Married Via Audition

MENERIMA SIKAP KASAR ALINA

Selama makan pagi bersama Arky, tidak ada percakapan diantara sepasang suami istri itu. Irie menyadari dan tahu diri bahwa dia hanyalah menjadi seorang ibu sambung yang akan merubah anak tirinya— tidak lebih.

Arky baru saja meneguk minumannya, penutup sarapannya, lalu mengelap bibirnya dengan kain putih yang sudah disiapkan di sisi meja makan tersebut.

“Waktumu kurang satu hari lagi. Jika gagal, aku akan memberimu dua pilihan.”

Seketika Irie membuka lebar matanya. Apakah dia salah dengar? Bukankah di kontrak sudah tercantum bahwa hanya akan mendapat hukuman saja, bukan pilihan kedua lainnya.

Menyadari akan kebingungan Irie yang masih menatapnya. Arky langsung menatap balik hingga wanita itu sedikit berusaha memalingkan pandangannya ke arah lain meski itu gagal.

“Ini bukan kebaikan. Aku sengaja memberikanmu dua pilihan karena aku ingin kau segera pergi dari sini.” Ucap Arky mempertegas.

“Lalu... Apa dua pilihan itu?”

“Menetap dan menghadapi masalah di sini atau keluar dan bercerai.”

Pilihan kedua lebih bagus untuk Irie. Wanita itu sudah memikirkan sola pilihan kedua, yaitu— Keluar dan bercerai. Tapi dia juga harus memikirkan hal lainnya juga.

Belum sempat mengatakan sesuatu, Arky sudah beranjak dari tempatnya seraya menatap ke arlojinya sampai-sampai dia melupakan jas hitamnya yang masih tersampir di punggung kursi yang ia duduki tadi.

“Tuan Arky!!!” panggil Irie sambil berlari mengangkat jas milik suaminya. Mendengar panggilan lantang itu membuat Arky seketika berbalik dan mengurungkan niatnya yang hendak masuk ke mobil.

“Hampir saja! Kau melupakan jas mu.” Kini mereka saling menghadap satu sama lain. Arky masih mengamati istri barunya itu yang tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.

Tiba-tiba sebuah perasaan aneh muncul begitu saja. perasaan lembut yang mengingatkannya kepada cintanya yang lama hilang. Melihat duda tampan itu melamun, Irie mencoba melambaikan tangannya tepat di depan wajah Arky.

“Kau.. Baik-baik saja?”

Tanpa menjawabnya, pria itu langsung meraih jas nya dari tangan Irie lalu masuk ke mobil begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih.

Di dalam mobil, pria itu langsung memijit keningnya. pikirannya benar-benar kacau karena terus melihat Saffron dalam diri Irie.

“Yang benar saja.” Lirihnya tak percaya dengan pikirkan dan hatinya sendiri.

Sementara Irie masih berdiri di tempatnya, menatap ke arah perginya mobil putih milik suaminya itu. Bibirnya mengerucut setelah dia ingat ucapan Arky tadi tentang memberikan pilihan kedua. Di sisi lain dia tidak punya tempat tinggal, dan pasti ibu tirinya juga mantan kekasihnya masih berada di rumah peninggalan keluarganya.

Dari arah jendela di lantai dua, terlihat Alina mengamati ibu sambungnya dari atas. Tatapannya datar tak seperti biasanya. Ketika Irie berbalik, tanpa sengaja dia melihat keberadaan Alina di sana.

Tanpa rasa malu ataupun canggung, wanita energik itu melambaikan penuh semangat dan penuh kasih ke arah Alina. “Dasar konyol.” Gumam Alina lalu masuk.

Senyuman Irie hilang secara perlahan ketika Alina sudah tak terlihat di jendela. “Jalani saja Irie... Mungkin ini takdirmu.” Ucapnya lagi-lagi hanya bisa pasrah.

...***...

Ken baru saja menyelesaikan ketika terakhirnya di komputer, lalu dia beranjak dari tempatnya dan mulai mencari mesin kopi di ruangan dapur. Ada banyak sekali pegawai yang bersantai karena memang pekerjaan mereka banyak yang sudah selesai.

“Hey Ken!!! Kekasih Barbie!” canda kawan kantornya seraya menepuk pundak pria berkemeja putih itu.

Ken hanya tersenyum tipis. “Kapan kau menikah?” tanya temannya yang kini bersama dua pria lainnya.

“Satu Minggu lagi. Aku akan mengundang kalian!” ucapnya seraya meneguk minumannya.

“Dengan wanita tua itu— maksudku, wanita yang lebih tua darimu! Jangan tersinggung kawan.” Mendengar hal itu, Ken hanya menahan amarahnya dengan senyuman miringnya.

Seketika ketiga pria tadi mulai semakin mendekat. “Aku dengar istri baru bos Arky itu masih muda! Aneh sekali bukan. Bagaimana kalian bisa tertukar hahaha!!!” tawa pria tadi tanpa sadar bahwa orang yang mereka bicarakan sudah berdiri di sana.

