"Dia membuang sebuah berlian, tapi mendapatkan kembali sesuatu yang kurang berharga. Aku yakin dia akan menyesali setiap keputusannya di masa depan, Illana."—Lucas Mathius Griggori.
Setelah cinta pertamanya kembali, Mark mengakhiri pernikahannya dengan Illana, wanita itu hampir terkejut, tapi menyadari bagaimana Mark pernah sangat mengejar kehadiran Deborah, membuat Illana berusaha mengerti meski sakit hati.
Saat Illana mencoba kuat dan berdiri, pesona pria matang justru memancing perhatiannya, membuat Illana menyeringai karena Lucas Mathius Griggori merupakan paman Mark-mantan suaminya, sementara banyak ide gila di kepala yang membuat Illana semakin menginginkan pria matang bernama Lucas tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Eclaire, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Pria bodoh itu.
"Maaf, Nona. Tuan Mark tiba-tiba berusaha—"
"ILLANA!"
Kelopak mata wanita itu berkedip menanggapi kemunculan Nora tanpa ketukan pintu, lantas disusul oleh Mark bersama ekspresi penuh kejengkelan menghiasi wajahnya.
"Maaf, Nona. Aku tak bisa menahan Tuan Mark, dia—"
"Bukan masalah, tinggalkan kami di sini, Nora."
Sekretarisnya mengangguk sebelum keluar dan menutup pintu, membiarkan Mark berdiri di seberang meja kerja Illana tanpa mengubah ekspresinya. Terlihat seperti buaya kelaparan yang ingin segera menerkam Illana hidup-hidup.
"Ada apa tiba-tiba muncul di kantorku, aku merasa tak mengundangmu kemari." Illana bersikap santai tanpa beranjak dari kursinya.
"Ada apa katamu? Jangan berpura-pura di belakangku, Illana. Bukankah kamu yang melakukannya? Kamu kesal karena aku merebut lukisan itu, sehingga kamu membalas dendam."
"Lukisan? Dendam?" Seluruh perhatian Illana berhasil mengarah pada Mark. "Apa maksudmu? Bukankah kita sempat berbicara tentang hal ini?"
"Ya. Namun, aku yakin kamu berada di belakang aksi tak terpuji ini." Mark mengeluarkan ponsel, membuka galeri, lalu meletakan benda itu pada permukaan meja agar Illana dapat melihat gambar di sana. "Jangan berpura-pura polos di depanku."
Illana meraih ponsel tersebut, sebuah foto lukisan renaissance tergeletak di lantai dengan kaca pelindung pecah berserakan, pemandangan paling mengerikan dari momen tersebut adalah kata 'DUMB' ditulis menggunakan cat semprot warna hitam pada permukaan lukisan.
Illana masih bersikap biasa saja meski telah melihat foto tersebut. "Apa hubungannya denganku?"
"Semua ini perbuatanmu, bukan? Meski kamu sempat mengatakan tidak peduli, tapi sebenarnya kamu sangat kesal terhadap tindakanku."
"Apa kamu sudah gila? Kamu tiba-tiba muncul di kantorku, menuduh sekaligus mengolok pemiliknya telah melakukan hal bodoh seperti ini."
"Hal bodoh? Itu tindakan jahat, Illana! Mengapa kamu melakukannya? Kamu membuat Deborah menangis pagi ini. Jika kamu kesal terhadapku, lampiaskan saja kepadaku, tapi jangan melukainya!"
Illana bergeming, sorot matanya berubah, sepasang tangan di antara laptop terkepal di sana, ia menatap dingin pria itu.
"Aku membawa pulang lukisan itu ke penthouse, memasangnya di ruang utama, lalu saat Deborah bangun pagi ini, dia terkejut melihat lukisannya telah hancur. Semua ini ulahmu, bukan?"
Selalu tepat, cinta seringkali membuat siapa pun bersikap bodoh dan konyol. Illana menemukan sikap itu pada diri Mark sekarang.
"Penthouse?" Ia tertawa mengejek. "Aku tak melakukan hal itu, seharusnya periksa CCTV sebelum menuduhku."
"Aku telah memeriksanya. Ada dua pria dengan masker di wajahnya muncul, mereka memukul kaca pelindung menggunakan tongkat baseball saat kami beristirahat."
"Wah! Kalian pasti terlelap nyenyak, sehingga tidak mendengar keributan di sana." Ia tersenyum miring, sengaja mengolok kekonyolan mantan suaminya.
"Akui saja jika kamu memang penyebabnya, Illana. Selain diriku, hanya kamu yang mengetahui kode pintu masuk penthouse itu, aku belum mengubahnya sejak kita berpisah."
"Lantas, hanya karena beberapa poin yang kamu sebutkan, kamu segera menuduhku, huh? Mengapa isi kepalamu sangat kotor."
"Illana. Aku hanya ingin kamu mengakuinya dan meminta maaf."
