Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersinggungan
...••••...
Membuka pintu kafe hingga terdengar suara sebuah lonceng ketika Echa masuk dan langsung mengedarkan pandangan guna mencari orang yang akan dia temui.
Di sudut kafe, seorang wanita langsung melambaikan tangannya ketika netranya menangkap keberadaan Echa.
Echa langsung berjalan menghampiri wanita dengan rambut berwarna ginger itu. Setelah di meja, Echa memeluk wanita itu singkat sekedar salam pertemuan setelah sekian lama tidak bertemu.
"Narecha, ya ampun, aku kira kamu udah meninggal tau ngga setelah lima tahun ngilang tanpa jejak kaya begitu." Wanita itu langsung membombardirnya dengan kalimat panjang yang malah membuat Echa tersenyum bukannya tersinggung.
"Maaf Mita, sayang sekali aku masih hidup."
"Iya masih hidup orang kamunya sekarang ada didepan aku, mana tambah cantik lagi." Wanita bernama Mita itu masih terlihat takjub melihat keberadaan Echa didepannya.
Echa itu bisa dibilang orang yang begitu populer di universitasnya dulu. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal seorang Narecha Ayuningtyas. Seorang wanita yang memiliki paras begitu menawan. Bukan hanya itu saja, perilaku dan sikap yang selalu ditunjukkannya membuat orang-orang begitu mendambakannya.
Lagi, Narecha berasal dari keluarga yang statusnya bukan sembarang. Echa lahir dan besar di sebuah keluarga yang memiliki kekayaan tidak ada habisnya.
Setidaknya itulah yang orang-orang tahu mengenainya. Echa akui jika dirinya memang termanjakan oleh harta itu. Tapi, untuk apa semua yang dinikmatinya itu jika Echa sendiri harus berada diantara orang-orang yang tidak menginginkan kehadirannya.
"Jadi, gimana?" Echa bertanya setelah keduanya menghabiskan makanan yang dipesan.
"Pas banget kamu hubungin aku, ada posisi di sekolah yang saat ini lagi kosong."
Sontak Echa bernafas lega mendengarnya. Permohonannya terkabulkan.
"Maaf ya, jika datang-datang aku minta kamu seperti ini," Echa meringis tidak enak.
Sedangkan Mita mengibaskan satu tangannya, "Kan udah dibilang, kalau kamu butuh sesuatu bilang aja sama aku. Toh permintaan kamu ini engga ada bandingannya sama bantuan yang kamu lakukan sama aku dulu." Ujar Mita membuat perasaan tidak nyama Echa menghilang sedikit.
"Iya-iya,"
"Kamu bisa ngajar mulai Senin nanti." Beritahu Mita membuat Echa menganggukkan kepalanya. Berarti itu tiga hari lagi.
"Alamatnya masih sama kan?"
"Ya iyalah Narecha, masa sekolahnya pindah, malahan kini bangunannya udah banyak bertambah," jelas Mita.
"Wah ngga sabar jadinya aku buat ngajar." Echa mulai membayangkan dirinya yang tengah mengajar didepan banyaknya anak-anak.
"Nanti kamu tinggal datang aja, semuanya udah aku siapin. Dan ini untuk id card buat masuk nanti.
Mita mengeluarkan id card dari tasnya yang tertera nama lengkap Echa juga posisi yang akan dia isi.
"Kamu beneran seniat ini sampai-sampai id card juga udah disiapin." Echa menerima id card itu lalu membolak-balikkan kartu yang sudah tertera namanya itu.
"Jelas dong,"
"Nah, aku ngga bisa lama-lama ini, aku harus jemput anak di Bandung di rumah neneknya." Mita memasukkan ponsel dan juga lipstiknya ke dalam tas.
"Anak kamu pasti udah besar ya." Echa membayangkan anak Mita yang sekarang pasti sudah besar. Sebelum Echa pergi, Mita memang tengah mengandung anak pertamanya.
"Bener, anak aku udah gede ada dua lagi sepasang."
"Wah, harus ketemu sih nanti, ngga sabar lihat mereka."
"Harus itu, nanti aku bawa mereka buat ketemu sama kamu."
Mita yang sudah buru-buru langsung pamitan meninggalkan Echa yang masih menikmati minuman terakhir yang mendadak dia pesan karena melihat di buku menu.
