Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH ENAM
Shandi tampak melamun seorang diri padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Matanya memang menghadap ke layar televisi yang tergantung di dinding, tapi pikirannya justru melanglang buana entah kemana. Masih teringat percakapan singkat dirinya dengan salah satu rekannya sore tadi, percakapan yang berisi ejekan yang ternyata cukup mengusiknya.
"Ck ... gitu aja bangga. Ingat bro, rejeki istri pertama dan kedua itu berbeda. Jangan-jangan loe turun jabatan gini karena udah nyakitin bini loe dengan nikah lagi!"
"Apa benar yang dikatakan Roman tadi? Kalau dipikir-pikir, bisa jadi sih? Ah, tapi masa' bisa begitu! Pasti ini hanya kebetulan saja. Apa hubungannya coba, rejeki dengan nikah lagi. Pasti itu cuma akal-akalan Roman saja. Dia iri denganku yang bisa menikah lagi dengan mudah. Iya, pasti seperti itu," gumamnya sambil tersenyum geli.
Sepertinya sifat egois sang ibu telah mengakar kuat di relung hati Shandi. Tak mau berpikir logis, tak mau menyadari kesalahan dan kekurangan diri. Beginilah kalau hati telah membatu dan akal sehat telah menumpul, menyadari kesalahan sendiri pun tak mampu. Yang ada hanya menyalahkan orang lain seolah diri yang paling benar.
Saat sedang melamun, tiba-tiba Shandi tersentak saat mendengar suara langkah kaki yang beradu dengan lantai mendekat ke arahnya. Shandi pun lantas menoleh dan mengerutkan keningnya.
"Dari mana saja kamu? Sudah jam segini baru pulang?" tanya Shandi dengan raut wajah kesal. Ia sampai harus menyeduh mie instan karena tak ada makanan lain di dapur. Bila beberapa waktu ini ibunya yang memasakkan untuk mereka, tapi karena ibunya masih di rumah sakit, tak ada yang memasakkan untuk dirinya. Jangan tanya mengapa ia tidak meminta Erna memasakkan untuk dirinya, sebab ternyata Erna tak pandai memasak. Selain itu, dia juga selalu beralasan capek. Shandi akhirnya memilih mengalah. Semua itu ia lakukan hanya karena demi bayi yang ada di dalam kandungan Erna. Bila Erna tidak hamil, jangan harap ia bisa bersantai ria apalagi meminta ibunya memasak. 5 tahun menikah dengan Mentari saja, tak pernah satu kali pun Mentari merepotkan orang tua pun adik-adiknya. Mentari lebih suka mengerjakan apa-apa seorang diri. Bahkan saat mereka masih tinggal satu atap dengan orang tuanya, segala pekerjaan Mentari lah yang mengerjakan tanpa mengeluh sedikitpun.
'Ah, kenapa lagi-lagi aku membandingkan Erna dengan Tari sih?'
"Aku lembur, mas. Udah ah, aku capek banget. Aku mau istirahat dulu," tukas Erna masa bodoh dengan suaminya yang sudah menunggunya sejak tadi.
"Erna," panggil Shandi menggeram. Tapi Erna justru melenggang begitu saja masuk ke dalam kamar. Shandi hanya bisa menghela nafas panjang. Mencoba bersabar menghadapi Erna. Apalagi saat ini Erna sedang hamil anaknya.
"Sabar Shan, mungkin Erna jadi begitu karena bawaan kehamilannya!" gumam Shandi mencoba menabahkan hatinya dalam menghadapi sikap Erna.
...***...
"Kalian mau pesan apa? Pesan aja gih, tenang, hari ini gue traktir kalian semua."
"Serius, Sep? Lagi banyak duit loe?"
"Asek, kalo gitu, gue mau makan yang enak-enak. Mumpung gretongan cuy!"
"Pelayan!" panggil salah seorang tersebut pada pelayan cafe.
"Mau pesan apa, kak?" tanyanya.
Kemudian mereka pun memesan sesuai keinginan masing-masing. Saat sedang asik berbincang, salah seorang dari mereka melihat seorang wanita cantik masuk ke dalam cafe tempat dirinya saat ini. Tiba-tiba amarah menggelegak saat mengingat tagihan listrik, air, dan cicilan rumah yang membuatnya harus bekerja dengan seseorang demi membayar cicilan rumah mereka.
