Anisa menerima kabar pahit dari dokter bahwa dirinya mengidap kanker paru-paru stadium empat, menandakan betapa rapuhnya kehidupan yang selama ini ia jalani.
Malamnya, ketika Haris pulang dari dinas luar kota, suasana di rumah semakin terasa hampa. Alih-alih menghibur Anisa yang tengah terpuruk, Haris justru membawa berita yang lebih mengejutkan. Dengan tangan gemetar, Anisa membaca surat yang disodorkan Haris kepadanya. Surat yang menyatakan perceraian antara mereka berdua setelah 15 tahun membina rumah tangga.
Ternyata, memiliki kehidupan yang harmonis ekonomi yang bagus, serta anak-anak yang lucu tak bisa mempertahankan sebuah hubungan Anisa dan Haris.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Yuk, simak di Bunda Jangan Pergi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunda 22
Pagi itu, Tania sudah bangun pagi-pagi dan segera menuju dapur untuk membantu Bi Nan menyiapkan sarapan. Dapur terasa hangat dengan aroma masakan yang menggoda selera. Tania sibuk memotong buah dan menyajikan piring nasi goreng yang baru saja selesai dimasak oleh Bi Nan. Tak lama kemudian, Alvin, Salsa, dan Rayhan anak Haris bangun dan bergabung di meja makan.
Mereka terkejut melihat Tania yang sibuk menata hidangan di ruang dapur, sementara ibu mereka, Anisa, masih berada di kamar. Wajah Alvin seketika memerah, kemarahan meluap di matanya. Tanpa menahan emosi, Alvin membanting piring berisi nasi goreng yang ada di tangannya. Suara pecahan piring menggema di seluruh ruangan, membuat Haris dan Anisa yang baru saja memasuki ruang makan terkejut. Anisa segera mendekati Alvin dan menegurnya dengan nada tegas.
"Alvin, apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu membanting piring itu? Apa masalahmu?" Alvin menatap Tania dengan tatapan tajam, lalu menjawab dengan suara bergetar.
"Kenapa dia harus ada di sini, Bun? Kenapa dia harus menyiapkan sarapan untuk kita? Ini urusan keluarga kita, bukan urusannya dia!" Ucapnya sambil menunjuk ke arah Tania.
Tania merasa sedih dan terluka mendengar perkataan Alvin, tetapi dia berusaha menahan air matanya.
Sementara itu, Anisa merasa perlu menjelaskan situasi tersebut agar tidak semakin memburuk.
"Alvin, Tante Tania hanya ingin membantu. Dia tidak bermaksud menganggu keluarga kita. Kenapa kamu sampai melampiaskan kemarahanmu pada orang yang tidak bersalah?" tanya Anisa dengan lembut, berusaha meredakan emosi Alvin.
Alvin, tak menjawab dia memilih meninggalkan meja makan dan pergi ke ruang tamu dan duduk di sana dengan tangan dilipatkan di dadanya.
Di sudut ruang makan, Haris hanya bisa menatap kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Dia merasa bersalah karena situasi yang terjadi, tetapi juga ingin melindungi Tania dari perlakuan tidak adil dari anak-anaknya. Tetapi, Haris tak berani karena melihat sikap Alvin yang begitu keras kepala. Haris, takut menimbulkan masalah yang lain lagi jika dia membela Tania saat itu juga. Anisa menghela napas dan melihat Tania sekilas.
Anisa mendekati anaknya dan duduk di sebelah Alvin.
"Alvin nggak mau dia gantiin Bunda!"Alvin sedikit berteriak sehingga membuat bola mata Anisa melebar.
"Sayang, ssst!"Anisa memeluk anaknya, lalu Alvin dengan keras menangis di pelukan Bunda.
"Tak ada yang bisa gantiin Bunda, Sayang. Bunda akan terus bersama dengan Alvin di sini,"Anisa mengelus kepala sang anak dengan lembut berharap Alvin segera berhenti menangis.
"Bunda, bohong!"Anisa semakin sakit ketika mendengar suara Alvin yang parau akibat terlalu lama menangis.
