Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecocokan Jadi Ibu Tiri
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam, Ustadzah."
Maryam baru datang langsung duduk. Dia juga membawa dus kecil, lalu membukanya.
"Umi, bawa roti untuk kalian. Satu orang dapat dua,"
"Alhamdulillah."
Maryam membagikan roti yang dibawanya. Tentu hal itu membuat semua santri bahagia karena mereka mendapatkan roti gratis dengan rasa yang enak.
"Balqis... ini,"
Balqis mengambil roti yang diberikan Wita. Dia menatapnya dengan ketakutan. Mimpinya tadi tentang makanan menjadi hidup serasa menjadi nyata.
Puk!
Dengan jantung berdebar kencang, Balqis melempar roti itu karena terlihat seperti akan menangis.
"Balqis, ada apa?"
"Gu-Gue nggak suka roti murahan kayak gitu,"
Balqis terpaksa berbohong untuk menutupi rasa takutnya.
"Kalau tidak suka enggak usah dibuang, kamu bisa kasih lagi ke Ustadzah."
Balqis terdiam. Dia masih menatap roti-roti itu yang terlihat menangis. Bahkan yang tengah dimakan terlihat sangat bahagia.
An**t ini gue yang halu apa gue emang udah gila?
"Qis!"
Penglihatan Balqis tentang roti itu buyar. Dia menepis penglihatan konyolnya. "Ustadzah ngajinya dimulai sekarang aja, ya?"
Maryam mengangguk. Dia terlihat keheranan karena tidak biasanya Balqis ingin segera memulai mengaji. Biasanya dia akan malas-malasan terlebih dahulu.
Setelah beberapa menit, mengaji sudah selesai. Semua santri bersalaman terlebih dahulu sebelum pulang, namun tidak dengan Balqis. Dia pergi lebih dulu dengan langkah yang cepat.
Roti-roti itu kembali menakutinya. "Kok bisa roti itu nangis sih? Gue kan cuma mimpi doang?! Kok bisa jadi kenyataan?"
Langkah Balqis terhenti. Dia melihat Alditra yang baru keluar dari rumah. Tentunya hal itu membuat senyumannya mengembang.
Namun detik kemudian hilang saat melihat Annisa ada di sana. Dia melihat jelas Annisa mendorong kursi roda Alditra dengan pelan menjauh dari rumah. Mereka tidak berdua, karena Fairuz ikut menemani mereka yang pergi keluar gerbang.
"Sabar Qis, sabar... Lo nggak boleh sakit hati! lupain Om Gus... Dia bukan buat lo... Mumpung lo ga telalu suka dan cinta sama dia... Mendingan lo jauh-jauh dari dia! Bikin bad mood aja!" Gumam Balqis memenangkan diri.
Dia pun berjalan kembali dengan cepat menghampiri gerbang yang masih terbuka.
Grettt!
"Heh... Tunggu! Tunggu! Gue belum keluar,"
Balqis mencoba menahan gerbang yang hendak dikunci lagi.
"Ayolah, tunggu bentar! Gue mau keluar,"
Rendi tersenyum." Maaf, Ukhti! Gerbang tidak bisa dibuka lama-lama, nanti ada yang kabur,"
"Ck!" Balqis berdecak kesal. Kemudian mengeluarkan uang yang ada disakunya.
"Ini DP buat kuncinya?"
"Tidak bisa ukhti," tolak Rendi.
"Ck... Dih.. emang nyebelin banget sih!" Balqis menghentakkan kakinya. Dia menggoyangkan gerbang dengan keras agar Rendi mau membukanya. "Lepasin gue dari sini,"
Rendi yang melihat Balqis seperti itu terkekeh.
"Dasar gadis gerbang!" tawanya seketika terhenti.
Kemudian membuka gembok karena Alditra beserta yang lain sudah kembali.
Balqis menggeser dirinya. Dia seakan-akan mempersilahkan mereka masuk ke dalam.
Tatapannya juga masih lekat memperhatikan Alditra yang sekilas meliriknya.
"Balqis!"
"Eh, Ustadz Fairuz,"
Fairuz tersenyum. Kemudian mengeluarkan kue dengan meses di atasnya. "Ini untuk kamu,"
Balqis menatap kue itu dengan mata membulat. Kue itu tersenyum bahagia menunjukkan deretan meses yang menjadi giginya.
"hah?! No... Nggak mau!!!" ucap Balqis seketika panik sambil menggeleng.
"Balqis, ada apa?"
