Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta, Perjuangan dan takdir
Malam itu, di sebuah restoran kecil yang nyaman, Caca duduk berhadapan dengan Raihan. Lampu temaram menambah suasana hangat di antara mereka, meski hati Caca terasa beku. Raihan, seorang pengusaha muda yang sabar dan penuh perhatian, terus berusaha menembus dinding yang Caca bangun di sekeliling hatinya. Mereka sudah beberapa bulan mengenal satu sama lain, tapi bagi Caca, perasaan terhadap Raihan belum cukup kuat.
Bayangan Arman suami Sasa sekaligus sahabat nya, terus menghantui pikirannya. Seberapa keras pun ia mencoba melupakan, ada bagian kecil dalam dirinya yang masih merindukan pria itu. Bahkan kini, setelah mengetahui Sasa sedang mengandung bayi kembar, rasa bersalah dan rindu yang terpendam itu semakin menyiksa.
“Caca,” suara Raihan membuyarkan lamunannya. “Kamu melamun lagi. Ada yang salah sama makanannya?”
Caca tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya. “Nggak, makanannya enak kok. Maaf, aku cuma kepikiran sesuatu.”
Raihan mengangguk paham, meski ia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang Caca sembunyikan. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara dering ponsel milik Caca memecah keheningan. Ia melihat nama Tari, adik perempuannya, tertera di layar.
“Halo, Tari? Ada apa dek?” tanya Caca lembut.
Di ujung telepon, suara Tari terdengar panik. “Kak, Ibu dilarikan ke rumah sakit. Asmanya kambuh lagi. Aku di sini sama tetangga yang bantu antar ke rumah sakit.”
Mendengar itu, tubuh Caca seolah kehilangan tenaga. Air matanya langsung jatuh, dan tangannya bergetar. “Ibu? Keadaan Ibu gimana sekarang?” tanyanya terbata.
“Aku nggak tahu, Kak. Dokter lagi periksa,” jawab Tari sambil terisak.
Setelah beberapa saat berbicara, Caca menutup teleponnya. Matanya berkaca-kaca, wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam.
“Ada apa, Caca? Kenapa kamu nangis?” Raihan bertanya lembut, menggenggam tangan Caca untuk memberinya ketenangan.
“Ibu... Ibu dilarikan ke rumah sakit. Asmanya kambuh lagi,” jawab Caca sambil menyeka air matanya. Ia merasa dadanya sesak, khawatir tentang kondisi ibunya yang selama ini sering jatuh sakit setelah ayahnya meninggal dunia.
Raihan mengangguk pelan. “Kalau gitu, ayo aku antar kamu ke rumah sakit sekarang. Kamu nggak usah mikirin yang lain dulu.”
Caca menggeleng. “Nggak usah, Raihan. Rumah sakitnya jauh, kamu nggak perlu repot-repot.”
“Tolong, Caca. Jangan bilang begitu. Aku cuma mau bantu kamu,” jawab Raihan tegas, menunjukkan ketulusannya.
Akhirnya, setelah beberapa menit meyakinkan, Raihan membawa Caca ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Perjalanan itu penuh dengan keheningan, sementara Caca sibuk berdoa di dalam hati agar ibunya baik-baik saja.
---
Di Rumah Sakit
Sesampainya di rumah sakit, Caca langsung berlari ke ruang gawat darurat. Ia menemukan Tari duduk di kursi tunggu, matanya bengkak karena menangis.
“Tari, gimana keadaan Ibu?” tanya Caca, napasnya masih terengah.
“Dokter bilang Ibu udah stabil, tapi harus dirawat beberapa hari,” jawab Tari pelan.
Caca menghela napas lega, meski hatinya masih cemas. Ia masuk ke ruangan tempat ibunya dirawat, mendapati sang ibu yang terbaring lemah di tempat tidur. Wajah ibunya tampak pucat, tapi matanya terbuka dan menatap Caca dengan penuh kasih sayang.
“Kamu datang, Nak,” suara ibunya terdengar lemah, tapi cukup untuk membuat hati Caca semakin tersayat.
“Iya, Bu. Maaf aku telat,” jawab Caca, duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan ibunya.
“Nggak apa-apa. Ibu cuma kaget tadi, jadi sesak napas,” ujar sang ibu, mencoba tersenyum meski tubuhnya lemah.
