NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:16.1k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MIMPI DIYAN

Karena langit tidak muram, sudah pasti tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Namun, di kala malam telah mendekap dan para makhluk fana pun telah terlena dalam buaian mimpi, air deras tiba-tiba mengguyur Desa Pandan. Hujan sangat deras, tetapi tidak disertai guntur maupun petir. Bahkan angin pun seperti tidak berembus. Tenang, tetapi terasa mencekam.

Di bawah air yang terus tercurah terjadilah fenomena lain yang tidak lazim. Langit dan alam sekitar menjadi saksi ketika sebuah bola api melesat dari atap salah satu rumah penduduk Desa Pandan, kemudian meluncur sangat cepat menuju ke arah rumah kosong berada dan lenyap begitu saja saat berada di atas atapnya.

"Aaarrrggghhh!"

Tidak sampai satu menit setelah bola api itu lenyap, suara raung kesakitan memecah keheningan salah satu ruang bawah tanah dalam rumah kosong tersebut.

"Dasar tidak berguna! Kamu bisa merusak segalanya bodoh!"

Dari dalam mulut Mamat melesat ke luar sebuah bola api, tubuh pemuda itu seketika ambruk ke lantai dan kembali muntah darah. Luka dalam akibat serangan Cariyasukma serta kesalahan fatal karena telah mengisap darah Diyan, membuatnya berkali-kali lebih lemah hingga pada saat roh Bhanu Angkara merasuki pun, kondisi Mamat tidak membaik juga.

Meskipun di dalam diri bersemayam roh perkasa, tetapi tubuhnya tetap saja raga fana yang lemah, tidak akan mungkin sanggup bertahan tetap baik-baik saja dari serangan altair agung. Seperti yang Cariyawarta bilang bahwa 'bila tanpa Bhanu Angkara dalam tubuhnya, Mamat pasti sudah tamat'.

Bola api melayang-layang liar, sepertinya sangat gusar dan gelisah. "Aku membutuhkan bocah itu sebelum sayap-sayapnya tumbuh. Aku harus mendapatkannya. Harus!"

"Hamba akan membawanya ...." Memaksakan diri berbicara, Mamat pun terbatuk-batuk dan muntah darah lagi.

"Kamu pikir bisa melakukannya dengan keadaan sekarat begini, hah?! Yang akan kamu hadapi bukan manusia, bahkan mereka bukan Altair sembarangan!"

Sebenarnya untuk beraksi, Bhanu Angkara bisa merasuki tubuh siapa saja dan dia sudah mencobanya, bahkan tidak hanya sekali. Namun, tidak ada manusia yang sanggup bertahan. Begitu rohnya masuk, orang yang bersangkutan langsung kejang-kejang untuk beberapa saat, setelahnya  tewas dengan tubuh menghitam seperti gosong.

"Ha-hamba ... a-akan men--coba ...." berbicara saja tersendat dan ngos-ngosan, lalu terbatuk-batuk lagi. Bagaimana bisa dia masih berani sok? Mamat benar-benar bodoh.

"Aaarrrggghhh!" Bhanu Angkara meraung, suaranya menggelegar di ruang bawah tanah, tempat di mana selama ini dia bersembunyi untuk mengumpulkan kekuatan.

"Kemarahanmu membuat mereka gelisah, Bhanu Angkara." Sosok perempuan bertubuh ramping terlihat anggun sekaligus menguarkan aura mistis dalam balutan gaun hitam yang dia kenakan, muncul sambil mengelus perutnya.

Bola api menghampiri. Paras ayu bermata cokelat cemerlang dengan rambut panjang ikal, terlihat sangat pucat dan letih. Wajah itu pun tampak tidak asing.

"Kamu seharusnya beristirahat." Bhanu Angkara memelankan suara meskipun tetap saja tegas dan mengandung amarah.

"Jangan salahkan aku. Suaramu membuat mereka gelisah dan meronta-ronta."

"Saudara bodohmu itu mengacaukan segalanya!"

