Tara Azhara Putri Mahendra—biasa dipanggil Tara—adalah seorang wanita muda yang menjalani hidupnya di jantung kota metropolitan. Sebagai seorang event planner, Tara adalah sosok yang tidak pernah lepas dari kesibukan dan tantangan, tetapi dia selalu berhasil melewati hari-harinya dengan tawa dan keceriaan. Dikenal sebagai "Cewek Tangguh," Tara memiliki semangat pantang menyerah, kepribadian yang kuat, dan selera humor yang mampu menghidupkan suasana di mana pun dia berada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Dingin malam di hutan itu begitu menusuk hingga meresap ke tulang. Tara, Adrian, Lucas, dan Raymond bergerak perlahan di antara pepohonan, mencoba sebisa mungkin untuk tetap tidak terlihat. Meskipun mereka berhasil lolos sementara dari kejaran musuh, mereka tahu bahwa ancaman masih mengintai di mana-mana.
“Kita harus nemuin tempat yang lebih aman,” bisik Adrian, suaranya hampir tenggelam dalam gemerisik daun di bawah kaki mereka. “Kalau kita terus bergerak tanpa rencana yang jelas, mereka bakal nemuin kita cepat atau lambat.”
Raymond, yang memimpin jalan, mengangguk setuju. “Ada sebuah desa kecil beberapa kilometer dari sini. Kalau kita bisa sampai ke sana, mungkin kita bisa sembunyi dan merencanakan serangan balasan.”
Tara melirik ke arah Adrian dan Lucas, yang keduanya tampak kelelahan namun tetap penuh tekad. Perjalanan mereka sudah panjang, tapi mereka tidak bisa berhenti sekarang. Mereka harus terus bergerak, terus bertahan, demi mengungkap kebenaran di balik Proyek Apocrypha.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat dan hati-hati, menghindari jalan-jalan utama dan tetap bersembunyi di antara bayang-bayang pohon. Udara malam yang dingin mengelilingi mereka, tapi semangat dalam hati mereka terus membara, meskipun tubuh mereka terasa berat karena kelelahan.
Setelah berjam-jam berjalan, akhirnya mereka sampai di pinggiran desa kecil yang disebutkan oleh Raymond. Desa itu tampak sepi, hanya ada beberapa lampu yang menerangi jalanan yang sunyi. “Ini tempatnya,” kata Raymond dengan nada rendah. “Kita harus berhati-hati. Nggak ada yang tahu siapa yang bisa kita percaya di sini.”
Mereka bergerak pelan menuju sebuah rumah tua di pinggiran desa. Raymond mengetuk pintu dengan kode tertentu, dan tak lama kemudian, seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan membuka pintu. Matanya yang tajam meneliti mereka satu per satu sebelum dia memberikan anggukan singkat. “Masuklah, kalian aman di sini,” katanya dengan suara yang serak.
Mereka segera masuk ke dalam rumah, yang ternyata jauh lebih nyaman daripada yang tampak dari luar. Di dalam, suasana hangat menyambut mereka, kontras dengan dinginnya malam di luar. Pria tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Pak Danu, seorang pensiunan tentara yang telah lama tinggal di desa itu.
“Raymond bilang kalian sedang dalam masalah besar,” kata Pak Danu sambil menyodorkan cangkir teh hangat kepada mereka. “Kalian bisa tinggal di sini selama yang kalian butuhkan, tapi ingat, tempat ini mungkin aman, tapi nggak ada jaminan mereka nggak bakal nemuin kalian.”
Tara, yang merasakan kehangatan teh di tangannya, mengangguk pelan. “Kami hanya butuh waktu buat beristirahat dan memikirkan langkah selanjutnya. Terima kasih udah mau bantu.”
Pak Danu tersenyum samar. “Aku tahu seperti apa orang-orang yang kalian lawan. Mereka nggak akan berhenti sampai mereka yakin kalian sudah hilang. Tapi aku juga tahu, orang-orang seperti kalian nggak akan menyerah begitu saja. Jadi, apa rencana kalian sekarang?”
Raymond menatap Tara dan yang lain dengan serius. “Kita harus balik menyerang mereka. Kita udah nyebarin data tentang Proyek Apocrypha, tapi itu belum cukup. Kita harus memastikan mereka nggak punya kesempatan buat nutupin ini.”
Adrian, yang telah mendengarkan dengan seksama, akhirnya angkat bicara. “Kalau kita mau menang, kita harus serang dari dalam. Kita tahu markas utama mereka di Kota Auriel. Kalau kita bisa masuk ke sana dan hancurkan infrastruktur utama mereka, kita bisa lumpuhkan mereka untuk selamanya.”
“Tapi itu berarti kita harus kembali ke sarang mereka,” gumam Lucas. “Itu berisiko tinggi, tapi itu mungkin satu-satunya cara.”
Raymond mengangguk setuju. “Kalau kita bisa ngebobol sistem mereka dari dalam, kita bisa ngambil alih semua data yang mereka punya. Bukan cuma soal Proyek Apocrypha, tapi semua proyek rahasia lainnya yang mereka sembunyikan. Itu bakal jadi pukulan telak.”
