Seorang pengasuh di tempat penitipan anak menarik perhatian si kembar akan kebaikan hatinya.
"Ayah, kami ingin ibu pengasuh itu menjadi ibu kami."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurul wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 'Keinginan Revan'
Lelaki itu masih memikirkan permintaan anak-anaknya. Ia benar-benar masih tak sanggup untuk menikah lagi. Rasanya sangat berat untuk memasukkan orang baru dalam hidupnya.
Tapi, ia juga tidak boleh egois. Anaknya membutuhkan sosok ibu. Ia memang memberikan segalanya pada anak-anaknya. Akan tetapi, sosok ibu itu takkan pernah tergantikan. Sekuat apapun ia berusaha untuk memberikan kasih sayang ibu pada anak-anaknya, itu tak akan bisa menutupi kekosongan dalam hati anaknya.
Seseorang menepuk bahunya, Revan menoleh ke belakang. Itu adalah mamanya. "Duduk, Ma."
Riana senyum, ia duduk di samping anaknya itu. Tak ada yang memulai percakapan antara mereka. Baik Revan maupun Riana, mereka hanya diam saja.
"Revan." Riana akhirnya membuka percakapan diantara mereka.
"Ada apa, Ma?"
"Apa mama boleh tahu apa yang kalian bicarakan tadi?" tanya Riana.
"..."
"Sepertinya mama bisa menebaknya dari diam mu," lanjut Riana.
"Ma, apa Revan selama ini telah egois pada anak-anak?" tanya Revan.
Riana tersenyum dalam. Ia menatap pada anaknya. Memegang bahu anaknya untuk menghadap padanya.
"Tidak ada yang namanya keegoisan, Revan." Riana melepaskan bahu ibunya.
Riana menatap ke depan. Sedangkan Revan masih tetap menatap pada mamanya.
"Seorang single parent, akan merasakan hal yang sama, seperti yang kamu rasakan itu. Mama hanya bisa mengatakan, tidak ada yang namanya keegoisan. Setiap orang tua memiliki pemikirannya masing-masing tentang soal pasangan hidup, dan juga tentang anak-anak mereka." Riana terhenti sejenak.
"Memang benar, seorang single parent akan kesulitan untuk memasukkan orang baru dalam hidupnya. Tapi Revan, kalau kamu tidak memiliki anak, mungkin kamu bisa memilih untuk tak menikah lagi. Tapi, kamu memiliki Rara dan Keano. Kamu tahu, seorang ayah tak akan bisa memenuhi peran seorang ibu. Mau apapun dan bagaimanapun cara yang ia lakukan, itu tak akan mampu untuk mengisi kekosongan anak-anak tentang sosok ibu," sambung Riana.
"Bahkan, aku seorang nenek pun tak akan bisa mengisi kekosongan sosok ibu untuk Rara dan Keano," sambungnya kembali.
Revan kembali termenung mendengar perkataan mamanya. Beliau benar, bahkan untuk seorang dirinya yang sebagai ayah kandung saja tak akan mampu mengisi kekosongan itu. Apalagi seorang nenek, pasti tak akan bisa mengisinya.
"Ma, biarkan aku memikirkan ini dahulu. Mari kita pulang, ada tempat yang ingin ku tuju," ujar Revan.
Riana mengangguk mengerti. "Mari masuk kedalam, dan berpamitan."
Revan dan Riana masuk ke dalam rumah. Mata Revan melihat Luna yang sedang menyuapi si kembar buah. Melihat wajah senyum anak-anaknya ketika disuapi oleh Luna, membuat hatinya tercubit sakit. Ia merasa sedih ketika melihat itu. Anak-anaknya sangat bahagia, padahal hanya disuapi buah saja.
"Rara, Keano, kita pulang, ya?" bujuk Revan.
Rara dan Keano menatap ayahnya. Karena suasana hati mereka memang sudah membaik. Mereka tersenyum dan menganggukkan kepala mereka secara bersamaan.
"Sudah mau pulang, nyonya?" ujar Yuni, Ama Luna.
"Iya, nyonya Yuni. Tak terlalu baik juga kalau kami berlama-lama disini. Lebih baik kami pulang ke rumah," ujar Riana dengan tersenyum tipis.
Ama Luna berdiri. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih karena sudah bertamu ke rumah kami ini," ucapnya.
"Tidak, seharusnya kami yang berterima kasih pada anda yang sudah menerima kami yang sudah bertamu tanpa kabar dahulu pada anda," ujar Riana merasa tak enak hati.
