NovelToon NovelToon
Mencari Aku, Menemukan Kamu

Mencari Aku, Menemukan Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Slice of Life
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dylan_Write

"Aku menyukainya. Tapi kapan dia akan peka?" ー Asami

"Aku menyukaimu, tapi kurasa orang yang kamu sukai bukanlah aku" ー Mateo

"Aku menyukaimu, kamu menyukai dia, tapi dia menyukai orang lain. Meski begitu, akan aku buat kamu menyukaiku lagi!" ー Zayyan

.
.
.
Story © Dylan_Write
Character © Dylan_Write
Cover © Canva

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dylan_Write, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka Di Balik Senyuman

Asami duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan buku yang berserakan di depannya. Matanya yang lelah tak bisa fokus pada satu halaman pun. Ia baru saja pulang dari sekolah setelah menjalani rapat OSIS yang melelahkan.

Sebuah kertas ulangan matematika tergeletak di antara buku-buku itu, dengan angka 80 yang melingkar di sudut kanan atas, seolah mengejeknya.

“Asami, hari ini nilai ulangan matematikamu sudah turun, kan?” suara ibunya terdengar dari ambang pintu, terdengar lebih sebagai sebuah tuntutan daripada pertanyaan biasa.

Asami hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan dari mejanya. Ibunya melangkah masuk, mengambil kertas ulangan itu dan menatapnya dengan raut wajah kecewa.

“Ini... 80, Sa? Nilai kamu makin lama makin turun,” kata ibunya dengan nada penuh kekecewaan.

“Kamu kemarin dapat 90, sekarang malah turun. Kapan kamu mau serius belajar?”

Asami menahan napas, mencoba menenangkan diri. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar kalimat seperti itu. Setiap kali nilainya turun sedikit saja, seolah dunia runtuh di mata ibunya. Tak peduli seberapa keras ia berusaha, selalu ada yang kurang.

“Aku udah belajar, Ma,” jawab Asami pelan, suaranya gemetar. “Soal-soalnya kemarin susah banget...”

“Alasan kamu selalu begitu!” Ibunya memotong dengan nada tinggi, membuat Asami tersentak. “Kamu pikir kalau begini terus, kamu bisa bersaing dengan teman-temanmu?”

Asami mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan amarah dan frustrasi yang semakin menumpuk. Baginya, 80 bukanlah nilai yang buruk, tetapi di mata orang tuanya, ia selalu kurang.

“Asami, dengar ya. Mama kerja keras untuk masa depan kamu. Kamu harus bisa lebih dari ini. Kamu tahu kan saudaramu, Anita? Sejak kelas 1 SD sampai SMA selalu ranking 1 di kelas dan nilainya selama sekolah juga nggak pernah di bawah 95. Kenapa kamu nggak bisa seperti itu?”

Asami tertunduk, matanya mulai panas. Perbandingan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Selalu ada Anita, saudara yang lebih tua beberapa tahun dari Asami yang kelihatan sempurna dan menjadi standar ideal di mata keluarganya.

Setiap kali Asami tidak memenuhi ekspektasi, Anita lah yang dijadikan contoh, seolah Asami tak pernah cukup baik.

“Aku... aku sudah mencoba, Ma,” ujar Asami dengan suara bergetar. “Tapi nggak selalu bisa bagus.”

“Itu masalahnya, Asami. Kamu cuma mencoba, tapi nggak sungguh-sungguh!” Ibunya meletakkan kertas ulangan itu dengan kasar di meja, lalu berbalik pergi.

“Mama mau kamu belajar lebih giat lagi. Nggak ada lagi main-main atau kegiatan nggak penting. Fokus dulu ke nilai-nilai kamu.”

Asami hanya bisa menatap punggung ibunya yang menjauh. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran harapan yang tak pernah bisa dipenuhi. Setiap kali ia berusaha lebih keras, tetap saja ada kekurangan yang dilihat oleh orang tuanya.

Ayahnya datang beberapa saat kemudian, berdiri di ambang pintu kamar Asami, memperhatikan suasana yang sudah tidak asing lagi baginya. “Kamu harus lebih disiplin, Sa. Jangan bikin Mama kecewa terus. Kami hanya ingin kamu sukses.”

Kata-kata ayahnya seperti menambah beban yang sudah begitu berat di pundaknya. Seolah semua tanggung jawab dunia dipaksakan ke dalam hati dan pikirannya. Asami mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, meskipun di dalam, ia ingin berteriak.

“Iya, yah...” ucap Asami akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Asami kembali duduk di meja belajarnya, menatap kosong pada buku yang terbuka. Dia mencoba mengingat rumus matematika, tapi pikirannya terus berputar pada percakapan dengan kedua orang tuanya. Air matanya menetes perlahan, jatuh membasahi halaman buku yang belum sempat ia baca.

