Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Kemelut rumah tanggaku yang penuh drama masih berlanjut.
Mas Sigit tak kunjung menghubungiku. Hal itu membuatku gelisah. Dokter Agam yang duduk di depanku pun ikut cemas melihatku.
"Sudah hampir malam, saya ingin tau keadaan Bulan.." ucapku lirih dengan mata berkaca-kaca.
Ibu dan pak Dokter iba melihatku.
"Karena sampai saat ini belum ada kabar dari mereka. tidak ada salahnya sekarang kita berusaha mencari tau. Biar aku antar kesana."
Aku tidak bisa menolak pertolongannya. karena memang saat ini aku tidak punya siapa-siapa yang bisa di andalkan.
Dengan berbekal restu dari ibuku, kami berangkat menaiki sepeda motor milik dokter Agam. Karena kalut, sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. aku tidak sadar kalau pria di depanku itu sedang mengawasi ku dari kaca spion.
Dia tidak bicara sepatah katapun. mungkin mengerti dengan kekalutan ku.
Perjalanan yang hanya berjarak satu kelo meter itu terasa sangat lambat bagiku. Padahal dokter Agam sudah memaksimalkan kecepatan laju motornya.
Saat aku turun dari boncengannya, dia sempat berpesan,
"Ingat, jangan terpancing emosi. hadapi dengan tenang."
Aku hanya mengangguk dan berjalan tergesa. Saat ini pikiranku hanya kepada Bulan, sedang apakah dia disana, menangis kah? Karena Bulan tidak terbiasa jauh dariku.
Langkah Dokter Agam menyamai langkahku hingga kami berjalan sejajar.
Dari luar , rumah besar itu terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada anak kecil di dalam. Lalu dimana Bulan?
Dengan menenangkan diri. Aku mengetuk pintu.
Dengan tak sabar aku menunggu pintu itu terbuka.
"Kau, May..?" wajah ibu mertua nongol.
Dokter Agam memberiku isyarat agar aku tenang.
"Aku kesini untuk menjemput Bulan." ucapku langsung ke inti masalah.
bukannya mempersilakan kami masuk. dia malah menyender di pintu.
tatapannya penuh curiga kearah kami.
"Siapa, Bu?" suara yang sangat aku kenal terdengar.
"May, akhirnya kau datang juga. Bu, kasih dia masuk." ucapnya menerobos keluar.
Tapi senyumnya seketika lenyap saat melihat Dokter Agam.
"Dia lagi...' gumamnya malas.
"Aku tidak mau berbasa basi. aku kesini mau menjemput Bulan." ucapku tegas.
"Aku pikir kau sudah sadar setelah tau rasanya jauh dari anakmu..."
"Dimana Bulan?" suaraku setengah membentak. Tanpa menunggu jawaban aku menerobos masuk. Tak perduli dengan ibu mertua yang menghalangiku.
Dengan geram aku mencari di setiap kamar namun tidak ada.
"Dasar tidak tau tatakrama..!" omel Bu Karti, tapi aku tidak perduli.
"Dimana anak ku?" aku menatap mas Sigit dengan geram.
"Bulan aman bersama kami. Kau tidak usah khawatir. Tapi kalau kau ingin tetap bersama Bulan, kau harus kembali kepadaku dan tinggal di rumah ini lagi." mas Sigit memberiku pilihan yang sulit.
"Ibu benar-benar tidak mengerti, apa sih yang masih kau harapkan darinya? Jelas-jelas dia sudah tidak mau kembali, ceraikan saja.." tukasnya dengan kasar.
Aku tau, dari awal mertuaku itu tidak pernah suka padaku. Tapi kata-katanya yang pedas tetap saja membuat dadaku berdenyut nyeri.
"Maaf, sebagai orang tua, seharusnya ibu menyarankan yang baik. Bukannya menambah keruh suasana. Perceraian sangat di benci oleh Allah." Dokter Agam akhirnya bersuara.
"Sebaiknya anda diam. Kami tidak memberi hak pada anda untuk bicara. Sok bawa-bawa agama segala. Lalu mengantar istri orang malam-malam apakah itu di benarkan?" tukas Mas Sigit dengan sengit. dia merasa punya senjata untuk menyerang balik.
Dokter Agam terdiam.
"Diam, kan? Makanya.. Koreksi diri dulu sebelum bicara." ujarnya lagi.
"Aku hanya mengingatkan agar kalian tidak berpisah. Aku mengantar May agar kalian bisa bicara baik-baik, hanya itu."
Aku yang tidak tahan karena Mas Sigit menuduh Dokter Agam yang tidak-tidak.
"Kau keterlaluan, Mas. Dokter Agam bermaksud baik. Kau malah menuduhnya yang tidak-tidak." memang kenyataannya begitu. Dia ada disini sekarang hanya karena aku yang menghubunginya.
