Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 03 - Pertama
Malam pertama tanpa menyentuh, tidur pun berjarak dengan guling yang berada di antara mereka. Sean tampak lelap, dia tertidur nyenyak seakan benar-benar betah di rumah ini. Udara dingin dan suasana yang begitu berbeda mungkin menjadi alasannya.
Kumandang azan hampir selesai, dan ini adalah kali ke-sembilan Zalina memanggil namanya. Wanita itu menghela napas panjang, apa mungkin tidak pernah bangun subuh hingga sesulit ini.
"Mas ... bangun, azannya hampir selesai."
Meski sempat dilarang memanggil dengan sebutan Mas, Zalina tetap melakukannya. Dia merasa kurang sopan saja memanggil Sean hanya dengan nama, terlebih lagi dia tahu usia mereka terpaut cukup jauh.
"Bisa-bisanya dia nyenyak begini," tutur Zalina menghela sejenak berhenti.
Bisa dipastikan laki-laki yang ada di rumah ini sudah keluar rumah untuk menunaikan shalat subuh. Khawatir jika Sean tertinggal dan justru membuatnya dipandang buruk semua, Zalina berusaha sekeras itu untuk membuka mata pria tampan ini.
Ganteng, Al-Fatihah saja tidak bisa, Abi ... mau jadi apa Zalina nanti?
Sedih, Zalina mengingat perkataan kakak kandungnya. Bukan karena hal itu adalah fakta, tapi dia hanya tidak bisa terima Sean dipandang sekecil itu. Terlebih lagi jika dia melihat bagaimana tenangnya wajah Sean di saat tidur, rasa bersalah seakan muncul begitu saja dalam benak Zalina.
"Mas ... Sean, bangun."
"Eeuungh nanti, Ma."
Zalina meneguk salivanya susah payah kala mendengar lenguhan Sean. Sentuhan di wajahnya berhasil membuat pria itu sedikit terganggu, kini Zalina kembali mengulanginya walau jujur saja hatinya tak karu-karuan melihat Sean yang memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Rengekan itu terdengar sedikit manja, hanya sedikit.
"Bangun, Mas ... nanti Abi cariin, buka matanya."
Sean mengerjap pelan, hidup segan mati tak mau dan matanya memang benar-benar betah seakan enggan terbuka. Dia menguap lebar dan sejenak merenggangkan ototnya. Namun, bukannya menuruti kemauan istrinya untuk bangun, Sean justru kembali menarik selimut untuk menutupi wajahnya.
"Astaghfirullah, aku pikir bangun."
Melihat Sean yang seperti ini, Zalina seakan mengingat para santri yang biasanya baru masuk ke pesantren selama satu hari. Ya, persis begini, dan tentu saja bagi seorang Zalina hal ini sudah biasa terjadi ketika awal tahun ajaran baru.
"Mas, bangun ... shalat nanti keburu siang."
Tidak punya cara lain, terpaksa Zalina membuka selimutnya hingga menampilkan wajah Sean yang kini memelas karena terpaksa membuka mata. Dia menatap Zalina dengan tatapan tak terbaca, ngantuk dan kesal tampaknya menyatu di dalam sana.
"Shalat subuh, azannya sudah selesai tuh."
Kapan terakhir Sean melakukan itu, selama kembali ke rumah orang tuanya Zia memang kerap memaksa bangun pagi-pagi untuk menunaikannya. Namun, sama sekali tidak Sean turuti dan biasanya hanya berakhir dengan menggelar sajadah kemudian tidur di atasnya.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Sean memang benar-benar bangun dan menuruti kemauan sang istri. Meski jujur airnya dingin dan membuat Sean benar-benar ingin lari, pria itu tetap mencuci wajahnya lebih dahulu.
"Wudhu sekalian?"
Dia lupa urutannya, lupa juga niatnya dan apa sebenarnya yang Sean bisa. Dia memang pernah melakukan semua ini, hanya saja dia yang memang lalai mungkin Tuhan biarkan terlena hingga pria itu benar-benar dibuat dibuat lupa.
"Baca niat dulu."
Suara Zalina tiba-tiba membuyarkan lamunan Sean, dia menoleh dan menatap bingung lantaran sang istri tiba-tiba mendekatinya.
"Awalnya bagaimana? Apa cukup bismillah saja?"
Dia tidak berbohong, memang benar-benar tidak bisa mengingatnya. Meski ini sedikit memalukan, tapi Sean lebih baik jujur karena nanti akan lebih malu lagi. Tanpa Sean duga, tidak ada gelak tawa atau meremehkan dari Zalina.
Wanita itu membimbingnya pelan-pelan. Lidah Sean juga yang kaku dan membuatnya mengulang kesekian kali tidak membuat Zalina lelah sepertinya. Di posisi ini, Sean kembali mengingat masa kecilnya dalam bimbingan Zia, sayangnya semua itu hilang begitu saja.
"Kanan, Mas ... itu kiri."
Sejak tadi sabar, pada akhirnya tertawa juga kala Sean justru salah membasuh kakinya. Sudah ditahap akhir dan dia salah, baru kali itu Sean melihat istrinya tertawa hingga mata Zalina hanya segaris begitu.
"Baiklah, aku ulang kalau begitu."
Wudhu pertama setelah sekian lama permukaan kulitnya tidak dibasuh dengan nama sang pencipta. Sean pikir masalahnya sudah selesai, akan tetapi tampaknya belum karena kini dia menatap Zalina sudah menyiapkan sarung dan baju koko di atas tempat tidur.
"Laki-laki shalatnya di mushola," tutur Zalina yang membuat wajah Sean mendadak suram. Membayangkan bagaimana dia di sana saja Sean gugup.
"Harus ya?"
"Iya, kan dekat ... cuma jalan sedikit."
Baiklah, Sean kembali menurut. Walau langkahnya ke sana benar-benar berat lantaran khawatir semakin terlihat bodohnya, Sean tidak akan kabur dari tanggung jawab.
Ditempatkan di posisi ini, dunia Sean benar-benar berbalik dan sulit menyusaikan diri. Apa lagi, ketika melihat yang ada di mushola tidak hanya satu atau dua orang, melainkan banyak.
Wajahnya terlihat tenang, tapi jujur saja hatinya kini berkecamuk. Tidak ada yang dia kenal di sini, Sean hanya sendiri karena setelah akad, Zean dan juga Mikhail pamit begitu saja. Memang dasar keluarga kejam, pikir Sean.
Ketika masuk rumah ibadah tersebut, jujur hati Sean bergetar. Perasaan ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Lebih tepatnya merasa tidak pantas, dia malu menginjakkan kakinya di sini.
"Kenapa shalatnya begini? Bukannya sama-sama? Sudah selesai atau bagaimana?"
.
.
- To Be Continue -
Gimana Abang Se kita? Wkwkwk semangat Abwaang🤣