NovelToon NovelToon
Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari dari Pernikahan / Konflik etika / Selingkuh / Penyesalan Suami / Tukar Pasangan
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: She Amoy

Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sisa Kenangan (3)

“Memangnya kenapa kalau makan malam sama sekretaris, salah?”

“Sebenarnya urusan masing-masing kan, kepala divisi itu juga duda loh. Tapi gosipnya menyebar kemana-mana, sampai bawa bawa urusan kerjaan. Ada yang memanfaatkan keadaan sehingga dibilang korupsi dan uangnya diberikan sama sekretaris itu. Kebetulan si sekretaris juga gayanya cukup glamour, sering jadi bahan gunjingan ibu-ibu yang udah senior di kantor.”

“Wah, serem juga ya Pak!”

“Pak .. Pak.. jangan panggil ‘Bapak’!” Krisna meralat sambil tersenyum lagi. Bibirnya yang indah seakan ingin berkenalan dengan bibirku. Ya Tuhan, serendah inikah imajinasiku saat itu.

“Eh, iya Mas, maaf!” Aku menutup bibir dengan kelima jariku.

Sejak krisna dan aku semakin dekat, ada perasaan bersalah pada diri sendiri. Rasa bersalah karena membiarkan diri ini jatuh cinta lagi. Aku tidak pernah tahu, apakah Krisna orang yang tepat atau bukan. Aku hanya menjalani dan menerima segala yang terjadi padaku saat itu.

“Eh Na, Kepala Sub Divisi kita mau diganti, katanya datang hari ini,” Dini berbisik ke ruanganku sambil membawa dokumen. Sedangkan bosku Pak Edo—Kepala unit jasa angkutan—masih asik menikmati kopi di kantin belakang.

“Memangnya atasan kita mau kemana, Din?” Tanyaku sambil mengutak ngatik exel yang belum juga sesuai angkanya.

“Ih dasar lemot, kan udah pengumuman waktu itu mau cuti lama!” Dini menggerutu sambil mencari permen di gelas yang ada di mejaku.

“Ya maaf, kan kita sibuk baru pulang beresin acara pelatihan yang nggak guna itu,” ucapku lagi.

Mataku tak berhenti menatap layar. Entah masih ada atau tidak, ibu muda itu mungkin sudah keluar dari ruanganku.

Di kantor Sub Divisi Tangerang ini, aku bekerja sebagai staff keuangan. Setiap Sub Divisi yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki divisi keuangan masing-masing tentunya. Tetapi aku berbeda unit dengan Dini. Aku mengurus unit jasa angkutan yang mengelola transportasi untuk mendistribusikan bahan pangan. Sedangkan Dini, duduk manis bersama lima orang tim lain di ruang operasional.

,Ruanganku cukup eksklusif, terpisah dari karyawan lain yang hanya diberi sekat-sekat di tiap meja kerjanya. Sedangkan ruanganku, hanya diisi oleh aku dan Pak Edo, dan itu pun ditutup oleh pintu kaca. Sama seperti ruang kepala sub hanya luasnya lebih kecil.

Tugas yang diberikan Pak Edo tidak terlalu sulit, justru kami sering memiliki banyak waktu luang setiap awal bulan. Selama tidak ada tim audit yang datang, sekitar pukul empat sore, aku sudah bisa santai di kantin belakang.

Pak Edo juga bukan manajer yang rewel. Dia sangat santai dan pengertian. Tak jarang Pak Edo mengajakku makan siang atau sekadar ngopi di restoran terdekat. Tetapi rekan kerja seperti Pak Edo sangat langka. Beberapa karyawan yang lebih senior di sini pun agak berbahaya mulutnya. Mereka sering mengomentari hal-hal yang tidak penting, atau mengeluh soal pekerjaan yang katanya terlalu banyak.

“Raina, keluar sebentar, ada kepala Sub Divisi baru!” Pak Edo membuka pintu setengah dan bicara padaku dengan suara yang pelan. Sepertinya, kepala cabang yang baru ini cukup penting.

Aku bergegas mengikuti Pak Edo dari belakang dan ikut masuk ke dalam ruang kepala sub divisi bersama rekan-rekan yang lain.

Ketika masuk, kepala sub divisi yang baru itu sedang melakukan perkenalan dan memberi pengarahan. Dini langsung mencubit lenganku karena sejak aku masuk, aku terkejut dengan pria yang sedang berbicara itu. Ya, itu Krisna. Krisna menjabat sebagai kepala Sub Divisi Tangerang sejak itu. Artinya, kami akan bertemu setiap hari kerja.

“Ini Raina, staf saya!” Pak Edo memperkenalkanku setelah mendapat giliran. Aku hanya tersenyum lalu menunduk seolah baru pertama kali melihatnya. Pura-pura tidak kenal adalah jalan teraman. Lagi pula Krisna akan melakukan hal yang sama.

“Ah ya.. Raina. I know. Bulan lalu selama pelatihan di Mercure kita udah ketemu kan. Pak Edo nggak ikutan jadi peserta ya?”

Aku terkejut dengan komentar Krisna. Aku pikir dia tidak akan membahas itu di depan karyawan yang lain.

“Oh gitu Pak, iya nih saya sempet nengokin acaranya juga. Kebetulan di sini juga sedang banyak pekerjaan.” Jawab Pak Edo sambil tersenyum dan melirikku.

“Oke kalau gitu, selamat bekerja kembali. Saya harap, dengan kehadiran saya di kantor ini, bisa membuat kinerja kita semakin baik!”