Bhanu Angkara kembali murka dan melayang memutari Mamat yang sekarang duduk bersila. Kedua telapak tangannya berada di atas paha, terbuka menghadap ke atas serta mata pun terpejam. Gerakan bahu dan dada yang terlihat kasar, menandakan bahwa napasnya belum teratur. Pemuda itu berusaha keras untuk memulihkan kondisinya yang teruk.

"Bila terpaksa, kamu bisa menggunakan aku."

"Argh! Tubuh perempuan nggak layak jadi wadahku!"

Perempuan itu terkekeh sarkas. "Nggak layak, hum? Apa kamu lupa Bhanu Angkara yang Agung ... di dalam perut rata ratumu ini ada apanya?"

Bhanu Angkara tergelak-gelak, ujaran perempuan yang mengklaim diri sebagai ratu karena merasa telah mengandung anak-anaknya, sungguh sangat menggelikan. Sebagai makhluk tanpa hati nurani, Bhanu Angkara tidak akan pernah menganggap orang-orang di sekitar sebagai kolega atau partner. Baginya, mereka hanyalah hamba yang sudah sepantasnya melayani sang tuan. Selagi berguna dimanfaatkan dan bila sudah tidak dibutuhkan lagi, siap-siap saja dibuang.

"Anak-anak itu adalah buah maksiat kalian berdua." Tawa Bhanu Angkara semakin menjadi-jadi dan di sela tawa itu dia kembali berkata, "Tapi, kamu memang wadah yang tepat untuk makhluk-makhluk kecil haus darah itu."

Perempuan itu tersenyum bangga sambil terus mengelus perutnya yang rata, tidak ada tanda-tanda kalau dia sedang mengandung.

"Bersama mereka, kita akan menguasai dunia," gumamnya dengan suara mendesis dan mata berkilat penuh hasrat.

Roh api tergelak semakin menjadi-jadi sambil melayang kembali menghampiri perempuan itu dan mengelilinginya.

Sementara itu, sesosok perempuan yang juga bertubuh ramping semampai, bergegas menjauh dari pintu. Kaki-kaki jenjangnya mengayun langkah cepat di dalam temaram lorong bawah tanah. Menaiki tangga tanpa mengurangi kecepatan. Berjalan di bawah bayang-bayang jendela koridor rumah tua yang kacanya sudah tidak utuh lagi tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Menerobos hujan tanpa peduli basah kuyup dan menghilang di jalan gelap yang dinaungi pepohonan besar nan rindang. Dia adalah Ambar.

Sungguh cuaca yang aneh. Air masih terus tumpah, tetapi langit sangat cerah. Bahkan ufuk fajar dihiasi rona jingga keemasan pertanda matahari telah terbit.

Rumah terpencil Gaganantara masih lengang. Yang terlihat sudah bangun hanya Bu Harnum, di ruang makan sedang berbicara di saluran telepon, "Aku ikut berduka, Yu Salamah. Nanti kami pasti ke sana. Baiklah, sampai nanti."

Bu Harnum mengakhiri pembicaraan. Meletakkan ponsel di atas meja makan dengan mata menatap terpaku ke luar. Cuaca yang aneh ini tidak akan terasa begitu ganjil baginya bila tidak disertasi adanya tiga pria meninggal dengan tubuh menghitam karena hangus. Salah satu dari pria itu adalah keponakan Bu Salamah.

Apakah ini ulahnya? Sudah begitu dekat, kenapa dia belum bergerak untuk mengambil peluang? Bu Harnum membatin.

Orang tua Srintil meninggal dengan kondisi mengenaskan. Tubuh mereka menghitam seperti gosong. Waktu itu, usia si kembar Mamat dan Srintil baru lima tahun. Sementara Ambar sudah lima belas tahun.

Bu Harnum teringat kembali pada cerita Bu Salamah tentang keluarga Srintil. Pertanyaan pun muncul di dalam benaknya, bukankah seharusnya Srintil sudah seumuran Arka, tetapi kenapa masih terlihat begitu muda? Bahkan, tampak lebih muda dari Diyan yang baru tujuh belas tahun.