"Oh tidak apa-apa, nyonya. Kami juga senang menerima tamu. Terima kasih karena sudah mampir."
Riana hanya berkata iya dan menganggukkan kepalanya saja. Revan berpamitan pada Ama Luna. Ia mendekati Luna. "Terima kasih karena sudah menemani anak-anak saya," ujarnya.
"Oh? Ah, iya. Sama-sama, tidak masalah," jawab Luna.
Rara dan Keano meminta Luna untuk menunduk dengan memberi isyarat melalui tangannya. Luna yang bingung tetap menunduk diantara mereka berdua.
Luna membulatkan matanya kaget. Pipinya dikecup oleh Rara dan Keano. Mereka tersenyum setelah melakukan itu.
"Terima kasih, ibu Luna," ucap mereka penuh bahagia.
Luna tersentuh karena itu. Ia tersenyum lebar. Membalas kecupan yang ia dapat itu. "Terima kasih juga karena sudah mampir kemari," ucapnya.
Kini Rara berjalan pada Ama Luna. Menarik tangannya, dan menengadah melihat beliau. "Hehe, kalau kami mau main kesini boleh kan, nek?" tanyanya.
Ama Luna menunduk, mengusap kepala Rara. "Tentu saja boleh. Kapanpun kalian mau, nenek akan menyambut kalian disini. Datanglah kapanpun kalian menginginkannya," jawabnya.
"Terima kasih, nek."
"Iya."
"Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, ya," Ucap Riana.
"Iya, hati-hati di jalan," balas Ama Luna.
Mereka masuk ke dalam mobil. Rara menurunkan kaca mobil. Ia mengeluarkan kepalanya, begitu juga dengan Keano.
"Bye, bye, ibu Luna!" teriaknya sambil melambaikan tangannya dengan semangat.
Luna ikut melambaikan tangannya pada Rara dan Keano. Suasana hatinya seperti berbunga-bunga ketika berhadapan dengan si kembar. Mereka benar-benar anak-anak yang lucu.
Setelah tak terlihat lagi, Ama Luna menghadap pada anak gadisnya itu. "Lun, anak-anak itu lucu, ya."
"Iya, ama. Mereka benar-benar anak yang lucu. Luna, sangat menyukai mereka," ujar Luna.
Ama Luna menatap putrinya dengan senyum penuh maksud. Ia menganggukkan kepalanya mengerti, dan pergi masuk kedalam rumah, meninggalkan putrinya diluar yang masih menatap jalam yang telah kosong.
...****************...
Setelah mengantarkan mama dan juga anak-anaknya kembali ke rumah. Ia pamit pada mamanya dan pergi.
Ia menuju ke suatu tempat. Sampai disana, ia mengambil buket bunga yang telah ia beli sebelum kesini.
"Selamat sore, sayang," salamnya dan meletakkan bunga itu pada batu nisan istrinya.
"Sayang, ada yang ingin aku ceritakan pada kamu." Ia terhenti, mengusap batu nisan itu penuh sayang.
"Sayang, anak-anak kita membutuhkan sosok ibu. Aku masih belum bisa melupakan kamu. Aku belum bisa memasukkan orang baru."
"Tapi sayang, aku tak boleh berpikiran seperti itu lagi. Anak-anak bercerita padaku, bahwa mereka membutuhkan sosok ibu."
"Sayang, izinkan aku untuk menikah lagi." Revan menunduk pada nisan sang istri. Ia mencium batu nisan itu lalu, pergi setelah mengatakan apa yang telah menjadi keputusannya. Keinginannya adalah, untuk memenuhi permintaan anak-anaknya.
Semilir angin menerpa wajahnya, dan ada bisikan yang ikut dengan angin tersebut.
Sayang, kamu sudah mengambil keputusan yang sangat tepat. Aku izinkan. Dia benar-benar baik.
Revan menutup matanya. Ia menikmati bisikan yang terbawa oleh angin itu. Ia benar-benar merasa bahwa istrinya sedang ada disini dan mendengar ceritanya.
"Sayang, aku tetap mencintaimu. Aku menikah, hanya demi anak-anak kita saja. Semoga saja pilihan dari anak-anak benar-benar pilihan yang tepat untuk mereka."
"Aku pulang dulu, ya. Sampai jumpa."
...To be continue ...
cpt pulih y Kak.makasih y utk update nya