"Waaaaa... Daddy gue mau pulang!!! Disini aneh! Kuenya hidup.. Ge nggak mau!!!" teriak Balqis sambil berlari pontang-panting.
Dia berlari sejauh mungkin dari kue yang masih dipegang Fairuz.
"Ada apa, Ustadz? Kenapa dia berlari?" tanya Rendi.
"Dia bilang kuenya hidup," Fairuz memperhatikan kue yang dibawanya. Karena sudah jelas kue itu mati. "Mungkin dia salah lihat."
Balqis masih berlari. Kemudian bersembunyi di balik tiang madrasah. Dia ketakutan karena lagi-lagi melihat kue hidup.
"Itu semua cuma mimpi. Sadar Balqis, itu cuma mimpi. Aaakkhh gue stresss kalo kayak gini!"
Puk!
Balqis menoleh ke belakang dengan ragu. Detik kemudian, matanya membulat sempurna saat melihat para santri tengah menikmati makanan yang hidup di depan matanya.
Makanan itu terlihat senang karena dilahap, namun beberapa makanan yang tidak habis menangis.
"Nggak... Daddy.. Ada hantu makanan!" Balqis menjerit histeris.
Dia kembali berlari menjauh dari mereka yang keheranan menatapnya.
"Mereka hidup! Mereka hidup!"
Balqis kali ini bersembunyi di kamar, dia membungkus dirinya dengan selimut agar makanan itu tidak mengganggunya.
"Makanan itu hidup! Makanan itu hidup!"
"No.... itu cuma mimpi? balqis.. Wake up?!"
***
Sejak dari kemarin sore, Balqis seketika berubah. Dia terlihat ketakutan saat melihat makanan. Bahkan dia tidak makan sedikit pun, dia hanya minum saja untuk menghilangkan hausnya.
Balqis akan langsung menjerit dan kabur saat melihat makanan. Dia juga sesekali bilang makanan itu hidup. Menangis, tertawa dan marah.
Tentunya hal itu membuat semua orang kebingungan karena sudah jelas makanan yang mereka lihat mati. Tidak menangis ataupun tertawa bahagia. Kelihatan seperti orang stres jadinya.
"Mel, dari kemarin Balqis tidak makan. Coba kasih apa saja?" ujar Naila.
"Balqis tidak ingin apa-apa, Teh. Dia bilang makanannya menakutkan," balas Melodi. Dia sendiri sudah berusaha agar Balqis makan, tapi dia tetap menolak ketakutan.
"Coba deh kalian buat makanan mati, jangan hidup," titah Badriah.
"Semua makanan mati, mana mungkin hidup, Badriah!" sahut Naila. "Dikira kartun,"
"Apa mungkin Balqis berimajinasi kalau makanan hidup?" tanya Risma.
"Sepertinya dia tidak pandai melakukan imajinasi, karena dia suka yang to the point," sahut Amel.
"Mungkin dia rindu makanan enak di rumahnya, jadi lihat makanan yang biasa kita makan terlihat menakutkan," sela Raras.
"Nah, bisa jadi tuh? Dia mungkin ingin makanan enak yang biasa dimakannya. Seperti daging wagyu? Yang sering dikatakannya," sahut Siska. "Berapa harga daging itu? Siapa tahu kita bisa membelinya?"
Semua menoleh bersamaan ke arah Siska. "Uang dari mana beli daging begitu?"
"Memangnya kenapa?" tanya Siksa.
"Orang seperti kita tidak akan mampu membelinya." jawab Raras. "Hmm, coba pikirkan lagi tentang kesukaan Balqis?"
"Makanan yang disukai Balqis mahal-mahal dan tidak ada di sini, kita tidak akan mampu membelinya juga." sela Melodi. "Tapi kita bisa membuat makanan yang lain. Seperti chicken, dia pasti akan suka,"
"Okh, baiklah. Aku akan menambahkan uang untuk membeli ayam agar dibuat jadi makanan enak, agar anak itu makan," ujar Badriah.
Semua orang mengangguk. Kemudian mengeluarkan beberapa uang yang mereka miliki untuk membeli bahan makanan yang bisa dimasak jadi enak agar Balqis mau makan.
Mereka bisa saja membiarkan Balqis tidak makan, tapi mereka mesih mempunyai hati. Mereka tidak tega terhadap Balqis meskipun dia sangat meyebalkan.
