Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ²²
Arik tidak mengerti apa yang harus dilakukannya di samping Miranda yang masih terlelap dengan darah yang terus keluar dari hidungnya. Dia pun tidak berani menyentuhnya, memandang pun tetap sungkan. Di kamar kosnya, waktu terus bergulir, dari siang menjadi sore, dari gelisah semakin gelisah. Tak tahan dengan itu semua, dia memberanikan diri menelepon Pak Bagyo, menceritakan kondisi Miranda.
Selang setengah jam yang dipenuhi penantian tak sabar, Pak Bagyo masuk ke kamar Arik dengan wajah tak senang!
“Kok iso Miranda semaput?”
Sebelum Arik bisa mengatakan satu kalimat sebagai jawaban, pintu kamarnya mendadak tertutup. Beberapa lelembut yang dilihatnya tadi mengambang di udara, mengepung kamar dan memelototinya.
Arik bersumpah tidak tahu apa-apa. Tidak berani jujur untuk menghindari masalah tepatnya. Tapi susu coklat dingin yang ada di meja kecilnya membuat Pak Bagyo menyentakkan kepalanya ke atas.
“Lihat apa kamu, Rik?”
Arik menggelengkan kepala. “Apa kita perlu membawa Kak Mira ke rumah sakit?”
“Ke Pak Condro lebih tepatnya!” Pak Bagyo berlutut, dia memeriksa denyut nadi Miranda dan mengusap darah yang keluar hidungnya.
“Apa yang kalian lakukan tadi?” Pak Bagyo memandangi Arik yang hampir-hampir tidak berani membalas tatapannya. “Ngomong, Rik!”
“Aku nggak berani, Pak!” Arik menunduk. “Aku takut di pecat.”
“Justru kamu kalo diam terus bakal aku pecat!” Pak Bagyo terlihat gemes-gemes kesal dengan tingkah Arik yang bertele-tele. “Miranda kenapa kok bisa begini?”
“Ada baiknya kita urusan Kak Mira dulu, Pak. Kondisinya sudah pucat.” Kedua kelopak mata Arik justru melebar sewaktu Pak Bagyo menekan kedua sudut bibir Miranda ke atas dan menuangkan susu coklat dingin yang tidak sedingin es ke dalam mulutnya.
“Pasti aneh-aneh toh kalian?” tukas Pak Bagyo sambil berdiri.
Arik malah memandangi gerakan kelopak mata Miranda yang terbuka perlahan-lahan. Ajaib sekali pikirnya, sekotak susu coklat dingin dapat membuat energi seseorang kembali.
“Pak Bagyo pasti sudah tahu kami aneh-aneh gimana!” Arik melewati Pak Bagyo untuk melihat Miranda lebih dekat. “Semua yang ada di hidup Kak Mira gak beres!”
Miranda memejamkan mata lagi meski bibirnya tersenyum lebar. “Aku butuh kamu dan Mbah Redjo untuk bertarung melawan peliharaan Pak Cokro, Bapakku.”
“Punya masalah pribadi jangan dibawa-bawa ke masalah perusahaan, Non.” sela Pak Bagyo. “Nggak bener ini!”
“Hidupku yang nggak benar, Pak.” gumam Miranda dengan sedih. “Gio selingkuh itukan bagian dari kelalaianku. Aku terlalu sibuk dengan kerjaan.”
Pria setengah abad itu menunduk menatap mata Miranda yang berair. Sudah lama sekali dia menjadi bagian dari lingkaran hitam keluarga Condro Wongso. Dia pula yang memilih calon-calon tumbal terpilih—mereka-mereka yang membangkang dan mencurangi perusahaan. Kini, dia tak mengira kejayaan yang telah mengorbankan banyak nyawa harus di lepaskan.
Pak Bagyo menoleh menatap Arik. Dia berkonsentrasi, mencari-cari apa menariknya pemuda desa itu sampai-sampai Miranda cukup gila melawan bapaknya sendiri.
Di sisi lain, Arik tampak terguncang. Pemuda desa itu mengangkat kedua tangannya untuk protes. “Aku nggak ikut-ikutan!”
“Aku mau melepas semua peliharaan Bapak! Aku mau perusahaan berjalan murni tanpa harus memberi tumbal.” sahut Miranda dengan cepat.
“Rik... ini mungkin mustahil dan aneh. Tapi kamu perjaka dan baik hati.”
“Gak ada hubungannya sama itu!” bentak Arik.
