Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Pagi hari, karena White masih tidur, Airi menutuskan untuk ke dapur. Ini hari pertamanya sebagai menantu dirumah ini, akan sangat memalukan jika dia bangun kesiangan tanpa sedikitpun membantu urusan dapur.
Didapur tampak dua orang art sedang menyiapakan sarapan. Ya, sebagai penghuni baru dirumah ini, Airi segera mendekat untuk membantu.
"Biar saya bantu kupas bawangnya, Bi," ujar Airi. Kedatangannya sempat mengagetkan kedua art yang ada didapur.
"Tidak perlu Nyonya, biar kamu saja," tolak mereka yang merasa sungkan. Mereka tak mau dikira mengambil kesempatan dari kebaikan Airi.
"Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa memasak setiap hari kalau dirumah."
"Tapi..."
Airi mengambil alih pisau dari tangan salah satu art lalu menggantikannya mengupas bawang. Sementara art tersebut langsung mengerjakan pekerjaan yang lain.
"Nyonya, apa nanti Den White tidak mencari?" tanya art yang duduk disebelah Airi.
"Dia masih tidur, Bi." Airi juga tak berniat terlalu lama didapur. Dia akan segera kembali kira-kira sebelum White bangun.
"Airi," suara Mama Nuri menginterupsi semua orang yang ada didapur. Dia berjalan mendekati menantunya tersebut. "Kenapa kamu disini?"
"Ai, cuma mau bantu bantu Mah."
"Tapi tugasmu bukan itu. Kembali ke kamar, jangan sampai White kebingungan saat bangun nanti karena tak ada orang disisinya. Dia masih belum beradaptasi dengan kondisinya saat ini. Jadi sebisa mungkin, jangan pernah tinggalkan dia sendirian."
"Maafkan Airi, Mah." Airi segera bangkit dari duduknya. "Ai akan kembali ke kamar." Dia mencuci tangannya diwastafel lalu kembali ke kamar. Dilihatnya, White masih terlelap. Dia mendekatinya, duduk disisi ranjang sambil menatap wajah White yang terlihat tenang dalam tidurnya. "Aku yakin Kakak bukan orang yang jahat apalagi kejam. Kakak hanya belum bisa menerima keadaan ini. Ai janji, akan bantu Kakak agar bisa menatap dunia lagi."
...----------------...
Semua sudah berkumpul dimeja makan. Jika biasanya, White akan sangat bersemangat bercerita pada papanya tentang progres proyek yang dia tangani, pagi ini, pria itu tampak tak bersemangat sama sekali. Tak bisa melihat, membuatnya kehilangan setengah semangat hidupnya.
"Apa Kakak mau aku suapi?" tawar Airi. Biasanya, Mama Nuri yang menyuapinya, tapi karena putranya itu sudah punya istri, Mama Nuri melimpahkan tugas tersebut pada Airi.
"Tidak perlu, aku bisa makan sendiri," sahut White ketus.
Airi menatap Mama Nuri, melihat mertuanya itu mengangguk, diapun menurut saja. Dia mengambilkan makanan untuk White lalu meletakkan didepan pria itu. "Ini sendok dan garpunya," Airi menaruh dua benda itu langsung ditangan White.
Ternyata makan sendiri tanpa bisa melihat apa yang akan dia makan, tak semudah bayangan White. Pria itu terlihat kesulitan mengambil makanannya. Berkali-kali dia gagal menyendok makanan hingga tumpah ke meja.
"Biar aku bantu saja, Kak," tawar Airi. Dia hendak mengambil alih sendok ditangan White tapi tangannya ditepis oleh pria itu.
"Aku bisa sendiri," bentaknya.
"White, turunkan nada bicaramu," tegur Papa Sabda. Dia kasihan pada Airi yang sejak tadi belum sempat memakan makannya karena fokus memperhatikan White. Benar kata istrinya, gadis itu terlihat sangat tulus. Semoga saja, mereka tak salah telah menikahkan White dengan Airi.
White kembali berusaha makan. Hanya sesendok dua sendok yang masuk kemulut, yang lainnya, malah jatuh kemeja karena terdorong sendok dan garpunya.
Pranggg
White yang emosi menyempar piring dihadapannya hingga jatuh dan pecah. Pria itu frustasi karena merasa sangat tak berguna, bahkan hanya urusan makan saja, dia kesulitan.
