Hasrat Tertahan Presdir Tampan

Hari semakin larut, udara malam semakin dingin hingga menusuk tulang.

Saat semua orang sudah berkumpul dengan keluarga mereka di istana masing-masing. Sambil menahan kantuk dan lelah, Arneta masih sibuk membelah jalanan yang tidak terlalu ramai itu.

Arneta sengaja membawa jaket untuk melindunginya dari tusukan udara dingin malam ini.

Setelah semua pekerjaannya selesai, Arneta pulang ke rumahnya. Sebenarnya di rumah Eca masih ada kamar kosong yang sengaja disiapkan untuk pembantu, tapi dia lebih memilih untuk pulang dan melihat bagaimana keadaan Anang. Ia juga takut jika monster muda itu menerkamnya. Ya! Meskipun dari luar pria itu sama sekali tidak tertarik dengan Arneta, tapi hati dan niat manusia tidak ada yang tahu. Arneta hanya bisa waspada dari oada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Tiga puluh menit kemudian.

Arneta mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumahnya. Ia langsung menuju kamar orang tuanya dan melihat bagaimana keadaan mereka.

Rupanya Anang sudah tertidur lelap malam ini. Tapi di mana ibunya?

Arneta mencari sosok yang selalu menyayangi dan melindunginya sejak kecil itu, gadis tersebut langsung menuju ke dapur.

"Kok Ibu belum tidur?" sahut Arneta sambil berjalan mendekat ke arah Ainun yang sedang mengaduk sesuatu di depan kompor.

Gadis itu langsung duduk di kursi yang ada di sana.

"Arneta, kamu baru pulang? Pasti lelah ya, Nak?" tanya Ainun balik.

Wanita setengah baya itu mengembangkan senyumnya pada Arneta.

Ia membawa semangkuk sup, lalu dihidangkan di depan sang anak.

"Makan sup jahe ini, Sayang. Udara di luar sangat dingin, kan ... Ibu nggak bisa tidur, jadi sambil nunggu kamu, Ibu masak ini," ucap Ainun lembut sambil mengelus pucuk kepala Arneta.

"Ibu selalu perhatian dan sayang sama aku, kalau aku melunasi semua hutang itu gimana caraku menjelaskan ke Ibu dari mana aku dapat uang sebanyak itu, takutnya penyakit Bapak malah kambuh kalau aku menceritakan semua yang kualami sama mereka, kalau aku nggak melunasi semuanya, aku bakal tinggal selamanya dengan para monster itu, Tuhan apa yang harus kulakukan,' batin Arneta sambil menatap lekat wajah Ainun yang kulitnya sudah mulai berkerut itu.

"Jangan melamun, Net. Ibu suapin, ya," ucap Ainun sambil menyuapi Arneta.

"Biar Neta makan sendiri, Buk. Ibu udah lelah membuatnya ... Neta nggak mau merepotkan Ibu lagi," timpal Arneta. Dengan cepat ia langsung menghabiskan sup buatan Ainun yang nikmatnya tiada tara.

"Ibu nggak pernah direpotkan sama kamu, Net. Justru Ibu dan Bapak merasa bersalah karena sudah menyeret kamu dalam situasi seperti ini," ucap Ainun sambil menunduk dalam, buliran bening pun sudah tidak tertahankan lagi dan jatuh membasahi pipinya.

"Kita keluarga, Bu. Jadi kita harus menyelesaikan semuanya bersama-sama, pasti ada jalan keluar," balas Neta sambil memeluk erat sang Ibu.

"Neta buruan istirahat, besok biar Ibu aja yang pergi kerja ... Kamu jagain Bapak di rumah."

"Aku nggak apa-apa, kok ... lagian aku udah lulus jadi bisa bantu Ibu kapan pun. Ibu istirahat aja dulu selama beberapa hari. Ibu juga harus jaga kesehatan."

"Iya, Sayang. Tapi kasihan, nanti kamu kelelahan, sebentar lagi juga bakalan nikah. Kamu harus jaga kesehatan," papar Ainun.

"Anggap aja Neta nggak akan nikah, Bu. He-he-he."

Arneta nyengir kuda, berusaha menyembunyikan hatinya yang kalut.

"Nikah sama monster dan tinggal serumah dengan para monster, apakah aku bisa menjalaninya? Demi orang tua, demi menyembunyikan kesalahanku malam itu, aku harus menikah dengan pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. Semoga setelah melewati ini semua aku bisa mengejar cita-citaku untuj menjadi seorang Dokter," ujar Neta dalam hati.

Satu minggu kemudian. Hari yang paling tidak ditunggu-tunggu oleh Arneta tiba.