Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Empat
“Hai, kamu siapa?” Kia mencoba mendekat, gadis berpakaian serba merah dari ujung kepala sampai ujung kaki itu diam tak bergerak. Ia berdiri menghadap kolam. Kia dan Shella tak bisa melihat wajahnya.
“Kamu murid yayasan ini?”
Gadis itu mengangguk pelan sama sekali tak memperlihatkan wajahnya. Hal itu meyakinkan Shella jika gadis ini bukanlah manusia. “Ki, sudahlah ayo…” bisiknya.
“Kamu kamar berapa?”
Perlahan, tangan kanan gadis itu menunjuk deretan kamar tepat di samping kamar mandi.
“D1?” Kia terus saja mengulik informasi, tak peduli meskipun Shella di sampingnya sudah hampir menangis. Mendengar pertanyaan Kia, gadis itu kembali mengangguk.
“Siapa namamu?”
Kali ini gadis itu menggeleng, Kia yakin dia bukan manusia. “Baiklah, cepatlah kembali ke kamarmu. Bel tidur sudah berbunyi sejak tadi, jangan menangis di depan kolam sendirian di tengah malam, itu berbahaya.”
Kia membawa Shella pergi menjauh, Ia mempercepat langkah tanpa menoleh lagi.
.
BRAK….
Devina terkejut ketika kedua temannya masuk ke dalam kamar dengan wajah pucat, bahkan pintu dibanting begitu keras oleh Shella.
“Kalian kenapa?” tanya gadis itu mendekati kedua temannya yang masih tampak syok. Bahkan Shella perlahan luruh bersimpuh tepat di depan pintu.
“Gila, mukanya rata Ki, kamu sih ngapain pake sok akrab gitu sama setan?”
“Mana kutahu kalau itu setan Shel,” jawab Kia membela diri.
“Apa sih yang kalian bicarakan?” Devina semakin penasaran, pasalnya dua gadis di depannya tak ada yang menjawab pertanyaannya.
“Ini loh Kak, masa nggak ada curiga sih, kan kak Devi juga udah pernah bilang kalau ada gadis berpakaian merah itu pasti setan, ini lagi udah jam berapa Kia? bel tidur udah bunyi dari tadi, itu jelas setan lah.”
“Kalian ketemu setan? dimana Shel, Ki?”
“Di kolam Kak, sama seperti waktu itu. Aku hanya penasaran apa yang dia inginkan menampakkan diri di depan kita, menangis lagi, kenapa ya?” Kia meraih rak skincare miliknya, ia tampak berpikir keras sembari mengoleskan lotion di tangan.
“Berhentilah memikirkan mereka Kia, dengar ya, nggak semua setan itu muncul untuk meminta tolong padamu seperti pak Warmin, ada juga yang memang sengaja usil. Karena udah sifat mereka, usil dan suka mengganggu manusia.” Shella sangat kesal, tapi Kia hanya tersenyum menanggapi kemarahannya.
“Yang dikatakan Shella bener Ki, lain kali jangan hiraukan mereka yang sengaja mengganggu. Abaikan saja,” sahut Devina.
“Baiklah, aku mengerti.” Kia berusaha menggoda Shella yang merajuk. Gadis itu kesal sebab ia sempat menoleh saat Kia menarik tangannya menjauh, dan saat itulah Shella melihat gadis di depan kolam juga menatap mereka. Hanya saja gadis itu tak memiliki struktur wajah, alias bermuka rata.
“Ya udah, kita tidur aja sudah malam ini.” Devina menyiapkan bantal dan selimut milik kedua temannya, selain baik dan ramah Devina memang sangat perhatian, ia memiliki sifat keibuan dalam dirinya. Tak jarang ia menyiapkan segala keperluan Shella dan Kia layaknya seorang ibu yang membantu putrinya.
“Makasih Kak Devi, kakak memang yang terbaik,” tutur Shella seraya memberikan dua jempolnya, ia melirik Kia yang memandangnya sinis. “Apa? iri kan, iri kan?”
“Ah, aku juga mau…” Kia turut mendekat. Namun, Shella segera mendorongnya. Ketiganya pun saling mendorong dan tawa berderai dari bibir mereka.
.
Tak seperti biasanya, desa Gondowangi diguyur hujan semalaman penuh. Udara jadi semakin dingin, kabut tebal dimana-mana, jalanan pun menjadi becek. Kia dan Shella berjalan berjingkat di atas tanah.