“Kenapa usahaku nggak pernah bagus di mata mereka?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Apa aku benar-benar seburuk itu?”

Malam itu, Asami belajar dengan setengah hati. Setiap angka di buku terasa seperti beban yang menghimpitnya. Setiap waktu yang ia habiskan untuk belajar hanya menambah rasa sesak di dadanya. Ia tahu ia harus berusaha lebih keras, tapi ia juga tahu bahwa apapun yang ia lakukan, akan selalu ada yang kurang di mata orang tuanya.

Di tengah malam yang sunyi, Asami akhirnya menyerah. Dia meletakkan pulpen dan menutup buku dengan kasar, melemparkannya ke sudut meja.

“Kenapa cuma aku yang dituntut sempurna?” Asami berbisik, tangisannya pecah dalam diam. Dia ingin berlari, berteriak, tapi semua rasa marah dan kecewanya terkungkung di dalam kamar kecilnya.

Asami tahu, esok hari ia harus bangkit lagi, harus mencoba memenuhi harapan yang tak pernah sejalan dengan apa yang dia inginkan.

Tapi malam ini, ia hanya ingin menangis, membiarkan semua rasa yang terpendam itu keluar meskipun hanya dalam keheningan kamar yang gelap.

...ΩΩΩΩ...

Pagi itu, Asami melangkah masuk ke gerbang sekolah dengan langkah yang berat. Biasanya, ia selalu menyapa teman-temannya dan terlibat dalam obrolan ringan di depan kelas, tapi hari ini berbeda.

Asami memilih duduk sendirian di sudut taman sekolah, menatap kosong pada keramaian sekitarnya. Ia merasa seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dari dunia luar.

“Asami~ kamu udah belajar buat ulangan mata pelajaran jurusan besok?” tanya Rara, sambil duduk di sebelah Asami. Ia mencoba memulai percakapan, tetapi Asami hanya menanggapi dengan anggukan singkat tanpa kata-kata.

Rara memperhatikan wajah Asami yang pucat dan lelah. Asami yang biasanya ceria kini lebih sering diam, pandangannya kosong dan matanya terlihat sembab. Ada sesuatu yang jelas salah, tapi Asami selalu menghindar ketika ditanya.

“Sa, kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu jarang ngomong,” tanya Rara pelan, mencoba mendekati Asami tanpa membuatnya merasa terpojok.

Asami menunduk, menggenggam tali tasnya erat-erat. Ia ingin bercerita, tapi lidahnya terasa kelu. Segala yang ia rasakan terlalu rumit untuk dijelaskan, dan ia takut jika ia mulai berbicara, air mata yang sudah susah payah ditahannya akan jatuh begitu saja.

“Nggak apa-apa, Ra,” jawab Asami akhirnya, senyum tipis terlukis di wajahnya yang tampak kaku. “Aku cuma lagi capek aja.”

Rara mengangguk pelan, meski ia tahu itu bukan jawaban yang jujur. Asami, yang biasanya menjadi tempatnya berbagi cerita dan tawa, sekarang terlihat seperti seseorang yang tak lagi sama. Ia mulai jarang bergabung dengan teman-temannya, selalu menyendiri dan lebih sering terlihat murung.

Di dalam kelas, Asami duduk di pojok kelas, menjauh dari keramaian. Ia menunduk, memainkan pulpen di atas buku catatannya tanpa benar-benar menulis apa pun. Suara guru yang sedang menjelaskan pelajaran terdengar samar, seperti latar belakang yang tidak penting. Asami tak bisa fokus, pikirannya terus berputar pada percakapan dengan orang tuanya tadi malam.

“Sa, ini catatan pelajaran kemarin. Kamu kan keluar kelas karena urusan OSIS kemarin, mau pinjam nggak?” tanya Maya tiba-tiba, menyodorkan buku catatannya ke meja Asami.

Asami mendongak, menatap Maya yang tersenyum hangat. Ada kehangatan di mata Maya membuat Asami merasa sedikit lebih tenang.

“Nggak, makasih. Aku nggak butuh,” jawab Asami singkat, menolak tawaran Maya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Maya terdiam, sedikit terkejut dengan reaksi Asami yang tak biasanya.

Biasanya, Asami akan antusias menerima bantuan atau bahkan sekadar bercanda untuk mencairkan suasana, tapi hari ini Asami tampak begitu tertutup. Maya tahu ada yang salah, tapi Asami selalu pandai menyembunyikan perasaannya.

“Asami, kamu bisa cerita apa aja kalau kamu mau. Aku siap dengerin,” kata Maya hati-hati, mencoba membuka ruang bagi Asami untuk bicara.

Namun, Asami hanya menunduk, pura-pura sibuk mencoret-coret bukunya. Dalam hatinya, ia merasa bersalah karena terus menutup diri, tapi ia tak bisa menemukan cara untuk berbicara. Terlalu banyak yang ia rasakan, terlalu banyak hal yang ia sembunyikan.