Sepertinya, Bu Harnum akan lebih terkejut bila bertemu Ambar yang parasnya terlihat lebih muda dari Arka, padahal usianya sepuluh tahun lebih tua. Tiga bersaudara itu tetap awet muda karena sudah terkontaminasi oleh umur panjang makhluk Sahen Gaganantara, yaitu Bhanu Angkara.

Perempuan ayu itu menghela napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Segalanya terasa semakin berat dan menyesakkan dada saat mengingat hari yang paling bersejarah dalam hidup Diyan tinggal menunggu hitungan jam.

Hujan ini membuat siapa pun enggan berpisah dengan pembaringan dan selimut yang menghangatkan. Tadi, Bu Harnum terpaksa bangun karena Bu Salamah menelepon. Dia keluar dari kamar karena tidak ingin menganggu tidur Pak Satria.

Menolak hasrat yang rasanya ingin kembali membaringkan diri saat melihat sofa ruang depan, Bu Harnum bergegas melangkah ke dapur.

Sementara itu, di dalam kamarnya Diyan yang masih tidur terlihat bergerak gelisah, bahkan keringat membasahi wajah dan lehernya.

Di alam bawah sadar, Diyan melihat tubuhnya melayang setelah ditendang oleh seseorang yang memiliki sayap emas. Tubuhnya menghantam batu besar dan batu itu seketika hancur lebur jadi debu.

Diyan terkapar berselimut debu, tetapi tidak merasakan sakit sama sekali. Dia tertawa ... terbahak-bahak mengejek. Terbahak dan terus terbahak hingga ....

"An, bangun!"

Guncangan di bahu dan teriakan  Bu Harnum, yang sudah untuk ke sekian kali akhirnya berhasil menarik Diyan dari alam mimpi.

Mata si bungsu terbuka lebar dan menatap nyalang langit-langit kamar. Napasnya memburu, tawa dalam mimpi masih terngiang-ngiang. Diyan refleks menggerak-gerakan rahang yang terasa sedikit pegal.

Bu Harnum duduk di tepi pembaringan dan mengusap peluh yang membasahi wajah si bungsu menggunakan selimut. Tadi, begitu mendengar suara Diyan tertawa, dia langsung bergegas datang.

Dia sempat berpikir kalau Diyan mungkin sedang bergurau dengan kakaknya, tetapi pemikiran itu terbantahkan ketika dia dan si sulung berpapasan di lorong, sama-sama hendak menuju ke kamar si bungsu. Akhirnya, Bu Harnum meminta Arka untuk ke dapur mengambil air minum.

Diyan kembali memejamkan mata hanya untuk mengatur napas. Setelah itu, baru mengangguk kemudian bangun. Tenggorokannya kering, dia baru saja hendak menyampaikan pada ibunya kalau sedang haus, tetapi Arka sudah muncul di pintu membawa apa yang dia butuhkan.

"Minumlah." Arka mengulurkan gelas dan langsung duduk di samping adiknya begitu gelas tersebut telah berpindah tangan. "Kamu mimpi apa, toh? Sampai ketawa ngakak-ngkak kayak gitu."

Diyan hampir saja menyemburkan air dalam mulutnya. Setelah susah payah menelan dia bertanya, "Aku tertawa?"

"Sangat kencang," jawaban datang dari arah pintu. Perhatian mereka pun beralih dan mendapati Pak Satria sedang melangkah masuk. "Aku ya dengar juga, tapi panggilan alam nggak bisa diajak kompromi." Pak Satria berhasil membuat senyum menghiasi wajah mereka dengan humor kecilnya.

Diyan meraba rahang. "Jadi aku ngigau tertawa? Pantes ae rahangku rasane kaku."

1
Aegis Aetna
ninggalin jejak dulu. nanti aku lanjut.
anggita
iklan☝+like👍 utk novel fantasi timur lokal. smoga sukses Thor
anggita
bojonegoro... jawa timur.
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [WP: Yui_2701]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!