Krisna menutup pengarahannya siang itu. Kami semua bubar dan kembali ke meja masing-masing. Di perusahaan ini, panggilan Pak atau Bu memang lazim dilakukan. Seperti halnya Pak Edo, usianya tidak terlalu jauh denganku. Tetapi karena dia manajer dan karyawan tetap, maka panggilan ‘Pak’ atau ‘Bu’ itu menjadi kewajiban. Beda budaya dengan temanku yang bekerja di Bank, mereka akan memanggil nama atau ‘Mas’ meskipun jabatannya tinggi. Tidak melihat usia atau posisi.

“Nanti malam ketemuan di SMS ya, kita ngopi!” Satu pesan masuk ke ponselku

“Sumarecon Mall Serpong maksudnya?”

“Ya”

Hampir setiap minggu, Krisna mengajakku pergi. Kami menikmati kebersamaan seperti normalnya orang berpacaran. Makan, nonton, belanja, menikmati live music, karoke, dan banyak lagi. Tentu saja kegiatan itu tak pernah dengan sengaja diumbar, tetapi diketahui dengan sendirinya oleh Dini yang akhirnya kuceritakan kisah tentang aku dan Krisna. Karyawan lain? Aku tidak tahu. Bisa jadi mereka mencium kedekatan kami.

Bukan hanya kesenangan yang kami bagi. Krisna menjadi saksi dan malaikatku setiap aku berada di posisi yang sulit.

“Jadi anakmu siapa yang jaga?”

“Ada ibu sih, tapi besok dia pulang ke Bogor. Soalnya udah terlalu lama ditinggal,” jawabku.

“Terus anakmu gimana?” tanyanya lagi dengan serius.

“Aku mau cari tempat penitipan aja. Kayaknya pernah lihat deh deket kosan.”

“Cintaa… anakmu baru satu tahun loh, ga takut apa dititipin gitu?”

“Abis gimana lagi Mas, dibawa Ibu ke Bogor juga aku nggak mau!”

Sebenarnya, aku malu menceritakan sisi gelap hidupku saat itu dan berbagi penderitaan dengan Krisna. Tetapi pria itu selalu mendesakku dengan banyak pertanyaan. Mulai dari mantan suami, anak, ibu, dan adik-adikku.

“Ya udah yuk pulang, aku anterin. Sekalian mau liat kosan kamu.” Krisna berdiri dan menarik tanganku ke tempat parkir.”

“Tapi nanti ada Ibu,” balasku.

“Aku nggak akan masuk kok, cuma sampai depan.” Krisna mempercepat langkahnya.

“Cin, besok kalau Aksa mau dititip, cari yang bagus ya. Pastiin dulu kebersihan dan keamanannya. Ini buat pegangan kamu.”

Krisna memberikan amplop berwarna coklat untuk pertama kalinya. Aku sudah bergerak untuk mengembalikan tapi Krisna melarang.

“Tolong, izinkan aku bantu kamu.”

Tak bisa kutolak lagi pemberiannya saat itu. Setibanya di kamar kosan, aku melihat jumlah yang cukup besar, dua kali gajiku waktu itu.

Kuberikan Aksa fasilitas yang terbaik. Selama aku bekerja, Aksa aman di tempat penitipan anak yang cukup berkelas. Meski aku harus merelakan anakku yang pada akhirnya dibawa ibu ke Bogor.

“Kasihan. Udah di sini aja sama Ibu, biar Ibu yang urus. Udah dua tahun kan. Kamu pulang seminggu sekali aja atuh!” kata Ibu waktu itu.

Akhirnya aku lebih leluasa bekerja dan tentu saja menghabiskan waktu bersama Krisna. Setiap jumat sore, Krisna mengantarku ke Bogor lalu kembali lagi ke Jakarta. Ibu tidak melarang hubungan kami. Justru ia terkesan dengan Krisna yang sopan dan pandai mengambil hati orangtua.

“Jadi lahirnya, udah ditanyain belum?” Sambil mengupas bawang merah, di minggu yang cerah itu, Ibu bertanya padaku soal hari kelahiran Krisna.

“Rabu katanya.” Jawabku sambil memotong kentang menjadi kotak-kotak kecil. Hari ini ibu akan memasak sambel goreng kentang dan opor seperti menu lebaran. Setiap pulang ke Parung Bogor, selera makanku memang lebih meningkat. Kalau makanan café atau restoran sudah biasa di lidahku. Sampai bosan dengan rasanya yang kebarat-baratan.

1
pembaca setia
bagus ih ceritanya. ayo lanjutkan Thor
Fathan
lanjut thor
Fathan
bagus banget ceritanya. relate sama kehidupan nyata dan gak lebay.
Fathan
pusing banget tuh anak
Fathan
bodoh
Fathan
tinggalin ajaaa
Fathan
rAina bodoh
Fathan
ngeselin rikooo
Fathan
menarik nih, seru
Fathan
rapi bahasanya
pembaca setia
ceritanya menarik. mengungkap sebuah kejujuran perasaan penulis. Bahasa rapi dan minim typo. rekomendid novelnya
Sunshine🤎
1 like+subscribe untuk karya mu Thor. semangat trus sering² interaksi dan tinggalkan jejak di karya author lain, dan jangan lupa promosiin karya agar popularitas meningkat/Good/
SheAmoy: makasih kakak
total 1 replies
anggita
like👍+☝iklan buat author.
SheAmoy: makasih kak
SheAmoy: makasih banyak kakak
total 2 replies
SheAmoy
thanks kak
Necesito dormir(눈‸눈)
Makin lama makin suka, top deh karya thor ini!
SheAmoy: makasih kaka
total 1 replies
Black Jack
Saya benar-benar tenggelam dalam imajinasi penulis.
pembaca setia: menarik banget nih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!