[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 | Kabur
Kami sampai di salah satu restoran mewah, suasana di dalamnya begitu elegan. Lampu-lampu gantung yang berkilauan menciptakan nuansa hangat, sementara aroma masakan yang lezat menguar di udara. aku sudah tidak takjub lagi karena terbiasa dengan suasana ini. Restoran yang kupilih sekarang sudah pernah aku kunjungi sebelumnya.
“Pesan sesukamu,” kata papa sambil menyodorkan buku menu ke arahku.
“Aku mau pasta carbonara, ya!” jawabku, penuh semangat.
Tidak lama kemudian, pelayan datang dan mencatat pesanan kami, lalu kembali dengan makanan yang menggugah selera. Setelah makanan disajikan, kami menyantapnya dengan nikmat, setiap suapan makanan seakan berdansa di lidah kami.
“Setelah ini, kamu mau pergi ke mana lagi?” tanya papa, sambil menyuapkan potongan pasta ke mulutnya. “Kita bisa menghabiskan waktu bersama.”
“Bukankah papa masih ada pekerjaan?” balasku, sedikit khawatir.
“Itu bisa ditunda,” kata papa sambil tersenyum lebar.
Aku tertegun sejenak, tak menyangka bahwa papa rela mengorbankan pekerjaannya demi aku seorang. Kami berdua berjalan keluar restoran setelah menyantap habis makanannya. Cuaca di luar sangat menyegarkan dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut.
“Bagaimana kalau kita pergi ke alun-alun kota?” usulku. “Aku ingin melihat bunga-bunga yang bermekaran di sana.”
“Alun-alun kota? Baiklah ... semua untukmu, darling!” papa menyetujui keinginanku, senyumnya tak pernah pudar.
Dia tidak tahu bahwa aku telah merencanakan sesuatu yang besar dan untuk itu, aku harus meninggalkan papa. Maafkan aku papa, aku terpaksa melakukannya meski akan membuat papa marah besar nantinya.
“Pa ... sepertinya aku harus pergi ke toilet,” ucapku sedikit panik.
“Oh, kalau begitu. Kembalilah ke dalam restoran. Papa akan menunggu di sini,” kata papa, lalu menyuruh Nova dan Tiana untuk mengantarku.
Nova dan Tiana memang selalu bersamaku ke mana pun pergi. Mereka adalah pelindungku dan hari ini, aku akan menyusahkan mereka berdua.
Aku berjalan kembali ke dalam restoran, menyusuri lorong yang dipenuhi aroma makanan lezat. Begitu aku tiba di toilet, suasana sepi menyambutku. Aku melangkah ke salah satu bilik dan menutup pintunya. Sedangkan Nova dan Tiana, mereka berjaga di depan toilet seperti biasa.
Alasan aku memilih restoran ini adalah karena di dalam bilik toilet terdapat jendela yang cukup seukuran badanku. Tanpa ragu, aku naik ke atas kloset duduk untuk meraih jendela itu. Dengan satu tarikan napas, aku bertekad untuk melangkah keluar dari jeratan sangkar emas yang selama ini mengurung diriku.
Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar, aku berhasil membuka jendela dan melompat keluar di gang belakang restoran yang sempit. Kakiku menjejak tanah dengan lembut, kemudian aku langsung merasakan kebebasan. Meskipun aku tahu ini adalah risiko besar, rasa ingin tahuku mengalahkan semua rasa takut yang ada.
Membayangkan apa yang mungkin aku temukan membuatku bergetar. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali aku melangkahkan kaki ke sekolah lamaku yang entah kenapa tidak ada di ingatanku.
Semua orang akan bilang aku gila, hatiku tak bisa ditahan.
Aku menyelinap pergi dari gang di belakang restoran itu, kaki ini melangkah cepat, menuju taksi yang sedari tadi menunggu di seberang jalan raya.
“Taksi!” teriakku, tangan melambai.
Taksi berhenti di sampingku dan aku segera melompat masuk. Supir taksi menatapku melalui kaca spion.
“Ke mana, Nak?” tanyanya.
“Ke Colian Junior Boarding School,” jawabku singkat.
Supir itu mengangguk lalu mobil melaju ke tujuan yang aku inginkan.
...... ...
Perjalanan terasa seperti waktu yang terhenti. Tak butuh waktu lama untuk sampai di sekolah itu. Daerah pinggiran kota ini memang sungguh sangat sempit. Saat taksi melewati gerbang sekolah, jantungku berdebar kencang. Seolah ada sesuatu yang menanti di balik gerbang, sebuah misteri yang harus aku dipecahkan.
Taksi berhenti dan aku membayarnya. Melangkah keluar, aroma segar rerumputan dan pohon-pohon yang tinggi menyambutku. Segalanya terlihat sama seperti dulu, aku berdiri di depan bangunan sekolah asrama elit ini.