Miranda memandanginya dengan saksama. Ada sesuatu di dalam raut wajahnya yang tidak tenang. Sesuatu yang disembunyikan rapat-rapat, sebuah kelembutan dan kepekaan yang sebanding dengan rasa marahnya.
“Mbah Redjo powernya murni, aku tahu, power sesepuh, beliau juga punya teman panglima dan prajurit. Kamu pilihanku, Rik. Aku mohon!” Miranda meraih tangan Arik yang tergantung lemas di sisi tubuh.
“Aku mohon bantu aku lepas dari jerat ilmu hitam warisan Bapak, Rik. Aku mau hidup tenang, aku mau anakku selamat!” Secepat kilat, dia memohon kepada Arik dengan membungkuk di depannya.
Ada rasa tidak percaya yang menyetrum dadanya, dan semacam rasa ingin memukul kepala Miranda sekarang. Arik menatap wanita itu.
“Aku nggak bisa langsung setuju, apalagi membawa-bawa Mbah Redjo. Aku sungkan!”
“Aku tahu.” Miranda kini berdiri setelah menguatkan genggam tangannya pada tangan Arik seraya memancarkan pandangan cantik kepadanya. “Kamu hanya akan jadi alat, tidak terjun langsung.”
Pak Bagyo tiba-tiba memukul tengkuk leher Arik dengan keras sampai dia terjatuh ke pelukan Miranda.
“Aku minta maaf, Rik.” Sekuat tenang Miranda menahannya sebelum Pak Bagyo mengambil alih tubuh Arik yang tidak sadarkan diri. “Bawa dia ke mobilmu, Pak!”
“Siap, Non.” Pak Bagyo mengambil kunci mobilnya dari kantong celana kainnya. “Ini urusan gawat, Non. Aku benar-benar pusing ini.”
“Alita dan Mbok Darmi sudah jalan ke rumah teman Haikal, dukun putih. Aku juga udah minta bantuan dia, Pak.” ucap Miranda dengan suara bergetar.
“Sebelum perceraianku terjadi, aku mau nama baik perusahaan dan keluarga balik!”
“Pak Condro gimana?” tanya Pak Bagyo sambil menggendong tubuh Arik yang beratnya minta ampun. “Anak ini betul cuma alat, Non? Bukan tumbal?”
Miranda membuka pintu mobil yang terparkir di bahu jalan, di luar indekos sepi pinggir kali.
“Arik cuma alat, gimana pun dia nanti pas di rumah tahanan, aku butuh dia. Jangan kasar. Dia cuma pancingan. Aku harus mediasi dengan Mbah Redjo!”
Tiga orang itu sudah ada di dalam mobil dan pergi dari lokasi yang akan membuat Arik melupakan tempat itu. Miranda menoleh dari kursi depan samping kemudi.
“Aku lihat-lihat posturnya mirip Gio. Kerjanya bagus, Pak?”
Sambil mengemudi, Pak Bagyo geleng-geleng kepala. “Urusan cinta nanti dulu, ada yang lebih penting toh. Pak Condro gimana? Nggak ada firasat apa-apa gitu? Nggak kirim demit?”
Miranda melipat kedua tangannya. Condro Wongso tidak kirim demit, tidak ada halangan untuk melancarkan rencananya. Tetapi firasatnya pasti tajam, ilmunya besar, bisa saja sekarang dia justru sedang menyiapkan pasukannya sendiri.
“Aku harap Papa mau mengerti keputusanku, Pak.” Suara Miranda tidak menyakinkan. “ Aku cuma ingin menyelematkan Alita sekalipun seluruh dunia tahu kita kere.”
“Terus gimana sama Mas Gio dan istrinya? Non Mira ini kan perlu ngerampungke masalah itu toh.”
Miranda menghela napas. “Aku belum puas main-main sama mereka, Pak.” Ia menatapi kukunya. “Mereka belum ngerasain kelaparan dan gelisah yang bikin susah tidur. Biarin dulu ajalah, Pak.”
Pak Bagyo hanya bisa mengangguk pasrah. Bukan kewajibannya melarang. “Cuma gini ya, Non. Besok pas pemusnahan terjadi, energi yang menjaga rumah itu tidak akan kuat seperti biasanya. Kemungkinan mereka bisa lolos dari rumah itu.”
Miranda mengangkat bahu, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. “Kalau mereka pinter, mereka bisa lolos dari rumah itu. Tergantung hoki!”
-
next
siapa takut???