Setelah beberapa jam. Melodi selesai membeli kebutuhan yang akan dimasaknya. Dia berlalu ke dapur untuk menyimpan semua yang dibutuhkan. Namun tidak akan dimasak sekarang karena sebentar lagi dzuhur.
"Mel!"
Dengan gesit dan cepat Melodi menyembunyikan belanjaannya bersama Raras. Mereka tidak ingin Balqis mengetahui kejutan yang akan dibuat mereka.
"Kenapa, Qis?"
Balqis menghampiri sambil mengucek matanya. Dia benar-benar kusut hari ini. Bukan hanya tidak makan, mimpinya juga tiba-tiba terus buruk sampai tidurnya tidak nyenyak.
"Kenapa kamu, Qis? Wajah kamu kok kusut sekali seperti lap wellcome," tanya Raras.
"Serius?" Balqis terkejut mendengar perkataan Raras. Dia pun berlalu pergi untuk mengembalikan wajahnya yang cantik jelita.
"Ide bagus!" ucap Melodi.
Raras mengacungkan ibu jempol. Kemudian mereka pun kembali mengeluarkan bahan masakan untuk dipisahkan, lalu dicuci.
"Kita simpan di sini saja, Mel?" Raras memasukkan satu persatu bahan masakan ke dalam lemari agar tidak digondol kucing.
"Nanti tutup yang rapat, Ras,"
"Siap!"
*****
"Eum!"
Balqis yang sejak tadi duduk di belakang merasa tidak nyaman. Bukan tempat duduknya melainkan matanya yang sangat berat ingin tertidur.
Meskipun matanya ingin terlelap, tapi dia mencoba menahannya karena takut mimpi buruk menghampirinya lagi. Mimpi itu, mimpi yang sangat menyeramkan untuknya dibandingkan harus berkelahi dengan preman ini lebih seram untuknya.
Mimpi itu selalu datang ketika dia terlelap. Dia tidak mengerti kenapa mimpi itu tiba-tiba menjadi nyata? Padahal mimpi itu terjadi beberapa menit.
"Nyeremin banget sih! Bisa-bisanya penglihatan gue kayak orang gila..."
Balqis menepis ingatan mimpinya. Dia tidak mengerti maksud mimpinya itu. Dia yang tidak ingin pusing menenggelamkan kepalanya di antara dua tangannya. Padahal saat ini Maryam tengah menjelaskan tentang do'a makan.
Setelah beberapa menit, mengaji sudah selesai. Balqis beserta yang lain pergi dengan langkah gontai.
Tap!
Langkah Balqis terhenti. Dia menatap ke sekeliling yang sepi dan dipastikan tidak ada makanan.
"Om Gus!"
Mata Balqis berbinar-binar saat melihat Alditra yang tengah membaca buku. Dia yang rindu karena sudah lama tidak menjahilinya berjalan mengendap-endap untuk mengagetkan.
Dor!
Alditra hanya melirik seperti biasanya. Dia pun menutup buku dan melepaskan kacamatanya.
Sedangkan Balqis, dia memasang wajah kesal karena sejak pertama kali mengejutkannya dia tidak pernah terkejut. Dia pun memilih mendudukkan dirinya di kursi.
"Gus, tau nggak gue dari kemaren belum makan loh,"
Alditra menyamankan posisi duduknya karena dia mulai masuk ke dunia curhatan Balqis.
"Gue mimpi buruk. Masa iya, makanan idup,"
Alis Alditra mengernyit. Dia merasa aneh dan belum mengerti cerita Balqis.
"Jadu kemarin pas gue udah makan kan kenyang tuh, trus langsung tidur, trus lo tau Om? Gue mimpi semua makanan yang ada di depan gue dari berbagai rasa dan bentuk. Makanan yang masih utuh, makanan yang tinggal separuh, makanan sisa. Makanan-makanan itu ada yang nangis, ketawa, marah... Gue pikir gue yang gila apa emang bener mereka idup? Atau gue yang udah mulai stres?"
"Dan Om tau ga? Yang paling bikin gue syok, semua makanan itu terus ngikutin gue semakin deket, semakin deket. Mereka kayak pengen dimakan sampe loncat-loncat mau masuk ke mulut gue. Coba bayangin Om... Gimana gue nggak syok?!"
"Gue dalam tahap antara mau ke gila sih kayaknya ini..."
Alditra yang paham dengan cerita Balqis mengambil buku kecilnya. Dia menulis anteng di sana sambil telinganya mendengarkan.