"Mbak, minta brown sugar nya ya satu sama cheese cake," ujar wanita cantik yang sebenarnya adalah Mentari itu.
"Baik nona, tunggu sebentar," ujar pelayan cafe itu yang kemudian ia pun segera berlalu untuk menyiapkan pesanan Mentari.
Dari sudut meja lain, seringai jahat terbit di bibir Septi. Kemudian ia mengangkat cangkir berisi minumannya dan berjalan menuju Mentari.
Byurrr ...
"Aaargh ..."
"Kau ... " Mentari mendesis saat melihat siapa yang dengan sengaja menumpahkan es buah naga di bajunya. Bajunya yang berwarna biru muda langsung berubah warna karena es buah naga tersebut. Yang membuat Mentari kesal sebab bagian depannya lah yang basah. Apalagi yang dikenakannya merupakan sebuah dress tentu saja hal tersebut membuat lekuk tubuhnya makin terlihat jelas.
"Hai mantan kakak ipar," sinis Septi yang entah mengapa seperti begitu mendendam dengan Mentari.
"Apa mau mu, hah? Aku tahu, kau sengaja kan melakukan ini?" tanya Mentari tetap berusaha untuk bersikap tenang. Ia tidak ingin bersikap bar-bar yang mana bisa saja merugikan dirinya sendiri kelak.
"Oh, kau sudah tahu toh! Baguslah," sahut Septi dengan tersenyum sinis.
"Sepertinya kau begitu membenciku, Septi. Aku sampai bingung, sebenarnya apa alasanmu begitu membenci diriku? Kalau aku masih menjadi istri kakakmu, oke, kalau kamu tidak suka. Tapi aku bahkan sudah melepaskan kalian, tapi kenapa kalian masih mengusikku? Apa belum cukup aku mengalah dan bersabar selama ini?" tanya Mentari tak habis pikir. Mentari benar-benar heran dengan sikap keluarga mantan suaminya itu, kenapa mereka gemar sekali mengusik ketenangannya? Seolah begitu menyenangkan membuat dirinya menderita dan tersiksa? Tapi Mentari bukanlah perempuan lemah yang bisa begitu saja ditindas.
"Ya, kami sangat membencimu! Aku sangat tidak menyukai kehadiranmu. Kau sudah merebut semua perhatian orang-orang. Bahkan gara-gara kau, aku putus dengan kak Seno. Aku benci dengan kau Mentari," pekik Septi seperti kehilangan kontrol. Mentari sampai terperangah mendengar ungkapan isi hati Septi yang justru membuatnya kian bingung.
"Merebut perhatian orang-orang? Membuat kau putus dari Seno? Bagaimana bisa? Apa hubungannya dengan ku? Aneh," desis Mentari tetap berusaha bersikap tenang.
"Ya, semua memang kenyataannya. Kau bersikap pura-pura baik. Membuat semua orang menyukaimu. Kau juga pasti suka menjelek-jelekkan aku di belakangmu kan sehingga teman-temanku yang dulu suka menemuiku jadi menjauhiku. Kau juga merebut perhatian kak Seno. Kau membuatnya memutuskanku. Aku benci padamu Mentari."
Ya, dulu, beberapa tahun yang lalu, saat Septi masih SMA dia berpacaran dengan seniornya, Seno. Kemudian Seno tiba-tiba jatuh hati pada Mentari yang saat itu baru dinikahi Shandi. Tak ingin menyakiti Septi karena ternyata hatinya tiba-tiba berpaling pada perempuan lain yang tak lain kakak iparnya sendiri, jadi Seno memilih memutuskan Septi dan menjauh. Karena sakit hati, Septi melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya pada Mentari. Rasa kesal dan kecewa lama-lama berubah menjadi benci. Apalagi dengan doktrin sang ibu yang juga membenci Mentari sebab Mentari bukan kriteria menantu idamannya. Rohani ingin memiliki menantu wanita karir, berpendidikan, dan mapan. Tidak seperti Mentari yang hanya perempuan biasa yang bahkan keluarga pun tak punya.
Mentari ingin segera menjawab cacian Septi, tapi pelayan cafe datang, sehingga ia memilih diam dahulu dan baru melanjutkan kata-katanya setelah pelayan itu pergi.
