Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tiga - Katakan Kamu Mencintaiku
Naura semakin geram, sudah satu bulan Adrian masih saja menolak dirinya untuk bercinta. Adrian sering pulang ke rumahnya, akan tetapi pria itu sama sekali tidak mau menyentuh Naura. Tidak ada hasrat pada Naura lagi, entah kenapa Adrian merasakan hal seperti itu, padahal tubuh Naura sangat indah, mungkin di luar sana banyak sekali laki-laki yang ingin menjamah tubuh indah Naura, tapi Adrian sama sekali sudah tidak ada rasa dengan Naura, sedikit pun tidak bangkit bagian inti tubuhnya saat melihat Naura telanjang bulat di depannya. Entah mengapa bisa seperti itu, Adrian pun tidak tahu.
Asyifa benar-benar mengalihkan dunianya, yang Adrian rindukan setiap hari adalah Asyifa, yang selalu bisa mengerti dirinya, menentramkan kegundahan hatinya. Bukan Naura lagi, tapi Asyifa.
Adrian kembali ke ruang kerjanya setelah meeting selesai. Ia sudah ingin cepat-cepat pulang ke rumah Asyifa. Merindukan makan siang bersama yang kemarin terlewati karena dirinya harus menyelesaikan pekerjaan di luar kantor sampai sore hari. Saat masuk ke dalam ruangannya, ia terkejut karena sudah ada Maya di dalam sana sedang duduk di kursi kebesarannya.
“Ra, sejak kapan kamu di sini?” tanya Adrian.
“Sudah satu jam yang lalu, Mas,” jawab Naura.
“Aku mau keluar, ada pekerjaan di luar, kamu bisa pulang!”
Naura mengangkat bahunya, bisa-bisanya Adrian berkata seperti itu padanya. Bukannya menyambut kedatangan Naura dengan mesra, seperti saat dulu, ketika Naura menyusulnya ke kantor Adrian langsung bersikap hangat dan mesra, bahkan mereka selalu bercinta di dalam ruangan Adrian sampai melepaskan semua hasrat yang sudah menggebu.
Naura beranjak dari duduknya, ia mendekati Adrian, menarik dasi Adrian, lalu memiringkan kepalanya untuk mengecup benda kenyal tak bertulang favoritnya. Naura menyesap dan melumat bibir Adrian dengan penuh gairah membara, namun Adrian malah menjauhkan tubuh Naura.
“Kenapa? Lama kita tidak begini, Mas? Lama juga kita tidak bercinta di siang hari, di dalam sini, apa kamu tidak rindu? Aku kangen seperti ini, Sayang ...,” ucap Naura dengan tatapan mengembun menahan gejolak hasrat yang sudah menumpuk lama.
“Aku belum Shalat, tolong jangan seperti ini! Aku juga sedang tidak ingin bercinta denganmu, Naura,” jawaban Adrian benar-benar menohok, hingga Naura berpikir kurang apa dirinya di depan mata Adrian, sampai-sampai Adrian bilang tidak ingin bercinta dengannya.
“Oh begitu? Apa karena sudah ada perempuan udik kampungan itu?” sarkas Naura.
“Dia namanya Asyifa, bukan perempuan kampungan! Aku sedang tidak ingin berdebat dengan kamu! Aku mau ke masjid!” Adrian bergegas mengambil kunci mobilnya dan pergi meninggalkan Naura.
Naura sudah membuat Adrian muak, setiap sentuhan yang Naura berikan di tubuh Adrian, bukannya membuat Adrian terangsang dan ingin segera bercinta dengan Naura, tapi muak dan marah yang Adrian rasakan, hingga sampai tegang pun Adrian ingin menuntaskannya dengan penuh amarah seperti saat siang itu di kamar mandi.