Dengan langkah ragu, aku memasuki area sekolah. Tidak tahu mulai dari mana aku harus mencari petunjuk.
“Nak, sedang mencari apa?” tanya seseorang yang melihatku kebingungan.
Satpam sekolah itu berdiri di dekat pintu gerbang, wajahnya bersinar di bawah sinar matahari yang menyinari halaman sekolah.
“Pak, sudah lama tidak bertemu,” ucapku, berusaha menyapa dengan ramah meskipun aku tidak mengenalnya.
“Eh, iya ... Anda siapa ya?” tanyanya, menatapku dengan penuh rasa ingin tahu.
“Saya alumni di sini. Apa Bapak satpam yang baru?” tanyaku, hanya sekadar basa-basi.
“Tidak,” jawabnya sambil menggeleng. “Saya sudah bekerja di sini selama lima tahun.”
Bodoh sekali aku tidak mengenali satpam sekolahku sendiri. Dalam hati, aku berusaha menepis rasa maluku. Aku tetap tersenyum, mencari cara untuk melanjutkan percakapan yang terasa canggung ini. Kebetulan, aku memiliki pertanyaan yang sudah lama ingin aku lontarkan.
Aku mendekat dan merendahkan suaraku pada satpam itu. “Kalau Bapak sudah bekerja lama di sini, pasti tahu kan tentang kejadian tiga tahun yang lalu?”
Satpam itu tersentak kaget. “Jangan-jangan, Anda ingin tau tentang kejadian beberapa anak yang meninggal karena gempa waktu itu?”
“Gempa? Bukan, maksud saya, anak yang pernah hanyut di sungai belakang asrama.”
Pertanyaan yang aku lontarkan membuat satpam itu gelagapan.
“Anak yang hanyut?” Dia berpikir sejenak, mengingat peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu. “Kalau nggak salah ... ada dua anak yang hanyut di sungai itu dalam waktu berdekatan.”
Aku terkejut. Dua orang? Dalam ingatanku, hanya ada satu nama yang kuingat pernah hanyut dalam sungai, Kian Hanami.
“Apa Bapak tahu lebih banyak tentang peristiwa itu?” tanyaku, penuh penasaran.
Satpam itu menghela napas, seolah enggan mengingat kembali. “Anak yang hanyut di sungai ada dua orang. Satu perempuan, lalu yang satu lagi laki-laki. Memangnya kenapa Anda ingin tau?”
Dia menatapku dalam-dalam, seolah berusaha melihat seberapa jauh aku benar-benar ingin tahu.
“Apa Bapak tau siapa kedua anak itu? Kalau tidak salah anak perempuan itu dibunuh sebelum dihanyutkan di sungai, apa benar?” suaraku makin merendah, hingga berbisik.
“Iya ...” jawabnya ragu dan pelan.
“Saya pernah mendapat laporan, ada orang asing menyelinap di salah satu kamar asrama. Orang asing itu yang membunuh dan menghanyutkannya di sungai. Lalu ... anak itu ditemukan keesokan harinya oleh beberapa warga. Di hari yang sama, malam-malam saya menemukan anak laki-laki yang hanyut saat pulang bekerja.”
Wajah satpam itu tampak pucat, keringat mulai membasahi pelipisnya. Dia terlihat tertekan, seolah menyimpan beban yang terlalu berat untuk diungkapkan.
“Selain itu, saya tidak tahu detailnya,” lanjutnya, suaranya bergetar dan dia takut untuk menatap mataku. “Pihak sekolah melarang wartawan meliput tentang peristiwa tersebut. Semua polisi yang datang ke mari juga dibungkam agar nama baik sekolah tidak tercoreng.”
Satpam ini pasti tidak tahu lebih dalam tentang peristiwa itu. aku memutuskan untuk beranjak pergi saja dari sini.
“Ah, kalau begitu, terima kasih, Pak,” kataku, hendak beranjak pergi, tetapi satpam itu memanggilku kembali.
“Sebentar, Nak. Jika Anda ingin tahu lebih banyak, mungkin sebaiknya Anda berbicara dengan guru yang mengajar di sini,” katanya, nada suaranya sedikit lebih tenang. “Mereka mungkin tahu lebih banyak tentang kejadian itu.”
Aku mengangguk, menghargai sarannya. Semakin banyaknya informasi yang kudapat, semakin banyak juga pertanyaan baru yang bermunculan.
......
...
- Hansel itu cowok apa cewek sih?😁
- Perkembangan ceritanya bakal rumit saat Zee satu tim dengan cowok idaman Nisa
- Tuduhan macam apa yang ada disurat itu?
- kenapa Ree dan Zee tidak pulang bersama?
Ceritanya bagus suka❤