Raihan, yang berdiri di belakang Caca, hanya diam mengamati. Ia tak ingin mengganggu momen itu, tapi kehadirannya cukup memberikan rasa nyaman bagi Caca.
---
Keesokan harinya, Caca memutuskan untuk mengambil cuti seminggu dari pekerjaannya agar bisa merawat ibunya di rumah sakit. Selama itu pula, Raihan terus menunjukkan perhatiannya. Ia rutin menanyakan kabar ibu Caca, membawakan makanan untuk mereka, bahkan kadang menemani Tari agar Caca bisa beristirahat sejenak.
Namun, di sela-sela perawatan ibunya, bayangan Arman tetap menghantui pikiran Caca. Ia sering teringat momen-momen kecil saat mereka masih dekat—tertawa bersama, saling berbagi cerita, Perasaan itu menjadi beban yang semakin sulit ia tanggung, terutama karena ia tahu bahwa Arman bahagia bersama Sasa dan bayi kembar yang mereka nantikan.
Suatu malam, saat Caca duduk sendirian di taman rumah sakit, Raihan datang membawakannya secangkir kopi hangat. Ia duduk di samping Caca, menatap wajah wanita itu yang tampak lelah.
“Caca, kamu baik-baik aja?” tanya Raihan, suaranya penuh perhatian.
Caca mengangguk pelan, tapi matanya tetap memandang lurus ke depan. “Aku cuma... banyak yang dipikirin.”
“Kalau kamu mau cerita, aku selalu siap dengerin,” ujar Raihan.
Caca terdiam. Ada keinginan untuk menceritakan segalanya kepada Raihan—tentang Arman, perasaannya, dan beban yang selama ini ia simpan sendiri. Tapi ia takut, takut Raihan akan menjauh jika tahu kebenaran.
“Raihan, kenapa kamu begitu baik sama aku?” tanya Caca tiba-tiba.
Raihan tersenyum tipis. “Karena aku peduli sama kamu, Ca. Aku nggak tahu gimana caranya bikin kamu percaya, tapi aku beneran tulus. Aku cuma pengen lihat kamu bahagia.”
Kata-kata Raihan menyentuh hati Caca, meski ia masih ragu untuk membuka diri sepenuhnya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Raihan adalah pria yang baik, pria yang mungkin bisa membantunya melupakan masa lalu. Tapi untuk benar-benar melangkah maju, ia harus melepaskan bayangan Arman terlebih dahulu—sesuatu yang belum sepenuhnya mampu ia lakukan.
---
Kembali ke Rumah
Setelah seminggu dirawat, ibu Caca akhirnya diperbolehkan pulang. Caca membawa ibunya kembali ke rumah, memastikan semua kebutuhan ibunya terpenuhi agar kondisinya tidak kambuh lagi. Tari, yang masih duduk di bangku kelas 11 SMA, juga berusaha membantu sebisanya, meski ia harus tetap fokus pada sekolahnya.
Di tengah kesibukannya merawat sang ibu, Caca perlahan mulai merenungi kehidupannya. Ia sadar bahwa ia tidak bisa terus hidup di bayang-bayang masa lalu. Ia harus membuat pilihan—untuk melepaskan Arman dan memberi kesempatan pada Raihan, atau terus terjebak dalam perasaan yang tidak akan pernah terbalas.
Raihan, di sisi lain, terus menunjukkan kesabarannya. Ia tidak pernah memaksa Caca untuk segera membuka hati, tapi kehadirannya yang konsisten membuat Caca merasa dihargai dan dicintai.
---
Langkah Baru
Suatu malam, setelah memastikan ibunya tertidur, Caca duduk sendirian di ruang tamu. Ia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Raihan.
“Caca, aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Tapi aku cuma mau bilang, aku akan selalu ada di sini, apa pun keputusan kamu. Jangan ragu buat cerita atau minta bantuan, ya.”
Pesan itu membuat Caca tersenyum tipis. Ia akhirnya sadar bahwa mungkin inilah saatnya untuk melangkah maju. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu. Raihan adalah kesempatan baru, dan ia tidak ingin menyia-nyiakan pria yang begitu tulus mencintainya.
Malam itu, Caca memutuskan untuk memberi Raihan kesempatan. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia siap untuk mencoba. Bagi Caca, ini bukan hanya tentang melupakan masa lalu, tapi juga tentang menerima masa depan yang lebih cerah.