“Sial! Kenapa Adrian seperti ini? Apa kurangku? Dulu disentuh sedikit saja langsung menjamah tubuhku, dan kami sama-sama memuaskan. Sekarang Adrian selalu menolakku, entah ini penolakan ke berapa kamu, Mas! Aku pastikan kamu akan menyentuhku lagi, dan kamu akan jadi milikku lagi!” gumam Naura dengan mengepalkan tangannya.
Adrian benar ke Masjid yang dekat dengan kantornya, ia tidak bohong dengan Naura, karena Naura lihat sendiri mobil Adrian di sana, dan juga lihat Adrian sedang mengobrol dengan seorang pria di teras Masjid. Adrian terlihat begitu tampan dan bersih sekali wajahnya, ditambah memakai baju koko dan sarung, membuat Adrian semakin terlihat sempurna sebagai seorang Muslim. Naura melihat Adrian dengan tersenyum bangga, memiliki suami yang begitu taat sekarang, akan tetapi dia kecewa sekali dengan sikap Adrian yang terus menolak dirinya.
“Apa sudah hilang hasratmu ke aku, Mas? Apa aku harus menjadi seperti Asyifa? Yang membuatmu terus bergairah? Tidak, aku adalah Naura bukan Asyifa. Aku punya cara sendiri untuk membuat Adrian kembali padaku!” batin Naura.
**
Adrian pulang ke rumah Asyifa, seperti yang ia janjikan pada Asyifa, kalau siang ini ia akan makan siang di rumah Asyifa. Bukan makan siang saja, Adrian juga rindu dengan tubuh Asyifa yang sudah membuatnya candu.
Sedangkan Naura, ia memilih berkumpul dengan geng sosialitanya. Panggilan Lena malah membuat dirinya lupa untuk mengikuti Adrian pergi. Kehilangan jejak Adrian yang sudah entah ke mana. Hingga ia memutuskan untuk berkumpul dengan teman-temannya di cafe.
“Kenapa murung gitu, Raa?” tanya Desti.
“Sejak aku pulang dari Paris, Adrian belum menyentuhku, Des. Apa dia sudah tidak mau lagi menyentuhku karena sudah ada Asyifa?” tanya Naura dengan mata mengembun.
“Ra ... kok bisa begitu? Rudi malah sekarang sudah mulai bucin lagi lho sama aku, meski dia menikahi sah Linda? Ya dia menerima aku yang tidak mau hamil, dia mengerti aku yang gini, Ra? Kenapa Adrian seperti itu?”
“Aku gak tau, Des,” jawabnya lesu.
“Aku ada ide! Dan, ide ini bakalan berhasil deh!” pekik Nina.
“Apa, Ni ?” tanya Desti dan Naura bersamaan.
“Sini aku bisikin!”
Nina membisikkan idenya itu pada Naura dan lainnya. Semua menyetujui ide Nina, dan mereka yakin ide itu akan berhasil membuat Adrian bertekuk lutut pada Naura lagi.
“Enggak! Aku gak mau gitu!” tolak Naura.
“Terus maunya apa, Ra? Itu jalan satu-satunya!” ujar Dini.
“Udah ah, mau pulang saja, aku akan pikirkan ini sendiri!” ucap Naura sambil cabut untuk pulang.
Naura bahkan berpikir ia harus seperti Asyifa, yang mau menerima benih suaminya. Ia berpikir untuk berhenti meminum pil penunda kehamilannya, dan memulai pola hidup sehat, supaya ia bisa hamil, dan disentuh Adrian.
“Mungkin dengan cara ini Mas Adrian akan luluh denganku lagi, kalau tidak bisa juga, aku terpaksa memakai ide Nina,” ucap Naura dalam hati.
Naura akhirnya ke rumah sakit untuk konsultasi dengan Dokter Obgyn. Dia terpaksa melakukan itu, demi Adrian supaya mau bersamanya lagi. Dia tidak mau Adrian sampai mencintai Asyifa, dan meninggalkan dirinya.