Mas Sigit hanya tersenyum bisnis.
"Keputusan Sigit sudah jelas. Kau bisa bersama Bulan kalau kau juga mau kembali." ujar wanita yang bergelar mertua itu dengan senyum sinis. aku kenal dia. Dia pikir aku tidak tau niatnya yang sebenarnya? tentu saja dia berusaha membawaku kembali, bukan karena aku menantunya, melainkan babunya yang bisa meringankan pekerjaan nya. Jelas saja aku tidak sudi. tapi bagaimana dengan Bulan.
Aku baru sadar kalau sejak tadi kami tidak melihat keberadaan Rani dan Tara juga. Apakah mungkin mereka bersama Bulan saat ini?
"Mas, aku kehilangan kesabaran. kalau kau tidak mau memberikan Bulan, aku akan lapor polisi." ancam ku serius.
"Lapor polisi? Yang benar saja? Atas kasus apa? Yang ada justru kau yang di tertawakan. Mana ada seorang ayah menculik anak kandungnya." mas Sigit kembali tertawa sinis.
Dadaku turun naik menahan amarah, tapi
dia malah meraih tanganku sambil berkata,
"Ayo masuk, kau akan bertemu Bulan, biarkan saja dokter itu pulang sendiri."
Aku menghempas tangannya dengan kasar.
"Baiklah, sekarang aku tidak bisa membawa Bulan. tapi aku belum menyerah. Awas saja kalau Bulan sampai lecet sedikit saja, aku akan menuntut kalian." aku mengajak dokter Agam meninggalkan rumah itu dengan kecewa.
Tak ku sangka, mas Sigit menghadang dan bersimpuh di kakiku.
"May, maaf atas semua ucapan ku tadi,, aku hanya bercanda. Sungguh.. aku tulus memohon. tinggal lah demi Bulan..." dia memohon persis seperti seorang anak kecil yang meminta permen.
Sejenak aku terpana oleh air matanya. Tapi kemudian sadar kalau pria itu tidak bisa di percaya lagi.
Tanpa berkata apapun aku melewatinya.
"May...!" dia berteriak sambil mendengus. aku sudah tidak perduli.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Dokter Agam di sampingku
"Kita pulang, Dok. Tidak ada gunanya diam sini. tidak akan membawa Bulan kembali padaku." ucapku putus asa.
"Kau yakin?"
Aku mengangguk.
***
Sementara itu di rumah Sigit. perdebatan hebat terjadi antara Sigit dan ibunya..
"Sudah diam. Buat apa kau menangisi wanita yang tidak perduli lagi padamu. Lupakan dia, masih banyak wanita yang mengantri jadi anggota keluarga kita. Biar tau si May.."
"Tidak, Bu. Aku masih mencintainya. aku tidak mau dengan yang lain. Aku tidak rela melihatnya bersama pria lain..." rintih Sigit.
"Kau laki-laki.. dimana harga dirimu? Jangan kejar wanita yang tidak menghargai mu."
"Apapun penilaian ibu, aku tidak akan menceraikannya. Dia istriku..." Sigit berkeras.
"Lalu bagaimana dengan Rani? Dimana tanggung jawab mu, ibu yakin arwah Didit menderita karena melihat Rani di sia-sia kan." omel ibunya.
"Kita catokan saja pria lain untuk menikahinya, jangan aku. Aku sudah punya istri dan anak."
"Kalau pria lain, Tara akan punya ayah tiri. Ibu tidak rela cucu ibu di siksa ayah tirinya." mereka mempertahankan kan argumen masing-masing.
"Cobalah buka hati mu untuk Rani. Dia akan jadi istri yang baik buatmu, Nak." bujuk Bu Karti lagi.
"oh,, ya. cepat suruh mereka pulang, bilang kalau May sudah pulang."
Rupanya mereka meminta Rani dan Tara bermain di gudang belakang saat May datang.
"Sudah aman, kan?" Tanya Rani sambil mengibaskan rambutnya.
"Merepotkan saja, gak ibu, gak juga anaknya.." keluhnya setengah berbisik.
"Bulan senang mainnya tadi?" Sigit memangku anaknya. Bulan mengangguk.
"Mainan kak Tara banyak.." ucapnya polos.
"Berarti Bulan suka tinggal bersama ayah dan nenek. besok ayah belikan mainan kayak kaka Tara." ucap Sigit sambil merangkul anaknya . Bu Karti dan Rani tersenyum sinis kearah ayah dan anak itu.
"Tapi tetap saja Bulan ingin ibu..." celetuk bocah itu tiba-tiba.
Mereka saling pandang tak tau harus menjelaskan apa kepada anak sekecil itu.