"Lo liat gue sekarang kan, kucel? Gue sekarang nggak berani tidur gara-gara mimpi itu dateng terus. Gue nggak berani makan juga soalnya takut mereka nangis terus,"
Setelah selesai menulis banyak di buku kecilnya, Alditra menunjukkannya pada Balqis.
(Apa kamu tahu artinya?)
"Ck... Ya kalo gue tau gue nggak bakalan uring-uringan, dan stres kayak gini, Om!"
Aditra membuka lembaran selanjutnya, kemudian menunjukkannya agar Balqis kembali membaca.
(Artinya makanan menangis itu tandanya mereka sedih karena kamu tidak menghabiskannya. Makanan bahagia, itu tandanya mereka senang akan dimakan. Sedangkan makanan marah, itu tandanya mereka kesal karena kamu mengambil mereka banyak sedangkan kamu tidak mampu menghabiskannya.)
Alis Balqis mengernyit. Dia membaca tulisan Alditra yang rapih dan mudah dipahami.
"Ya trus gimana dong?"
(Makanan akan menangis bila mereka tidak dihabiskan. Karena mereka akan dibuang begitu saja,)
"Ouh. Jadi makanan yang nggak abis bakalan nangis?"
Alditra mengangguk.
(Mereka sangat sedih. Padahal mereka bisa membuat perut kamu kenyang. Tapi kamu tidak menghabiskannya, jadi mereka dibuang,)
"Kalo gue ngabisin semua?"
(Mereka akan bahagia. Seperti makanan yang akan dimakan. Mereka sangat senang karena bisa mengenyangkan perut kamu,)
"Ouh, jadi gue harus ngabisin mereka supaya mereka bahagia?"
Alditra mengangguk lagi.
(Tapi kamu tidak boleh serakah atau rakus mengambil banyak makanan. Karena itu akan membuat mereka marah,)
"Kenapa kayak gitu?"
(Makanan akan marah karena kamu mengambil banyak, karena ujung-ujungnya tidak akan habis. Alangkah baiknya kamu membagi makanan itu agar mereka senang dan tidak membuatnya marah,)
"Ouh, jadi biar makanan nggak marah gue harus berbagi? Gitu?"
(Iya. Kamu ambil secukupnya saja atau sekiranya membuat perut kamu tidak lapar.)
Balqis mengangguk paham. "Terus sekarang gue harus gimana? Mereka masih keliatan idup di mata gue,"
(Kamu harus membaca do'a sebelum makan. Saya yakin mereka tidak akan terlihat hidup lagi,)
"ck... Gue kan nggak apal,"
(Baca bissmillah saja bila kamu belum hafal.)
Balqis kembali mengangguk-ngangguk.
"Gue ngerti. Jadi gue nggak boleh nyisain makanan gue dan nggak boleh ngambil makanan banyak, soalnya ntar mereka sedih dan marah,"
(Bukan hanya itu. Berbuatan seperti itu juga dibenci Allah. Karena Allah tidak menyukai manusia yang rakus, tamak, kikir, kamu harus belajar berbagi dan menghabiskan makanan.)
Balqis mengangguk.
"Gue harus berbagi nih?"
(Iya. Itu bukan hal yang sulit bukan?)
"Sulit banget, Om. Gue nggak suka itu."
Alditra kembali memasukkan bukunya. Dia yakin Balqis akan mengerti dan mulai belajar tentang berbagi.
"Om Gus, gimana apelnya kemaren sama Annisa?"
Mata Alditra membulat. Baru saja pertanyaan Balqis sangat bagus karena bisa menyadarkannya, sekarang malah meleset ke pertanyaan yang tidak bisa diindahkan karena terdengar menjengkelkan.
"Pasti peluk-pelukkan, cium-ciumman, iya kan?!"
"Astaghfirullah!"
Alditra kembali mengeluarkan bukunya, dia menulis beberapa kata di sana.
(Jangan bicara yang tidak-tidak. Karena itu menjurus ke dalam fitnah.)
"Cih..."
Balqis langsung mendengus kesal. Dia pun berkacak pinggang.
"Gue itu cemburu, ya!"
"Ups!"
Alditra melirik sekilas. Kupingnya serasa gatal mendengarnya. Apalagi sekarang Balqis tengah memukul-mukul mulutnya.
"Dengar, Om Gus! Barusan itu cuma becanda loh hahahaha. Gue nggak mungkin cemburu. Gue malah seneng deh soalnya sekarang Om Gus bakalan punya pendamping trus nikah deh,"
Alditra tidak menanggapi. Dia malah memasang wajah misterius membuat Balqis gelagapan.