Pagi itu berlalu begitu saja. Suasana rumah nampak begitu tenang dari kebisingan yang biasa menghiasi hari Minggu mereka.
Salsa bersama dengan Rayhan, sedang di kamar Tania. Wanita ini mengajari kedua anak itu menggambar dan membacakan dongeng untuk Rayhan, bocah yang baru menginjak usia empat tahun itu.
Siang itu, langit cerah dan matahari bersinar terik. Mira, sahabat Anisa, memutuskan untuk mengunjungi rumah Anisa tanpa pemberitahuan lebih dulu. Mira tiba di depan pintu rumah Anisa dan mengetuknya dengan penuh semangat. Namun, ketika pintu itu terbuka, bukan Anisa yang menyambutnya, melainkan Tania. Mira terkejut melihat Tania, mantan pacar Haris, berdiri di ambang pintu rumah Anisa, mantan istri Haris. Ekspresi wajah Mira berubah menjadi bingung dan penasaran.
"Tania? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mira dengan ekspresi terkejut. Sebelum Tania bisa menjawab, Anisa muncul dari balik pintu dan tersenyum ramah kepada Mira.
"Hei, Mira! Maaf, aku tidak tahu kamu akan datang. Masuklah!" ujar Anisa sambil menepuk pundak Tania. Mira masih merasa bingung, namun ia memutuskan untuk masuk ke rumah Anisa. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, Tania tersenyum pada Mira dan Anisa, sedangkan Mira masih mencoba mencerna situasi yang terjadi.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Mira kepada Anisa dan Tania. Anisa menarik napas panjang, lalu menjelaskan bahwa Tania datang untuk membantu Anisa mengurus beberapa urusan yang harus melibatkan Tania. Mira mengangguk, tetapi belum bisa menerima penjelasan Anisa. Lalu, Anisa mengajak Mira ke kamarnya yang ada di lantai dua, kini keduanya berada di balkon kamar Anisa.
"Jadi, kamu meminta Tania untuk mengurus ketiga anakmu dan juga mantan suamimu? Apa kamu gila, Anisa?!"tanya Mira dengan nada marah di akhir kalimat. Anisa hanya bisa menghela napasnya melihat sahabatnya yang begitu marah.
"Gila, kamu benar-benar gila. Aku tak habis pikir dengan apa yang kamu pikirkan untuk saat ini,"lanjut Mira menatap Anisa dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Kenapa kamu begitu cepat menyerah? Apa kamu tak ingin berjuang?"tanya Mira dengan lembut, netranya berkaca-kaca, Mira menggenggam erat kedua tangan Anisa.
"Berjuang? Aku sudah berjuang selama ini untuk bertahan hidup demi ketiga anakku, Mira. Tetapi, apa yang ku dapat? Setiap aku ke rumah sakit, bukan kabar baik yang ku dengar melainkan kabar buruk yang membuat aku semakin hari semakin takut,"ujar Anisa dengan air mata yang menetes. Mira langsung memeluk erat tubuh Anisa yang dirasanya semakin kurus itu.
"Aku mengerti, Anisa. Tetapi, yang tak bisa ku mengerti kenapa harus Tania?"Mira kembali bertanya.
"Tania adalah cinta pertama Mas Haris. Karena aku mereka gagal menikah, karena aku hubungan mereka tak bisa berlanjut. Apa salahnya aku sedikit berkorban demi mereka dan masa depan anakku nanti, Mira? Apa aku salah?"tanya Anisa yang tak bisa lagi menahan tangisnya.
"Kamu tak salah, yang salah itu takdir."Mira memegang kedua tangan Anisa dan menenangkan sahabatnya itu. Memberi dukungan yang penuh kepada Anisa agar dapat menjalani kehidupan ini dengan ikhlas.
akhirnya km akan meninggal dgn perasaan sakit hatimu ketika anak2mu yg tidak membutuhkan kamu
kurang suka dgn sosok Anisa yg menyerah sebelum berjuang
dasar bapak lucnut dpt daun muda uang sekolah anak2 di abaikan
semoga Anisa sembuh thor