**
“Ahh ... Kamu selalu membuatku ingin lagi dan lagi, Sayang ... Kau nyaman dengan seperti ini?” tanya Adrian dengan napas terengah, sambil menghujam inti tubuhnya dari bawah pada inti Asyifa.
“I—ini sungguh nikmat, Pak. Ahhh ... aku mau pipis lagi, Pak!” pekik Asyifa dengan tubuh meliuk-liuk di atas Adrian.
“Tahan dulu, Sayang!”
Adrian membalikkan posisinya, ia menguasai Asyifa, memberikan hujaman yang Asyifa sukai. Asyifa menikmati permainan siang ini. Entah sudah berapa kali Asyifa sampai pada puncaknya di satu permainan saja.
Mereka mencapai puncak bersama, bermandi peluh kenikmatan yang setiap hari ia rindukan.
“Aku mencintaimu, Asyifa,” bisik Adrian seusai permainannya.
“Pak, lebih baik kita bersih-bersih yuk? Bapak mau ada rapat, kan?” ucap Asyifa mengalihkan pembicaraan.
“Fa, kenapa sih kamu selalu mengalihkan pembicaraan kalau aku sedang mengungkapkan apa yang aku rasakan ke kamu?” tanya Adrian.
“Tidak usah saya jawab, Bapak pasti tahu jawabannya,” jawab Asyifa.
“Karena Naura dan perjanjiannya?” tanya Adrian.
“Ya, lebih tepatnya itu. Saya tidak mau melanggar perjanjian, dan saya tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan Mbak Naura padaku,” jawab Asyifa.
“Aku yakin kamu mencintaiku, Fa!”
“Itu menurut bapak, belum tentu saya merasakannya, Pak. Sudah yuk mandi, Pak,” ajak Asyifa.
“Apa gunanya kamu melakukan semuanya untukku setiap hari, Fa? Kamu masak, kamu siapkan semua kebutuhanku, baik kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan batin yang selalu kita nikmati bersama! Tidak mungkin kamu melakukan itu semua tapi tidak ada rasa untukku!”
“Saya melakukan semua ini karena kewajiban saya sebagai istri, dan saya di sini karena saya bekerja, saya dibayar Mbak Naura untuk memberikan anak pada Bapak,” ucap Asyifa.
“Katakan padaku, kamu mencintaiku tidak, Asyifa?” tanya Adrian.
“Tidak, Pak. maaf!” jawab Asyifa tegas, namun hatinya seperti tersayat-sayat.
Ia takut mengatakan kalau dirinya mencintai Adrian. Ia takut akan mengecewakan Naura. Meskipun Naura memang salah, akan tetapi Asyifa memaklumi dan menghargai keputusan Naura yang tidak mau hamil.
**
Adrian pulang ke rumah Naura, karena Naura memintanya untuk segera pulang. Naura ingin sekali memberitahukan kalau dirinya sudah tidak minum obat penunda kehamilan lagi, dan mengikuti program hamil.
“Maksudmu apa?” tanya Adrian.
“Aku sudah siap untuk hamil, aku sudah tidak meminum pil itu lagi, Mas. Aku sedang program hamil, sentuhlah aku malam ini, Mas Adrian,” pinta Maya dengan suara manja.
“Aku gak akan menyentuhmu!” tolak Adrian dengan berjalan mundur menjauhi Naura.
“Kenapa Mas?”
“Aku tidak ada rasa lagi denganmu!”
Seketika air mata Naura luruh. Ia mendengar penolakan suami tercintanya, serta mendengar suaminya yang sudah tidak lagi ada rasa dengannya.
“Semua sudah terlambat, Ra!”
Adrian meninggalkan Naura, ia tidak mau menyentuh Naura lagi. Adrian tidak munafik, dia memang sudah tidak ada rasa dengan Naura, bahkan cintanya pada Naura pun entah seperti apa sekarang bentuknya.
“Mas Adrian! Aku tidak akan membiarkanmu pergi bersama perempuan itu!” pekik Naura dengan menangis meraung.