"White, apa yang kamu lakukan?" seru Mama Nuri sambil berdiri. Dia menatap piring pecah serta makanan yang berserakan dilantai. "Atur emosimu, jika belum bisa mandiri, terimalah bantuan Airi."
"Jangan membuat dia seolah olah sangat dibutuhkan, Mah. Aku tak butuh dia." White menoleh kesamping, dimana Airi duduk.
"White," sentak Papa Sabda. Dia tak suka putranya membantah ucapan sang mama.
"Sudahlah Mah, Pah. Airi yang salah disini, jangan marahi Kak White." Airi mencoba meredam suasana yang mulai sedikit panas. "Harusnya Airi menggunkan mangkuk sebagai tempat makan Kak White agar saat disendok lebih mudah dan tak tumpah kemanan-mana. Biar Airi ambilkan makanan lagi, setelah itu baru Ai bereskan piring yang pecah."
"Tidak perlu Ai, biar Mbak Tutik aja yang bersihkan," ujar Mama Nuri.
"Biar dia saja, Mah," sahut White cepat. "Bukankah sudah tugas dia melayaniku. Jadi saat aku membuat kekacauan, sudah sepatutnya dia yang membereskannya."
Mama Nuri hendak membantah, tapi Papa Sabda melarangnya. Dia paham White masih sangat terpukul dengan kondisinya saat ini. Jangan sampai putranya itu merasa jika keluarganya lebih memihak pada Airi.
Airi kebelakang untuk mengambil mangkuk. Bersamaan dengan itu, Mama Nuri juga kedapur. Dia menyuruh Tutik membersihkan pecahan piring tanpa sepengetahuan White. Biar saja putranya itu menganggap Airi yang membereskan.
Airi menaruh nasi serta potongan daging ikan yang sudah dia buang durinya kedalam mangkuk. Tak lupa juga, dia menaruh sayuran yang menurut Mama Nuri kesukaan White. Dia meletakan mangkuk dihadapan White lalu memberinya sendok tanpa garpu, karena menurutnya, sebelah tangan White, lebih baik digunakan untuk memegangi pinggiran mangkuk.
"Pegang mangkuknya agar tak bergeser." Airi menuntun tangan White kepinggiran mangkuk.
White memegangi mangkuk sambil mulai menyendok makanan. Sekarang, sedikit lebih mudah daripada tadi, karena pinggiran mangkuk menahan makanan agar gak terjatuh ke meja. Tapi tetap saja, dia agak kesulitan menempatkan sendoknya tepat diatas mangkuk. Dan Airi, dengan sabar dia membantu White agar sendoknya tepat masuk kedalam mangkuk.
Mama Nuri tersenyum melihat betapa sabarnya Airi menghadapi White.
...----------------...
Selasai makan, Mama Nuri mengajak White bicara berdua. Intinya, dia akan menyuruh White agar tak terlalu kasar pada Airi.
"Dia gadis yang sangat baik, White."
"Mama jangan mudah tertipu. Kita baru mengenalnya, belum tahu seperti apa watak aslinya."
"Tapi mama bisa melihat betapa sabarnya dia menghadapimu. Dia juga terlihat sangat tulus merawatmu. Perlakukan dia dengan baik Nak, dia istrimu."
"Istri?" White tersenyum getir. "Istri yang bahkan wajahnya saja, aku tidak tahu."
Mama Nuri mendekati White yang duduk disisi ranjang. Menggenggam tangan putranya itu sambil tersenyum. "Kalau saja kau bisa melihat, Mama yakin kau akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Airi sangat cantik."
"Berhenti mencuci otakku dengan mengatakan dia cantik Mah. Karena yang terekam dalam otakku, dia adalah wanita jelek."
Mama Nuri menghela nafas berat. Ternyata sangat susah menyakinkan White. Putranya itu sangat keras kepala.
"White mau pindah dari rumah ini, Mah."
"Pindah," ulang Mama Nuri. Apa yang ada dipikiran anaknya, kenapa disaat kondisinya seperti ini, dia malah minta pindah.
"White sudah menikah, bukankah sudah seharusnya White hidup mandiri bersama istri White?"
"Apa kau yakin? Kondisimu masih seperti ini. Kenapa tak tinggal disini saja, agar Mama bisa ikut menjagamu."
"White ingin mandiri, tolong jangan halangi keinginan White."
Mama Nuri tak bisa mencegah kali ini. Dengan terpaksa, dia menyetujui permintaan White.
/Whimper//Whimper/
ai semoga selalu di beru kuatan
semangat ai