Mentari menghembuskan nafas lelah, "hatimu terlalu dengki sehingga menilai segala kebaikan ku terlihat buruk di matamu. Tapi terserahlah aku tak peduli. Tapi ingat, aku tak suka diusik. Untuk kali ini aku maafkan perbuatanmu, tapi lain kali, aku bisa melakukan hal yang tak terduga. Aku bukanlah Mentari yang dulu yang diam saja saat kalian caci maki dan rendahkan. Bila dulu aku akan diam saja karena menghormati kalian sebagai keluarga suamiku, tapi kali ini tidak. Aku tidak akan terima bila kalian masih ingin merendahkan apalagi menindasku. Camkan itu!"tegas Mentari yang segera berdiri. Kemudian ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di atas meja. Ia sudah kehilangan selera makannya. Bahkan makanan dan minuman itu belum ia sentuh sedikit pun. Hatinya sudah keburu dongkol dengan tingkah kekanakan Septi. Ya, baginya sikap Septi itu sungguh kekanakan.
"Lakukan saja, aku tidak takut. Memangnya kau siapa, hah! Dasar benalu mandul!" pekik Septi tanpa rasa malu sedikitpun berteriak dari dalam cafe.
Tangan Mentari mengepal erat. Ia sungguh benci kata-kata benalu dan mandul itu disematkan pada dirinya. Ingin rasanya ia membuktikan segera kalau ia tidak mandul, tapi bagaimana caranya? Tidak mungkin kan ia melakukan one night stand dengan sembarang pria hanya demi untuk membuktikan kalau dirinya tidak mandul. Ia masih cukup waras untuk tidak melakukan sesuatu yang mungkin akan ia sesali di kemudian hari.
Baru saja, Mentari melangkahkan kakinya menuju tempat parkir di mana mobilnya berada, tiba-tiba sebuah jas tersampir menutupi seluruh tubuhnya bagian tubuhnya. Tubuhnya yang kecil kini terlihat tertutup sempurna oleh jas berwarna navy itu. Mentari mendongak dengan matanya yang sudah memarah karena menahan kekesalan yang membuncah. Ia terkejut melihat sosok yang menjulang di hadapannya itu. Entah mengapa, ia kembali di pertemukan dengan sosok itu di saat suasana hatinya sedang kacau seperti ini.
Tiba-tiba saja, sosok itu menarik tubuh mungil Mentari ke dalam pelukannya. Mentari yang sedang rapuh tak kuasa menahan dirinya lagi untuk meluapkan emosinya melalui sebuah tangisan. Lagi, ia kini menangis di dalam pelukan sosok itu. Mentari pun bingung, biasanya ia paling bisa mengontrol emosinya, tapi di hadapan sosok ini, kenapa ia justru berubah menjadi sosok yang amat sangat rapuh. Di dalam pelukannya, ia tumpahkan tangisnya, kesedihannya, kekecewaannya, dan sakit hatinya. Tangan orang itu terulur mengusap punggung Mentari yang bergetar, menyalurkan kenyamanan dan ketenangan. Tak berapa lama, Mentari akhirnya dapat kembali mengontrol emosinya. Setelah cukup tenang, Mentari pun melepaskan pelukannya dari sosok itu.
"Maaf," cicit Mentari membuat dahi orang itu mengernyit.
"Untuk?"
Lalu Mentari menunjuk dada pria itu, ternyata kemeja sang pria bukan hanya basah, tapi kini juga memerah karena rembesan dress-nya yang basah terkena jus buah naga.
Laki-laki itu tersenyum, "tak apa. Yang penting, kau sudah tenang. Ayo, aku antar pulang!"
Mentari menggeleng, "aku membawa mobil sendiri."
"Tapi kau sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak mau dimarahi Jea karena tidak mengantarkan sahabatnya pulang padahal sahabatnya sedang tidak baik-baik saja."
"Kalau aku pulang denganmu, lalu bagaimana dengan mobilku?"
"Itu urusan gampang. Ayo!" ajak sosok itu yang sebenarnya adalah Jervario. Mentari pun menurut aja, memang sebaiknya ia pulang bersama Jervario pikirnya. Sebab memang perasannya belum benar-benar baik-baik saja.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...