“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22 ~ Ikut Aku
“Ibu, jangan bikin malu. Kita duduk dulu.”
Aku masih dengan wajah cemberut, sempat melirik Pak Gentala yang sedang menatapku.
Bang Tony duduk di kursi paling ujung, diikuti oleh Ayah, Ibu dan aku.
“Langsung saja, kami mohon maaf sudah menghubungi Bapak dan Ibu sepagi ini dan meminta kalian datang. Saya Krisna dan ini istri saya Malea,” tutur Pak Krisna.
Rasanya aku ingin segera kabur dari tempat ini, baru salam pembuka saja sudah berhasil buat aku berkeringat. Entah apa yang akan Ayah dan Ibu teriakan padaku kalau tahu aku berulah.
“Ini putra saya Gentala Radinka Yasa.”
Aku mengernyitkan dahi melihat ekspresi wajah Pak Gentala yang tetap datar, tanpa senyum. Padahal orangtuanya berwajah manis dan murah senyum.
Entah tante Malea ngidam apa saat hamil Pak Gentala, sampai sifatnya angkuh dan menyebalkan juga arogan.
“Saya Javas dan ini Resa istri saya.” Ayah dan Ibu berbasa basi bahkan mengatakan mereka senang mengenal Pak Krisna, jangan-jangan setelah ini Ibu akan minta foto bersama Pak Krisna.
“Ada hal yang akan disampaikan oleh putra saya. Gentala, jelaskan!”
“Saya akan menikahi Diajeng, putra Bapak dan Ibu.”
Udah, gitu doang. Memang parah bener orang yang satu ini.
“Menikah?” tanya Ayah dan Ibu serempak kemudian memandangku.
“Maksudnya menikah dengan Nak Gentala?” tanya Ayah memastikan apa yang sudah dia dengar.
“Betul Pak Javas. Bagaimana menurut Bapak?”
Entah hanya perasaanku saja atau memang Pak Krisna sedang dalam mood yang baik. Sejak tadi dia berwajah ceria bahkan senyam senyum, padahal putranya mau menikah dengan aku yang … kedua mata Pak Krisna masih berfungsi dengan baik atau tidak ya.
“Saya senang kalau memang Ajeng ada yang suka, serius dan mau menikahinya tapi Bapak yakin akan menjadikan putri saya menantu Bapak? Lagi pula perbedaan umur mereka sepertinya agak jauh ya.”
“Umur saya tiga lima dan Ajeng akhirnya tahun ini dua puluh lima, memang agak jauh tapi saya yakin bisa membimbing dan membahagiakan dia. Saya pernah gagal berumah tangga dan tidak mudah untuk memutuskan kembali serius dalam hubungan dan saya serius dengan putri Bapak.”
Yakin mau bahagiakan aku, dari awal bertemu aja udah kayak tom and jerry. Boro-boro bisa merasakan jatuh cinta dan romansa percintaan, yang ada setiap hari aku dag deg seperti adegan film action.
“Jadi Nak Gentala ini duda? Kalau boleh kami tahu, pekerjaan Nak Gentala apa ya, bagaimanapun kami akan menyerahkan putri kami jadi harus jelas masa depannya seperti apa?”
“Ibu,” ujarku ketika Ibu suri mulai membuka suara.
“Bapak dan Ibu tidak usah khawatir, putra saya akan bertanggung jawab menafkahi Ajeng dengan baik. Saat ini dia memimpin Go TV dan ada perusahaan sendiri di Singapura. Ajeng juga akan mendapatkan persentase saham ketika menikah dengan Gentala,” jelas Pak Krisna dan aku nggak paham dengan masalah saham tapi Ayah dan Ibu saling tatap dengan wajah sulit terbaca.
“Kami bagaimana Ajeng, tapi saat ini Ajeng menjadi harapan untuk membayar hutang keluarga,” tutur Ayah.
“Iya, seharusnya Nak Gentala datang pada kami sebelum kakaknya Ajeng menikah. Dia lebih cantik dan lebih cocok menjadi menantu keluarga Pak Krisna,” tutur Ibu lagi-lagi membela Vina dan mengabaikan aku.
“Anak kalian bukan hanya aku, jadi aku akan penuhi sesuai kemampuanmu jangan limpahkan semua padaku. Ada Bang Tony dan Kak Vina”
“Ajeng,” pekik Ibu sambil melotot ke arahku.
Aku hanya bisa mendengus kesal lalu menunduk. Sepertinya aku terima saja menikah dengan Pak Gentala daripada terus berada di tengah keluarga yang tidak jelas apakah aku memang bagian dari keluarga itu atau bukan.