“Aku... aku baik-baik aja, May,” jawab Asami akhirnya, suaranya datar dan jauh dari meyakinkan. “Aku cuma pengen sendirian.”

Maya mengangguk pelan, memahami isyarat itu. Ia tak ingin memaksa, meskipun ia merasa kasihan melihat Asami yang semakin hari semakin mengasingkan diri.

Saat jam istirahat tiba, Asami memilih untuk tetap di dalam kelas, duduk di bangkunya yang dingin. Teman-teman lain sudah berlarian keluar, memenuhi kantin dengan suara tawa dan obrolan, tapi Asami tetap di tempatnya. Ia membuka buku pelajaran, berpura-pura membaca, padahal pikirannya melayang entah ke mana.

Di sudut kelas, Asami merasa lebih aman. Tak ada yang memperhatikan, tak ada yang menuntut apa-apa darinya. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, meskipun itu berarti menelan kepahitan sendirian.

Setiap hari, Asami semakin terbiasa dengan kesendirian. Ia tak lagi tertarik pada obrolan ringan atau gurauan teman-temannya. Saat orang lain tertawa, Asami hanya tersenyum tipis, tanpa perasaan. Di dalam dirinya, ada kekosongan yang semakin membesar, seperti lubang hitam yang perlahan menelan semua keceriaan yang pernah ada.

Di penghujung hari, Asami berjalan keluar dari sekolah tanpa menoleh ke arah teman-temannya. Ia merasa seperti menjadi bayangan di tengah keramaian—ada, tetapi tak pernah benar-benar terlihat. Ia ingin menangis, berteriak, melepaskan semua yang ia rasakan, tapi ia tahu itu tak akan mengubah apa pun.

Asami terus melangkah, semakin tenggelam dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri. Di balik sikapnya yang pendiam, Asami menyimpan luka yang tak seorang pun tahu. Ia memilih untuk bersembunyi di balik topeng ketenangannya, berharap suatu saat akan ada seseorang yang benar-benar mengerti.

Namun untuk saat ini, ia hanya ingin hilang dalam kesunyian, bersembunyi dari dunia yang terus memberinya ekspektasi tanpa henti.

...******...

1
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Oksigen🍂¢°2🫧
Walaikumsalam
mayang sari
Halo, aku pembaca baru, ceritanya menarik kak.
Semangat ya🙂
mayang sari: sama-sama🙂
Dylan_Write: Halo kak Mayang. Terima kasih sudah mampir/Smile/
total 2 replies
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Oksigen🍂¢°2🫧
iklannn meluncur ,☄️☄️☄️☄️
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Oksigen🍂¢°2🫧: 🤣🤣🤣🤣,
Sama sama kak
Dylan_Write: Iya kak, aku daritadi maraton baca cerita sendiri jga udh 5x nontonin ads/Facepalm/
Btw makasih udah mampir lagi kak/Smile/
total 2 replies
Lyuraaaaa
Kasian si Zayyan/Scowl/
pasti dia ngerasain hal itu tapi tetep berusaha buat nahan rasa sakitnya tanpa harus di luapkan.
Tak bisa berbicara juga tak ingin merasa sakit/Scowl/
semangat Zayyan kamu pasti bisa membuat Asami jatuh hati sama kamu. . .
Dylan_Write: Terima kasih udah baca sampai sini/Whimper/
total 1 replies
ussy kusumawati
semangat💪🏻💪🏻
Anna🌻
kak aku mampir, semangat terus ya💖
Dylan_Write: Halo Anna, terima kasih sudah mampir~
Semangat juga dalam beraktivitas^^
total 1 replies
オーロラ79
😂😂😂😂😂😂
オーロラ79
Foolback ya kak! 😁
オーロラ79
Mampir aku kak KenKen... Sepertinya menarik...😊🍻
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Oksigen🍂¢°2🫧
semangat kak,saya malah lagi ongoing bab 6 🥹🥹
masih jauh...saling support yaa
Dylan_Write
Halo~
Ini karya pertamaku di sini. Hope this book can make all of you enjoy reading!
Masih banyak kekurangan dalam buku ini, tapi aku selalu berusaha memperbaikinya hari demi hari.
Mohon dukungannya~!
Anonymous
NEXXTTTTT
Gresiaa_.
semangat thorr...
Arisena
Coba-coba baca novel romansa, kyknya oke juga
smgt thor💪
Dylan_Write: Terima kasih banyakkkk
total 1 replies
Salsabila
mampir juga ya ke cerita ku💕
Salsabila
cerita nya seru
Una loca(。・`ω´・)
Memikirkan ulang
Dylan_Write: Terima kasih sudah mampir dan membaca. Dukunganmu sangat berharga(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!