Wanita itu beranjak seraya membentak. "BAJINGAN! AKU TAK MELAKUKAN APA PUN TERHADAP LUKISANMU. AKU JUGA TAK MEMERINTAHKAN SIAPA PUN MERUSAK BENDA ITU, AKU TAK MEMILIKI WAKTU SERTA NIAT YANG KOTOR SEPERTI ISI KEPALAMU, SIALAN!!!"
"Kamu bahkan emosi, huh?"
Pria ini benar-benar mempermainkan suasana hati Illana. "Aku telah menahan kesabaran, tapi kamu terus menuduhku, Mark. Jika kamu pintar, mengapa tidak mencoba menelusuri jejak pelaku. Mengapa harus aku yang menjadi pelakunya!!!"
"Karena kamu yang paling kecewa karena aku merebut lukisannya. Apa aku salah?"
Sepasang mata Illana mulai berkaca, ia menahannya agar tidak terjun. "Kamu mengatakan hal seperti ini seolah tidak pernah hidup berdampingan denganku. Ya, meski hanya dua tahun, tapi seharusnya kamu mengenali karakterku. Apakah aku wanita yang sangat bernafsu memulai keributan? Sial." Bendungan air matanya tak sanggup bertahan lama, ia menangis di depan Mark. "Juga, aku tidak pernah menyakiti kekasihmu. Kamu marah karena dia menangisi lukisan yang hancur? Aku merasa bodoh karena menangisi hubungan pernikahan yang hancur, tak ada bandingannya."
"Kalian tidak sebanding."
"Tentu saja tidak! Aku tak pernah merebut siapa pun! Jadi, pergilah, Mark. Kamu takkan mendapat pengakuan apa pun dariku karena bukan aku pelakunya. Tinggalkan ruangan ini dan usap air mata wanitamu sebelum kering." Ia menyambar gagang telepon kabel di samping laptop dan berbicara pada seseorang. "Panggil keamanan agar datang ke ruanganku. Bawa keluar pria ini, aku sangat terusik dengan kehadirannya."
"Aku bisa keluar sendiri. Namun, aku takkan membiarkanmu bertindak lebih jauh. Aku akan menikahinya." Ia bergegas keluar dari ruangan tersebut setelah menekan keinginannya, memantapkan hati melukai Illana lebih dalam.
Illana tertawa saat kembali duduk. "Pria bajingan. Mereka yang menyakitiku, tapi merasa menjadi korban. Kabar paling konyol dari bibirnya adalah mereka tinggal bersama di penthouse pemberianku. Pasangan sialan!"
***
Kehadiran Mark yang menerobos masuk ruangan Illana tanpa izin serta pertengkaran mereka—membuat banyak karyawan menggosipkannya, sebagian menduga situasi paling memungkinkan setelah Mark pergi.
Sementara Illana berusaha meredam emosi, ia berdiri menghadap jendela kaca yang hampir mengelilingi separuh ruang kerjanya dari lantai lima belas gedung pencakar langit tersebut.
Illana bergeming, meski sadar tuduhan Mark memang salah, tapi foto kekacauan pada lukisan tersebut membuat Illana berpikir keras—mencoba menebak pelaku di belakangnya.
"Aku benci situasi ini, aku tidak suka menebak pelaku, aku bukan detektif. Mark memang sangat keterlaluan. Sekarang semua orang kembali membicarakanku bersama asumsi liar di kepala mereka."
Ia menghubungi seseorang tanpa berpindah posisi. "Nora, tolong bawakan sebotol wine ke ruanganku. Keributan yang dilakukan Mark membuat kepalaku menjadi pening."
"Tapi, Nona—"
"Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu mengalihkan pikiranku, lagipula tak ada pertemuan dengan siapa pun sepanjang siang hingga sore nanti, bukan?"
"Ya, Nona. Aku akan membawakan wine ke ruanganmu."
"Terima kasih banyak."
Illana mendengkus, mungkin tidak apa-apa jika dia ingin menghibur diri menggunakan beberapa gelas alkohol di ruangannya sendiri, bukan sebuah bar—sehingga tak perlu bersinggungan dengan pria jahat yang akan memanfaatkan situasinya.
Tak berselang lama Nora benar-benar datang seraya membawa sebuah shopping bag berisi sebotol wine beserta gelasnya, ia sengaja menyembunyikan benda ini dari pandangan karyawan lain agar mereka tak semakin jauh menggunjing Illana.
"Kamu ingin minum denganku, Nora?"
Sekretarisnya menggeleng. "Tidak, Nona. Aku masih memiliki beberapa pekerjaan."
"Baiklah, mungkin hanya dua atau tiga gelas. Aku janji takkan mabuk di sini."
"Aku permisi."
Illana duduk di sofa, menuang anggurnya sendiri, menikmati momen kesepian.
"Setiap pasangan memang berhak hidup di sebuah flat yang sama, tapi mengapa harus penthouse itu, huh? Apa mereka tak sungkan melihat setiap sudut ruangan di sana sempat menjadi saksi aktivitas harianku? Mereka berhubungan badan di ranjang itu? Bajingan. Kalian memang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Seharusnya aku bakar penthouse itu sebelum meninggalkannya hari itu."
***