Salah satu dari mereka menyadarinya hingga terbungkam. Begitu juga dengan Ken dan yang lainnya. Sementara Arky menatap mereka dengan tajam sambil membawa segelas kopi.

“B-bos... Kami— kami hanya— ”

“Aku menggaji kalian bukan untuk menggosip.” Ucapnya dingin laku pergi begitu saja.

Sungguh, jantung keempat pria termasuk Ken seketika kembali berdegup normal. Tatapan serta suara dingin bosnya sangatlah terkenal di perusahaan. “Tidak biasanya bos ambil kopi sendiri.” Bisik pria berkemeja putih itu kepada Ken dengan kebingungan.

Ken melepaskan tangan temannya tadi dari bahunya. “Lain kali belajarlah tutup mulut! Dasar.” Balas Ken menyeringai puas lalu pergi. Namun dia masih penasaran dengan istri baru Arky, seperti ada yang mengganjal dalam dirinya.

.

.

.

Arky baru saja meletakkan gelas kopinya di atas meja, sementara dia berjalan lebih maju hingga memandangi dinding kaca di depan.

Wajahnya yang serius menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang ada dalam hatinya. Ucapan Irie mengenai dia yang tak pandai merawat Alina hingga putrinya menjadi liar. Semua itu membuat Arky kesal namun itu adalah kebenarannya.

Tiba-tiba, Arky segera meraih ponselnya lalu menelepon seseorang. Entah apa yang sedang dia pikirkan ketika dia akhirnya mau menelpon Alina— putrinya.

Derttt!! Derttt!!! Dering ponsel terus berbunyi. Berulangkali ayahnya menelepon namun Alina sengaja tak menjawabnya dan hanya memegangi ponselnya sambil menatapnya terus.

Sampai panggilan yang terakhir.

[“Hm?? Aku di rumah, aku tidak sedang membuat masalah.”] Ketus Alina.

Cukup lama Arky berdiam diri dan hanya mendengarkan saja. Sejujurnya dia bingung harus mengatakan apa kepada Alina.

[“Halo? Jika tidak ada yang dikatakan maka aku matikan. Aku sedang sibuk.”] Lanjut Alina lagi, berharap kalau ayahnya akan melontarkan kata-kata yang indah atau semacamnya, namun tidak. Arky masih tidak membalasnya dan hanya terdengar keheningan saja.

Dengan penuh kesal, Alina mematikan ponselnya begitu saja.

“Jika tidak bisa bicara kenapa harus menelepon?” kesal gadis itu. Betapa senangnya dia ketika melihat bahwa ayahnya menelepon dirinya untuk pertama kalinya.

Sedangkan di kantor. Arky juga kebingungan hingga dia merutuki dirinya sendiri. “Sial.” Umpatnya langsung duduk di kursinya.

“Bahkan bicara dengan putrimu saja tidak bisa.” Arky tersenyum miris pada dirinya sendiri yang semakin hari semakin jauh dari darah dagingnya.

Tok! Tok! Tok! Kesedihan Alina pecah ketika lagi-lagi suara ketukan di pintunya terdengar kembali. Dia pasti tahu, bahwa itu adalah ibu tirinya.

Kekesalannya mulai memuncak hingga dia mulai berdiri dan berjalan cepat menuju pintu.

“Sekarang apa lagi, apa lagi?” kesalnya hingga ingin meremas Irie pada saat itu juga.

Melihat hal itu Irie terkejut, namun dia urungkan keterkejutannya lalu kembali tersenyum seperti biasa. “Kau tidak mau ke meja makan, jadi aku bawakan makanan untukmu!” kurang sabar apa Irie menjadi seorang ibu untuk pertama kalinya.

Alina melirik sekilas nampan yang Irie bawa.

“Aku tidak mau memakan masakan mu. Pergilah.” Tolak Alina begitu kaku sekali.

“Cobalah sedikit saja, mungkin— ”

“AKU BILANG TIDAK MAU!!” pyarr!!!

Alina lagi-lagi bersikap kasar, dia memukul nampan yang Irie bawa dari bawah hingga wajah Irie beserta pakaiannya seketika kotor tertumpah makanan tadi. Gadis itu menatap kasar dan tak peduli hingga dia masuk dan hendak menutup pintunya, namun Irie langsung menahan pintu tersebut dengan kaki kirinya, juga ekspresi wajahnya yang menjadi serius.

“Aku bilang, pergi.” Alina yang semakin kesal langsung saja menendang kaki Irie hingga wanita itu terpekik kesakitan seraya memegangi kakinya.

Brakk!!!

“Hampir saja aku bisa bersikap tegas. Hffuu— ” lirihnya sangat kecewa. Dan kini, tulang kering di kakinya terasa sakit akibat tendangan Alina tadi. Nasib yang malang.