Mereka berdua akan berjalan-jalan ke peternakan dan kafe susu milik keluarga Rendra, sebab tak ada jadwal kuliah hari itu. Sebenarnya Kia enggan, ia takut akan berjumpa Rendra disana. Tapi Shella terus mendesaknya, ia tergoda mendengar cerita teman-temannya tentang kebun bunga di seberang peternakan, juga pemandangan yang katanya sangat memanjakan mata.
“Tapi ini kabut Shel, percuma kita kesana palingan juga nggak akan kelihatan apa-apa.” Kia terus membujuk temannya itu, berharap Shella menggagalkan rencana.
“Nanti agak siangan matahari akan muncul Ki, aku yakin hari ini akan cerah.”
“Tau dari mana kamu, emang kamu peramal cuaca?” Kia meliriknya yang sibuk melilitkan syal di bagian leher yang tertutup hijab.
“Ah, hangatnya,” gumam Shella. “Percayalah, hujan sudah bosan semalaman penuh bekerja. Sekarang waktunya mereka tidur.”
“Astaga, pemikiran macam apa itu?” Kia memukul kening, heran bercampur kesal juga sedikit gemas pada teman cantiknya itu. Sebenarnya Shella juga cantik, hanya saja gadis itu selalu insecure dengan dirinya sendiri.
Mobil panther hijau berhenti tepat di depan ketiganya, Husin berada di balik kemudi bersama Evan di sampingnya. Sementara Ijan melongok dari jendela kaca belakang yang terbuka. “Hai teman-teman, ayo naik, kita berangkat sekarang!”
Shella dan Kia saling berpandangan, keduanya heran sebab merasa tak mengajak tiga lelaki itu. “Aku yang ajak,” ucap Devina tiba-tiba, ia tersenyum berlalu begitu saja meninggalkan dua temannya.
“Shel, ayo…” Evan tersenyum ramah, beralih menatap Kia dan berkata, “Kia, naiklah,” imbuhnya lagi.
Shella tampak malu-malu, berjalan pelan menuju kursi penumpang, dan duduk di sana dengan anggun. Kia mengikutinya dan mobil pun melaju membawa mereka ke tempat tujuan.
Sebenarnya tempat itu tak jauh, hanya saja karena khawatir akan kembali turun hujan, Husin menyarankan untuk membawa mobil, kini mereka sudah berada di kafe susu milik keluarga Rendra.
Shella dan Devi sibuk memilih beberapa puding dan juga cake, sedangkan Ijan dan Evan tengah memesan minuman untuk teman-temannya. Tersisa Kia dan Husin duduk berdua di table mereka.
“Kemarin itu, ayah kamu Ki?” tanya Husin membuka percakapan.
“Iya, kok kamu tahu? perasaan aku nggak lihat kamu kemarin Husin?”
“Aku sempat lihat saat akan pergi ke swalayan. Kamu nggak mirip ayah kamu Ki,” ucapnya lagi. Kia tersenyum, pernyataan itu selalu ia dengar sejak kecil. Setiap orang yang mengenal keluarganya akan mengatakan hal sama.
“Memang, banyak yang bilang begitu. Aku mirip ibuku,” jawabnya.
Shella berjalan mendekat, ia tampak sumringah dan duduk tepat di kursi samping Kia. “Astaga Ki, cake nya enak-enak semua. Aku sampai kesulitan pilih, pengen ku borong rasanya.”
Kia tertawa geli melihat ekspresi temannya itu, begitupun Husin. “Mana kak Devi?”
“Masih pesan,” jawab Shella.
“Ya Allah, kenapa malah suruh kak Devi pesan sendiri? kenapa nggak di temenin?”
“Dia sendiri yang minta, aku disuruh duduk aja. Kenapa memangnya? ah… aku ganggu kalian ya? kalian pacaran ya?” Shella menunjuk muka kedua temannya bergantian.
“Astaghfirullah, apaan sih Shel!” Kia merasa sangat malu, apalagi saat Husin malah tertawa mendengar ucapannya. Kia memilih abai, meraih ponsel di atas meja dan memainkannya. Namun, tiba-tiba saja tiga orang gadis dengan pakaian sedikit terbuka datang mendekati meja mereka.
“Ehem, di antara kalian berdua mana yang namanya Tazkia?”
Oh iya, hari ini othor izin libur ya. Insya Allah besok up lagi. /Kiss//Pray/