"Beneran loh gue serius? Lagian gue bakalan pergi juga dari tempat ini. Trus pulang ke rumah gue buat jemput jodoh gue. Hahaha,"
Alditra masih diam. "Jodoh?" batinnya.
"Aah.. Udahlah, lupain. Jodoh kalo nggak dikejar tar digondol orang."
Setelah mengatakan itu, Balqis berlalu pergi. Dia mendadak nervous, apalagi sejak tadi Rendi dan Ahmad memperhatikan seperti alat rekam yang siaga mengabadikan obrolan mereka. Mereka sejak tadi tidak hanya berdua. Karena ada beberapa santri yang berlalu lalang dan memperhatikan. Dan ya, mereka terlihat seperti artis.
Sesampainya Balqis di kobong. Matanya membulat sempurna, dia terkejut melihat makanan sudah tersedia.
"Balqis!"
Langkah Balqis mundur ke belakang. Dia keluar kamar dengan deru nafas yang memburu. Dia kembali melihat makanan itu menjadi hidup.
"Balqis, kenapa? ada apa? Apa kamu tidak menyukai makanannya?" tanya Melodi.
"Su-suka kok," jawab Balqis gelagapan.
"Kalau kamu suka, ayo makan? Aku dan Raras sebisa mungkin membuat makanan yang pas di lidah kamu," Melodi menarik tangan Balqis yang masih terdiam. "Qis?"
Balqis mengangguk ragu. Dia tahu makanan itu enak, tapi tawa mereka membuat telinganya sakit.
Setelah Balqis duduk di depan makanan itu. Dia pun membaca bismillah dengan pelan, kemudian mengusap wajahnya. Detik kemudian, ketika matanya terbuka setelah beberapa detik terpejam.
Makanan itu terlihat biasa lagi. Mereka tidak tertawa, tidak menangis, tidak marah, mereka kembali normal seperti biasanya.
"Hah... Finally! Akhirnya!!"
Balqis bersorak seorang diri. Matanya mulai berkaca-kaca, dia sangat senang karena mimpi buruknya telah hilang.
"Ada apa, Qis?"
"Hah.. Nggak."
Balqis pun hanya tersenyum terharu menatap makanan yang ada disana.. Kemudian Balqis mengambil piring dan menyendok nasi. Dia juga mengambil beberapa lauk pauk yang terlihat sudah menantangnya ingin dimakan.
Setelah apa yang diinginkannya sudah tersedia di piring, dia melirik teman-temannya yang lain. Mereka terlihat senang karena dirinya mau kembali makan.
"Kenapa kalian diem? Oyo, kita makan bareng?"
Melodi bersama yang lain pun hanya mengangguk. Mereka tadinya trkejut karena Balqis mengajak mereka makan bersama. Lalu mereka pun ikut makan menemani Balqis yang lahap.
"Qis, kenapa kamu tidak makan? Apa sengaja biar kita buat makanan enak seperti ini?" tanya Siti.
"No... Kemarin gue mimpi nyeremin. Semua makanan kayak idup gitu," jawab Balqis. "Mereka idup kayak nyata pengen dimakan,"
Semua orang yang merasa aneh saling lirik. 'Makanan hidup?' Terdengar seperti candaan di telinganya.
Namun bagus untuk Balqis, karena dengan seperti itu semoga saja dia sadar.
"Hah, mimpi itu terlalu nyeremin buat gue. gue nggak bakalan mau lagi ngambil banyak makanan, nanti kalo nggak abis trus akhirnya dibuang," ujar Balqis.
"Iya, memang benar. Makanan kalau tidak habis ujung-ujungnya dibuang. Kita tidak boleh melakukan itu." sahut Melodi.
"Apalagi di luar sana. Banyak orang yang tidak seberuntung kita bisa makan kenyang. Jangankan untuk makan, minum saja mereka belum tentu bisa," timpal Naila.
"Iya, mereka menginginkan makanan, sedangkan kita dengan entengnya membuangnya," sela Siska.
"Dan mulai sekarang belajarlah bersyukur. Kita tidak boleh menghamburkan makanan, kita harus ingat ketika makanan itu tidak ada. Kita sangat menginginkannya, tapi di saat kita mempunyainya malah dibuang." ujar Badriah.
Semua orang mengangguk bersamaan. Termasuk Balqis yang tengah memperhatikan Badriah.
"Sekarang kecocokan jadi ibu tiri gue udah mulai keliatan nih." batinnya.