"Aku rela melepasmu, asal kamu bahagia bersamanya."
Cinta itu tidak egois, Bagas rela melihat Adara kembali bersama Antares karena dia merasa sudah tidak sanggup membahagiakan Adara. Apakah akhirnya Adara tetap bersama Bagas atau kembali pada Antares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Adara menatap Bagas yang perlahan membuka matanya. Kelegaan menyapu wajahnya, dan tanpa membuang waktu, dia menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Bagas hanya terdiam, matanya tetap terfokus pada Adara dengan tatapan bingung. Ada kekosongan dalam sorot matanya.
"Kak Bagas, ingat aku?" Adara mencoba tetap tenang, meski hatinya berdebar kencang. Dia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Dokter sudah memperingatkannya bahwa tumor di otak Bagas semakin menekan dan mengakibatkan daya ingatnya melemah.
"Aku Adara," lanjutnya, suaranya bergetar halus. "Istri Kak Bagas." Dia berusaha tersenyum, berharap senyum itu bisa menggugah kenangan di benak Bagas.
Bagas perlahan mengulurkan tangannya, menarik lengan Adara dengan lemah. Dia merangkul Adara dalam pelukan yang lemah namun erat. "Maaf," suaranya parau, hampir berbisik. "Aku hampir melupakanmu."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Adara, namun sekaligus memberi kelegaan. Bagas masih mengenalinya. Air mata hampir jatuh dari matanya, namun dia menahannya. Dia ingin Bagas melihat kekuatannya, bukan air mata lagi. "Tidak apa-apa," bisiknya di dekat telinga Bagas, "Aku akan selalu mengingatkan Kak Bagas."
Tak lama kemudian, dokter masuk ke ruangan dan memeriksa kondisi Bagas dengan teliti. "Akhirnya, Pak Bagas sudah melewati masa kritis," kata dokter sambil mencatat sesuatu di berkasnya. "Saya akan segera mengatur jadwal terapi untuk besok."
Bagas menatap dokter itu dengan lemah. "Terapi?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
"Iya," jawab dokter. "Rumah sakit sudah mempersiapkan program pengobatan terapi gamma knife untuk Pak Bagas. Kita tidak memiliki banyak waktu lagi."
Setelah memastikan kondisi Bagas stabil, dokter meninggalkan ruangan itu.
Adara menghela napas lega. Setidaknya, Bagas telah melewati tahap kritis. Bagas menatapnya, seakan masih mencari kejelasan dalam benaknya yang kabur.
"Kak Bagas mau minum?" tanya Adara, mencoba membuang kekhawatiran dari wajahnya.
Bagas mengangguk pelan. Adara sedikit menegakkan sandaran tempat tidur Bagas, lalu mengambil segelas air hangat dan membantu Bagas meminumnya dengan sedotan.
"Berapa hari aku tidak sadar?" tanya Bagas, suaranya masih terdengar lemah.
"Tiga hari," jawab Adara.
"Maaf, sudah buat kamu khawatir," gumam Bagas, sorot matanya dipenuhi rasa bersalah.
Adara tersenyum dan menggenggam tangan Bagas dengan erat. "Tidak apa-apa. Aku akan selalu berada di sisi Kak Bagas apapun kondisinya."
Bagas menatap Adara, perasaan cemas dan takut terlihat jelas di wajahnya. "Ara, apa kamu masih mempunyai perasaan pada Ares?" tanyanya tiba-tiba yang membuat Adara terdiam sejenak.
Adara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Kak Ares sudah aku anggap seperti kakak aku sendiri. Aku memang sayang sama dia, tapi sekarang duniaku adalah Kak Bagas. Aku yakin Kak Bagas pasti sembuh. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kak Bagas harus yakin dengan diri Kak Bagas bahwa Kak Bagas pasti bisa melawan penyakit itu."
Bagas memejamkan mata, mencoba mencerna kata-kata Adara. "Kalau seandainya aku pergi dari dunia ini, aku..."
"Sssttt," Adara menempelkan jarinya ke bibir Bagas untuk menghentikan kata-katanya. "Kak Bagas tidak boleh pergi sebelum aku pergi. Ingat janji Kak Bagas saat kita baru menikah? Kak Bagas janji akan menemaniku sampai aku pergi dari dunia ini."
"Tapi, Ara, kondisiku seperti ini..."
Adara memeluk Bagas erat, lalu mencium pipinya lembut. "Kak Bagas pasti sembuh," bisiknya penuh keyakinan. "Besok pengobatan Kak Bagas akan segera dilakukan. Aku dengar terapi itu pasti akan berhasil."
Bagas menatap Adara dengan sorot mata yang penuh kebimbangan. "Ara, siapa yang membayar biaya terapi itu?" tanyanya, kerutan muncul di dahinya. Bagaimanapun ingatannya yang teracak, dia masih ingat biaya terapi gamma knife yang mencapai 250 juta.
Adara terdiam. Dia ingat kata-kata Antares saat pertama kali mengungkapkan tentang terapi itu. Apa jangan-jangan Antares. "Pihak rumah sakit. Kak Bagas mendapat program bantuan dari rumah sakit."
Bagas menatapnya, tidak begitu yakin. "Pihak rumah sakit tidak mungkin memberi keringanan sampai 250 juta. Kamu cek saja di internet, berapa biaya terapi itu sebenarnya."
Adara terdiam. Perlahan, dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik 'biaya terapi gamma knife' di mesin pencari. Angka yang muncul membuat dadanya berdebar. Bagas benar, tidak mungkin rumah sakit memberikan keringanan sebesar itu tanpa alasan kuat.
"Pasti Ares yang sudah membayarnya," kata Bagas lirih. Kedua matanya masih menatap Adara.
Mendengar hal itu, Adara menatap Bagas lagi. "Iya, sepertinya ...."
kirain bakal launching kisah Ares..🥰🥰🥰
beruntung banget Adara dicintai begitu besar....🥰🥰😍
aku pikir Bagas meninggal dan Antares menggantikan Bagas karena amanat Bagas...😆😅
tadi bukannya manggil papa 😁
semangat Adara.. .. yang kuat ya..
mengikuti skenario dari manager mereka..
tapi dilubuk hati Ares nama Adara tetap nomor 1.