Pak Danu mendengarkan rencana mereka dengan seksama, dan setelah beberapa saat berpikir, dia berdiri dan berjalan menuju sebuah lemari tua di sudut ruangan. Dari dalamnya, dia mengeluarkan sebuah peta kota yang sudah usang, lengkap dengan tanda-tanda rahasia di beberapa titik. “Ini peta lama yang aku dapatkan saat aku masih bertugas. Ada beberapa jalur bawah tanah yang nggak banyak orang tahu. Kalian bisa gunakan ini buat masuk ke markas mereka tanpa terdeteksi.”
Tara mengambil peta itu dengan hati-hati, mempelajari setiap detilnya. “Ini bisa jadi jalan masuk yang sempurna,” katanya dengan penuh semangat. “Kita bisa nyusup dan langsung menyerang jantung pertahanan mereka.”
Lucas tersenyum kecil, untuk pertama kalinya sejak pertempuran dimulai. “Kalau kita berhasil, mereka nggak bakal tahu apa yang menimpa mereka.”
Malam itu, mereka terus berdiskusi dan menyusun rencana dengan teliti. Mereka tahu bahwa ini mungkin adalah kesempatan terakhir mereka untuk menggagalkan Proyek Apocrypha, dan mereka tidak bisa melakukan kesalahan. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat, setiap risiko harus diantisipasi.
Keesokan paginya, saat fajar menyingsing, mereka sudah siap untuk memulai misi yang paling berbahaya dalam hidup mereka. Dengan peta Pak Danu sebagai panduan, mereka bergerak keluar dari desa, menyelinap kembali ke hutan menuju Kota Auriel.
Perjalanan mereka kembali ke kota dipenuhi dengan keheningan. Tidak ada yang banyak berbicara, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tara merasakan campuran antara ketakutan dan keberanian di dalam hatinya. Dia tahu bahwa yang mereka hadapi adalah musuh yang jauh lebih kuat, tapi dia juga tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti sekarang.
Ketika mereka mendekati Kota Auriel, suasana semakin tegang. Kota itu tampak seperti biasanya dari kejauhan, tapi mereka tahu bahwa di dalamnya, Proyek Apocrypha sedang bersiap-siap untuk menghadapi mereka. “Kita harus masuk tanpa ketahuan,” bisik Raymond ketika mereka mendekati gerbang kota. “Kita nggak boleh menarik perhatian, setidaknya sampai kita mencapai jalur bawah tanah.”
Dengan mengikuti peta, mereka menemukan pintu masuk ke salah satu jalur bawah tanah yang tersembunyi di balik bangunan tua yang sudah terbengkalai. Jalan masuknya sempit dan gelap, dengan bau lembab yang menyengat. Tapi ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai markas musuh tanpa terdeteksi.
Mereka merangkak masuk ke dalam jalur tersebut, satu per satu, dengan Raymond di depan, memimpin jalan. Lorong itu panjang dan berliku-liku, dengan dinding batu yang basah dan licin. Cahaya dari senter mereka memantul di antara bebatuan, menciptakan bayangan-bayangan yang mengerikan di sekitar mereka.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah ruangan yang lebih besar, yang menurut peta adalah titik terdekat dari markas utama Proyek Apocrypha. Dari sini, mereka bisa mendengar suara mesin yang berdengung dan langkah kaki yang berirama di atas mereka.
“Kita sudah dekat,” bisik Raymond, sambil mematikan senternya. “Sekarang, kita harus bergerak cepat dan hancurkan sistem mereka sebelum mereka sempat bereaksi.”
Mereka merapat ke dinding, mendekati tangga yang menuju ke atas, ke dalam markas utama. Setiap langkah terasa berat, penuh dengan ketegangan. Tara bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, tapi dia tetap fokus. Ini adalah saat yang telah mereka tunggu-tunggu, saat untuk membalas semua yang telah mereka alami.
Saat mereka mencapai puncak tangga, Raymond memberikan sinyal untuk berhenti. Dia mengintip keluar dari celah kecil di pintu, memastikan bahwa tidak ada penjaga di sekitar. Setelah yakin aman, dia membuka pintu dengan perlahan dan mereka semua keluar ke dalam koridor markas yang gelap.
Markas itu besar dan modern, dengan dinding-dinding logam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu neon yang dingin. Suasana di dalamnya terasa klinis, hampir tidak manusiawi. Mereka bergerak dengan hati-hati, menghindari kamera keamanan dan patroli penjaga yang sesekali lewat.
Akhirnya, mereka mencapai pusat kendali, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan komputer dan layar monitor. Di sinilah semua operasi Proyek Apocrypha dikelola. Raymond segera mengambil alih salah satu komputer dan mulai bekerja dengan cepat, memasukkan kode-kode untuk mengakses sistem utama.
Lucas dan Adrian menjaga pintu, memastikan tidak ada yang masuk, sementara Tara berdiri di samping Raymond, memantau perkembangan. “Berapa lama lagi?” bisik Tara dengan cemas.
“Sebentar lagi,” jawab Raymond sambil terus bekerja. “Gue hampir masuk ke sistem inti mereka. Begitu kita punya akses penuh, kita bisa hancurkan semuanya.”
Namun, sebelum mereka bisa menyelesaikan pekerjaan,