memindahkan lokasi bukan pilihan, karena bukit ini adalah titik terbaik untuk menangkap angin.

“Kita harus menemukan cara untuk memperkuat struktur tanah sebelum pembangunan dimulai,” katanya akhirnya.

Armand berpikir sejenak, lalu mengusulkan metode sederhana menggunakan jaring baja untuk menahan tanah. Namun, metode ini membutuhkan waktu lebih lama dan tambahan dana.

Dina menghela napas. “Kita tidak punya banyak pilihan. Aku akan bicara dengan warga soal ini.”

 

Malamnya, balai desa kembali dipenuhi warga. Kali ini, suasana terasa lebih serius. Dina menjelaskan rencana untuk memperkuat bukit sebelum pembangunan dimulai.

“Saya tahu ini akan memakan waktu lebih lama dan tenaga lebih banyak dari kalian,” ujar Dina dengan nada penuh empati. “Tapi saya yakin, kalau kita bekerja sama, kita bisa menyelesaikan ini tanpa membahayakan desa.”

Pak Karim berdiri, wajahnya penuh keyakinan. “Kami sudah sampai sejauh ini, Dina. Tidak ada alasan untuk menyerah sekarang. Kalau kami harus membawa jaring baja itu ke atas bukit sendiri, kami akan lakukan.”

Dukungan Pak Karim disambut tepuk tangan meriah dari warga lain. Dina merasa matanya sedikit berkaca-kaca.

“Makasih, semuanya. Ini bukan tentang saya, tapi tentang kita semua. Kalau kita berhasil, ini akan menjadi warisan terbesar untuk anak-cucu kita.”

 

Hari-hari berikutnya dipenuhi kerja keras. Warga dan tim teknis bekerja sama membawa gulungan jaring baja dan material lain ke puncak bukit. Jalan setapak diperbaiki agar lebih aman, dan setiap warga diberi peran sesuai kemampuan mereka.

Namun, di tengah semua kesibukan, hujan deras kembali mengguyur desa. Jalur menuju bukit berubah menjadi licin, dan sebagian besar material tertahan di kaki bukit.

Dina berdiri di bawah payung, memandang jalan berlumpur itu dengan raut cemas. Mira datang menghampirinya, membawa jaket tebal.

“Kamu nggak bisa terus berdiri di sini, Din. Kamu bakal sakit,” kata Mira.

“Aku nggak bisa diam, Ra. Kita nggak bisa berhenti sekarang. Kalau hujan ini terus berlanjut, proyek ini akan tertunda lagi.”

Mira menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran. “Kita bisa cari solusi. Kamu selalu menemukan cara.”

Dina berpikir sejenak, lalu mendapatkan ide. Ia segera mengumpulkan tim dan warga yang masih ada di lokasi.

“Kita perlu memindahkan material itu sekarang, sebelum lumpurnya makin parah,” ujar Dina tegas. “Tapi kali ini, kita gunakan pengangkutan berantai. Kita buat jalur manusia dari kaki bukit sampai ke puncak.”

Warga awalnya ragu, tetapi melihat semangat Dina, mereka segera setuju. Dalam hujan deras, mereka membentuk barisan panjang, saling mengoper material dari tangan ke tangan. Suara tawa kecil mulai terdengar di antara kelelahan mereka, menciptakan suasana hangat meski tubuh mereka basah kuyup.

 

Akhirnya, setelah berminggu-minggu kerja keras, fondasi untuk kincir ketiga selesai dibangun. Bukit itu kini diperkuat dengan jaring baja dan sistem drainase yang mencegah longsor.

Pembangunan kincir dimulai, dengan baling-baling besar dipasang secara perlahan. Hari itu, langit cerah dan angin bertiup lembut, seolah memberikan dukungan bagi perjuangan mereka.

Ketika kincir ketiga akhirnya berdiri tegak, sorak-sorai warga terdengar hingga ke desa. Dina berdiri di puncak bukit bersama Armand dan Mira, menatap baling-baling yang mulai berputar.

“Kita berhasil,” kata Dina dengan suara hampir berbisik.

Mira merangkul bahu Dina. “Aku selalu tahu kamu bisa, Din.”

Armand menatap Dina dengan senyum penuh kekaguman. “Tidak banyak orang yang bisa memimpin seperti kamu. Ini semua berkat tekad dan hati kamu yang besar.”

Dina hanya tersenyum kecil. Baginya, keberhasilan ini bukan miliknya seorang, tetapi milik seluruh desa Jatiroto.

 

Malam itu, balai desa dipenuhi cahaya lampu dan suara tawa warga. Mereka merayakan keberhasilan mereka dengan makan bersama, musik, dan tarian. Dina, meski lelah, merasa dadanya hangat melihat semua orang bahagia.

Di sudut ruangan, Pak Karim berdiri dan mengangkat gelasnya.

“Kita tidak hanya membangun kincir angin. Kita membangun masa depan. Terima kasih untuk Dina dan semua yang bekerja keras untuk ini. Mari kita rayakan kerja keras kita!”

Sorak-sorai mengiringi pidato singkat Pak Karim. Dina menatap ke arah baling-baling kincir yang terlihat dari balai desa, merasa bahwa perjalanan panjang ini telah membuahkan hasil yang manis.

Tiga kincir angin itu kini menjadi simbol harapan dan kekuatan komunitas, bukti bahwa dengan kerja sama dan tekad, mimpi sebesar apa pun bisa menjadi kenyataan. ***

1
Sisca Audriantie
good keren banget😊
avocado lush: terima kasih /Pray//Whimper/
total 1 replies
elayn owo
Gak bisa berhenti baca deh! 🔥
ADZAL ZIAH
semangat menulisnya ya kak ❤ dukung juga karya aku
avocado lush: makasih kak dukungan nya /Heart/ siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!