Rintik hujan mulai membasahi jalanan yang sebelumnya kering membuat Echa terjebak di kafe yang kini mulai sepi.
Echa menikmati pemandangan itu dengan khidmat. Melihat hujan deras seperti itu membuat Echa teringat kenangan bersama anak-anak ditempatnya dulu yang selalu main hujan-hujanan.
Kini Echa tidak bisa melakukannya. Akan terlihat aneh jika wanita dewasa seperti dirinya main hujan-hujanan di jalanan yang dipenuhi lautan manusia seperti ini.
"Narecha?" hingga suara maskulin terdengar membuat lamunan Echa buyar.
Menatap kedepannya, Echa terpaku ketika mendapati seseorang yang tidak dia perkiraan akan bertemu dengannya dari sekian banyak orang yang dikenalinya.
"Mas Pram," bisik Echa yang masih dalam keterpakuannya.
Pram terlihat menarik kursi yang sebelumnya ditempati Mita lalu duduk diatasnya. Tanpa meminta izin pada Echa apakah dia diperbolehkan untuk duduk didepannya.
Belum ada satu patah kata lagi yang keluar dari mulut pria didepannya membuat Echa bingung harus seperti apa.
"Mas, apa kabar?" setelah lama terdiam, kalimat itu keluar dari mulut Echa yang kentara sekali jika wanita itu tengah tidak nyaman dengan posisinya.
"Setelah menghilang sekian lama hanya itu yang bisa kamu tanyakan?"
Lidah Echa kelu untuk mengeluarkan kalimat yang tertahan di tenggorokannya.
"Mas,"
"Sudah kasih kabar keluarga jika kamu kembali?"
Echa menggelengkan kepalanya dengan kepala menunduk. Sungguh, Echa merasa jika dirinya masih sama seperti dulu meskipun sudah menghilang beberapa tahun.
Echa selalu tidak bisa menghadapi Pramudya Angkasa yang senantiasa mengeluarkan aura dominan bertumpah tumpah hingga membuat orang yang berada disekitarnya terasa sesak akan keberadaannya.
"Mereka terus mencari kamu Narecha."
Sungguh, Echa merasa tidak nyaman ketika Pram memanggil nama lengkapnya. Entah mengapa, Echa merasa jika Pram memanggil namanya membuat dadanya semakin berdebar kencang dan membuatnya kesulitan bernafas.
Terdengar berlebihan, tapi memang itulah kenyataannya.
"Ketika ada orang yang berbicara kamu harus menjawabnya Narecha." Pram menumpuknya kedua tangannya yang saling bertaut diatas meja dengan badan yang semakin condong mendekati Echa.
"Iya mas, nanti aku pulang,"
"Secepatnya."
"Iya mas, maaf aku harus segera pulang." Saat Echa akan berdiri suara Pram kembali terdengar membuatnya terdiam.
"Di luar masih hujan, setidaknya tunggu sampai reda."
"Iya mas."
Kini Echa merutuki dirinya sendiri karena tidak membawa ponsel. Berdua dengan Pram dimeja yang sama tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya membuat keadaan begitu canggung.
"Kamu hilang selama lima tahun. Sebenarnya pergi kemana kamu itu hingga tidak meninggalkan jejak sedikitpun Narecha?" Pram kembali bersuara membuat Echa mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk.
"Masih di Indonesia kok, lebih tepatnya di sebuah pulau." Echa sengaja tidak mengatakan tempat melarikan dirinya dengan lengkap karena dia tidak ingin ada yang mengetahui tempat persembunyiannya itu.
Pram terlihat menganggukkan kepalanya dengan tatapan matanya yang begitu tajam menghunus pada Echa yang menundukkan kepalanya kembali ketika tidak sengaja mata keduanya bertatapan.
Lima belas menit berlalu, hujan mulai reda menyisakan rintik-rintik kecil membuat Echa bergegas untuk pulang. Echa tidak boleh melewatkan kesempatan itu.
Berduaan dengan Pram sungguh tidak nyaman.
"Mas, aku pulang dulu, permisi." Tanpa berniat untuk mendengar balasan kalimat dari Pram, Echa melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari kafe.
Meninggalkan Pramudya yang menatap kepergian Echa dengan beribu pandangan rumitnya.
...••••...