"Assalamualaikum, boleh nggak Alice masuk ke hati Om dokter?" Alice Rain menyengir.
Penari ice skating menyukai dokter yang juga dipanggil dengan sebutan Ustadz. Fakhri Ramadhan harus selalu menghela napas saat berdiri bersisian dengan gadis tengil itu.
Rupanya, menikahi seorang ustadz, dosen, sekaligus dokter yang sangat tampan tidak sama gambarannya dengan apa yang Alice bayangkan sebelumnya.
Happy reading 💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dokus ngapain?
"Kado untuk siapa, Lice?"
Malam ini Alice mengemas sebuah kado berisi tas cantik branded yang dulu pernah Alice beli dengan uang Daddy Sky.
Tak pernah dipakai sekalipun, maka Alice pikir, ini akan lebih bermanfaat jika dihadiahkan kepada seseorang saja.
Di sofa putih tulang, Widya duduk di sisi menantunya. Barusan mereka menyelesaikan shalat isya secara bergantian.
"Ini... Buat Tante Lala."
Sudah lima tahun terakhir, Tante Lala menjadi bagian dari perusahaan yang dipimpin Daddy Sky, dan Alice selalu beri kado saat Tante Lala berulang tahun.
"Ibu ulang tahunnya kapan?" Alice lalu bertanya pada ibu mertuanya, yang ternyata tampak berpikir bingung.
"Kapan, ya? ... Ibu lupa."
Alice tertawa, jaman sekarang masih ada yang bahkan tak mengingat tanggal dan tahun lahirnya sama sekali. "Emang Dokus Alice nggak pernah kasih selamat ulang tahun buat Ibu?"
"Mana ada seperti itu," sanggah Widya, sembari tertawa. "Suamimu terlalu kaku!"
Setuju, Fachry memang kaku. "Nggak apa apa deh. Nanti, Alice yang kasih surprise buat Ibu kalo Alice udah tahu kapan ibu ultah."
Widya menepuk paha Alice. "Begini ni senengnya punya anak cewek, hangat, ibu jadi nggak merasa kesepian."
Alice lalu menyengir, dia yang lebih bersyukur karena ibu mertuanya benar- benar bisa menjadi ibu yang baik baginya.
"Tante Lala siapa?" Widya penasaran.
"Sekretaris pribadi Daddy," jawab Alice.
Tadinya Alice ingin sekali menjodohkan Daddy Sky bersama Tante Lala, tapi sayang, Daddy Sky justru berhubungan dengan Kasih, kakaknya Cinta si cunguk jelek di kampus!
"Pasti sekretaris pribadi Daddy mu bahagia sekali bisa dapat kejutan spesial dari anak bos-nya, Nduk."
Alice tersenyum. "Tante Lala, baik. Alice suka. Oya, ... Ibu kan shalihah, tolong ikutan doain, biar Daddy Alice berjodoh sama Tante Lala ya."
"Aamiin." Widya lalu menatap layar ponsel Alice yang menampilkan foto Sky Rain si hot Daddy.
"Tapi kalau lihat foto Daddy mu, ... ibu juga mau jadi jodohnya!" tawa Widya, lalu Alice pun ikut terkakak bersamaan.
"Jangan," larang Alice. "Di dunia ini. Nggak ada yang bisa tahan berdekatan sama Daddy Sky selain Tante Lala!" cetusnya.
...🎬🎬🎬...
🎬🎬🎬
^^^🎬🎬🎬^^^
Fachry sempat menolak ajakan makan malam dadakan sang mertua. Bukan tidak sopan, tapi jadwalnya memang padat sekali.
Maka, Dominic menjadwalkan makan malam untuk malam esoknya. Dan Fachry setuju dengan usulan Dominic.
Fachry pulang pukul satu pagi, tidak terlalu pagi sebenarnya. Karena biasanya, hampir jam tiga pagi, Fachry baru tiba di rumah.
Masuk ke dalam kamar, Fachry lihat, Alice sudah terlelap. Dari sisi ranjang, Fachry sempat menatap wanita itu sebentar sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi.
Tak lama dia keluar, sudah bersih, sudah mengganti pakaian, bahkan Fachry sudah siap untuk tidur. Tapi, ketika tangannya beranjak menyingkirkan selimut, matanya terpatri pada kulit punggung Alice.
Ternyata, malam ini Alice mengenakan pakaian seksi. Sial, Fachry jadi harus menelan liurnya secara tercekat. Kening lalu mengerut karena tiba- tiba saja celananya mengetat.
"Huhh!"
Gampang sekali dia bangun, Fachry saja benci pikiran mesumnya setelah menjadi suami Alice Aurora Princess Rain.
Fachry paham apa yang dirinya mau, sudah pasti punggung mulus Alice, bibir mungil Alice, leher jenjang Alice, bahkan desah dan semua yang ada pada Alice. Fachry ingin menyentak gadisnya kuat- kuat.