“Kalian yakin akan menjadikan Ajeng menantu?”
Oh, lihat ini Bang Tony si pemalas yang sok kaya akhirnya membuka suara. Entah apa yang akan disampaikan, apakah menentang permintaan Pak Krisna atau tidak senang waktu aku bilang dia juga harus terlibat di masalah pelunasan hutang Ayah.
“Tentu saja,” jawab Pak Krisna.
Bang Tony terkekeh, entah apa yang lucu malah aku ingin menertawakan kebodohannya.
“Ajeng tidak sebaik dan sesuci yang tampak di luar. Akhir-akhir ini dia sering pulang diantar mobil mewah, sepertinya dia jalan dengan Om-om kaya. Mantan kekasih Ajeng menghamili Vina kakaknya, jadi bisa kita bayangkan seperti apa gaya pacaran mereka kalau laki-laki itu berani menghamili kakak kandungnya.”
“Tony,” tegur Ayah.
Aku hanya bisa menunduk malu. Bukan karena tuduhan yang Tony tujukan padaku tapi malu karena menjadi bagian dari keluarga ini. Ayah, Ibu dan Tony sudah membuka borok keluarga ini.
“Yang mengantarkan Ajeng pulang itu saya,” sahut Pak Gentala membuat aku berani mengangkat daguku dan menatapnya. “Mantan kekasih Ajeng adalah laki-laki brengsek yang sudah mengabaikan berlian entah demi apa,” tuturnya lagi.
Rasanya aku ingin beranjak dan melompat ke atas pangkuan Pak Gentala karena sudah membelaku dan mengucapkan kata dukungan yang … oh so sweet.
“Bagaimana Pak Javas, apa anda merestui Ajeng menikah dengan putra saya?”
Ayah dan Ibu kembali memandangku dan aku hanya mengedikkan bahu, lirikan mata Tony seakan mengatakan, “Awas kamu!”
“Tidak usah khawatir, saya akan melunasi hutang yang kalian limpahkan pada Ajeng. Setelah kami menikah, dia akan menjadi tanggung jawab saya.”
“Terima kasih nak Gentala. Lalu kapan pernikahannya akan diselenggarakan?” tanya Ayah dengan semangat empat lima.
Pak Krisna dan Pak Gentala sempat saling tatap. Sepertinya mereka belum memutuskan tapi aku masih tidak percaya kalau aku akan menikah dengan Pak Gentala.
“Secepatnya,” jawab Pak Gentala.
“Kita akan adakan pertemuan lagi, saya akan atur dulu dengan jadwal yang sudah ada,” ujar Pak Krisna. “Tapi kami harap jangan ada informasi apapun keluar apalagi sampai ke media, terkait rencana ini. Dari kami sendiri tidak mungkin membocorkan, jadi Pak Javas pastikan keluarga Bapak tidak melakukan hal itu.”
Akhirnya pertemuan selesai, Ayah dan Ibu juga Bang Tony pamit undur diri. Aku bernafas lega, karena sejak tadi seperti berada di tengah persidangan.
“Ajeng, ayo pulang,” ajak Ibu.
“Ehm, aku ….”
“Biar Ajeng, bersama kami dulu. Saya masih ada perlu dengannya.” Tante Malea memang terbaik, aku belum mau pulang. Sudah terbayang, mereka akan memojokkan aku dan mencecar dengan banyak pertanyaan dan Bang Tony … entah apa yang akan dia lakukan padaku.
“Gentala, kamu bisa lihat jadwal Papi. Segera putuskan tanggalnya, jangan kelamaan sampai kabar tersebar.”
“Akhirnya Mami akan dapat menantu lagi. Ajeng, kamu harus sering ke rumah atau nanti kita hangout bareng Indah -- adik ipar Gentala.”
“Ayo,” ajak Gentala ketika orangtuanya sudah meninggalkan ruangan.
“Ayo ke mana?” tanyaku.
“Kita harus bicara, tapi tidak di sini. Kamu langsung keluar, di depan lobby sudah ada Pak Budi. Jangan keluar bersamaan, masih ada pencari berita setelah gala dinner semalam.”
Aku meraih paper bag berisi gaun dan tas tangan yang aku gunakan semalam. Berjalan di sepanjang koridor ruang pertemuan dan melewati lobby. Aku sudah melihat mobil Pak Gentala juga Pak Budi yang berdiri di samping kendaraan itu.
“Ajeng.”
Aku menoleh, ternyata Fabian.
“Ikut aku.” Fabian menarik tanganku menjauh dari pintu lobby kembali ke koridor.
“Eh, tunggu Pak. Saya sudah ditunggu ....”
ato jangan-jangan .....