Fachry tak jadi bergabung dalam selimut tebal merah muda, Alice. Pria itu tak mau mengganggu istrinya, maka yang dia lakukan, lekas bangkit dan mendatangi sofa.
Duduk sebentar, mengatur napas, menelan cukup banyak saliva. Mencoba menenangkan pikiran dengan menatap langit- langit kamar.
Sebelum, Fachry bangkit lagi dan beranjak keluar dari kamar setelah merasa gagal untuk mengatasi hasratnya sendiri.
Fachry yakin Fachry bisa melewati malam ini tanpa menggangu, Alice. Di depan pintu kamar Fachry mulai berjalan mondar- mandir.
Itu dia lakukan untuk mengurangi serangan gejolak yang menguasai dirinya. Cukup lama, sampai ia tak merasa cukup dengan berjalan mondar- mandir, Fachry menaiki dan menuruni anak tangga pada akhirnya.
Berulang kali dilakukan, berharap tubuhnya lelah dan tidak lagi berhasrat. Tongkat yang mengeras, ingin dia lembek-kan semula.
Fachry harus bisa! ... Yah, ... Bisa! Fachry berlari naik turun anak tangga. Kadang juga sit-up, push-up, bahkan melompat- lompat di tempat.
"Dokus ngapain?!"
"Hah?!" Fachry sontak menoleh. Lima kali naik turun anak tangga, suara Alice berhasil mengalihkan atensinya.
"Dokus kok olah raga di sini?" Alice mendekat sambil menggaruk kepalanya, bukan terlihat jelek, justru sangat cantik, apa lagi jika sambil mendesah dengan rambut acak- acakan.
Ya Tuhan, pikiran Fachry sudah mulai bersih kini dikotori kembali. "Udah jam berapa ini?"
Fachry tak bisa menjawab. Tidak, Fachry berangsur turun, lalu berlari masuk ke dalam kamarnya semula, bahkan berlanjut hingga ke kamar mandi, sengaja tak hiraukan, Alice.
Alice mengekor di belakang meski cukup bingung dengan hidup suaminya. Fachry lantas masuk ke bathtub untuk berendam di air yang bisa dikatakan sangat amat dingin.
Ditanya berulang, jawabannya selalu tidak apa- apa dan menyuruh tidur. "Ya udah Alice tunggu di luar ya, Dok?" Fachry menjawabnya dengan bergumam.
Setelah lama berendam di air dingin, Fachry cukup tenang, dia ambil handuk kembali lalu keluar dari kamar mandi. Bukannya tidur lagi, Alice malah menunggunya dengan busana yang lebih seksi.
Transparan, hitam, berenda. "Kamu nggak masuk angin pakai baju begitu?" tegurnya.
Alice menyengir, lalu mengalungkan tangan di tengkuk leher suaminya. "Dari pada masuk angin. Mending masuk suami."
Fachry menghela napas. Istrinya suka sekali menggoda, tapi ketika Fachry menunjukkan aslinya yang beringas, Alice bicara yang tidak- tidak.
"Masih ada waktu buat tidur sebelum subuh, sekarang tidur lagi." Fachry meraih satu stel pakaian tidur dari lemari kemudian duduk di sofa bahkan memboyong selimutnya.
Melihat itu, Alice manyun. "Dokus kok nggak tidur sama Alice?" Jujur, Alice tersinggung.
Namun, tetap mendekat, bahkan duduk di atas pangkuan suaminya. "Tidur, Sayang...," titah Fachry.
"Alice sudah pake baju begini, masa disuruh tidur lagi sih?!" tolak Alice. Sengaja ia pesan baju ini untuk sambut suaminya, juga berpose seperti wanita malam.
"Memang mau ngapain?"
Fachry mendesah kala Alice menghentak miliknya sambil membetulkan posisi duduknya. Memang miliknya sudah cukup keras makanya cepat sekali bereaksi.
Alice memiringkan rambut, menunjukkan leher jenjang mulusnya. "Alice mau dimasukin biar nggak masuk angin," bisiknya.
"Enggak!"
Fachry mendorong, dia bertekad untuk tidak memintanya. Seberapa pun ingin yang dia rasakan malam ini, tidak akan tergoda!
"Kenapa?!" Alice manyun. Biasanya, Fachry gerak cepat, meski hanya raba kecilnya saja, tapi malam ini cukup alot sekali dilumpuhkan.
"Nanti dibilangnya, Mas pulang cuma buat nidurin istrinya doang!" sindir Fachry.
Alice tahu Alice keterlaluan, kemarin dia memang beranggapan begitu karena belum bisa paham waktu Fachry. Ternyata bukan tidak mau mengurangi, hanya saja belum bisa dikurangi, tidak dan belum itu berbeda.
sdh duluan baca Alhambra