Bercerita tentang seorang permaisuri bernama Calista Abriella, yang telah mengabdi pada kekaisaran selama 10 tahunnya lamanya. Calista begitu mencintai Kaisar dan rela melakukan apa saja untuknya, namun cinta tulus Calista tak pernah berbalas.
Sampai suatu peristiwa jatuhnya permaisuri ke kolam, membuat sifat Calista berubah. Ia tak lagi mengharap cinta kaisar dan hidup sesuai keinginannya tanpa mengikuti aturan lagi.
Kaisar yang menyadari perilaku Calista yang berbeda merasa kesal. Sosok yang selalu mengatakan cinta itu, kini selalu mengacuhkannya dan begitu dingin.
Akankah sifat Calista yang berbeda membuat kaisar semakin membencinya atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kleo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Hanya Mahkota
“Anda tidak papa yang Mulia?” tanya Elisha yang melihat tuannya hanya diam.
Calista mengangguk, “Ya, aku tidak papa, Elisha. Sekarang aku ingin bertanya tentang hal lain, bagaimana dengan gaun yang kau jual?”
“Ya, gaun-gaun itu terjual dengan harga tinggi, sesuai dengan berlian dan mutiara yang menghiasi mereka. Saya sudah memberikan hasilnya pada orang-orang Lizel dan panti asuhan yang anda suruh.”
Muncul guratan senyum di wajah Calista yang sendu, “Terima kasih Elisha aku banyak menyusahkanmu.”
“Tidak masalah yang Mulia, itu sudah menjadi tugasku.”
Elisha merasa aneh melihat perubahan tuannya yang sekarang, jujur jika ia bisa memilih, Elisha lebih suka sosok Calista yang dulu, meski penuh amarah sosoknya begitu hidup, tidak seperti sekarang bagai manusia tanpa nyawa.
Tapi di sisi lain, Elisha senang dengan sosok Calista saat ini, wanita yang tidak lagi mengharap cinta dari seorang yang sama sekali tak mencintainya.
“Baiklah, sekarang kau boleh pergi. Kau juga butuh istirahat.”
Elisha menunduk memberi hormat, dan keluar dari kamar sang permaisuri. Saat keheningan kembali menguasai, Calista yang telah mengganti pakaiannya, berjalan perlahan ke dekat jendela.
Angin yang berhembus menerpa tubuhnya, membuat perasaan Calista sedikit lebih baik. Ya, hanya malam lah yang menemani kesedihan dan kesendirian Calista selama 10 tahun ini, seolah ia mengerti akan penderitaan yang dialaminya.
Calista menghela nafas berat, “Pada akhirnya menyerah adalah pilihan terbaik.”
...****************...
Pagi harinya, terlihat Calista tengah bersiap-siap untuk memulai pekerjaannya, ia duduk di meja rias dengan Elisha dan Alie yang tampak sibuk mendandaninya,
“Yaang Mulia apa anda benar-benar hanya akan menggunakan mahkota saja?” tanya Daisy.
Calista mengangguk, “Ya, Daisy. Pasangkanlah mahkota itu di atas kepalaku,”
“Baik Yang Mulia.”
Daisy tanpa ragu memasangkan mahkota dengan permata merah itu ke atas kepala Calista. Ya, meski Calista hanya mengenakan mahkota, kecantikannya benar-benar tak dapat ditutupi. Auranya sebagai seorang permaisuri menguar jauh meski ia hanya duduk diam.
Akan tetapi walaupun begitu, mereka bertiga tak dapat menutup mata akan permaisuri yang hanya mengenakan mahkota, kesedihan dan rasa iba memenuhi ketiganya.
Ya, di Lezarde jika seorang permaisuri hanya memakai satu mahkota tanpa menggunakan perhiasan, itu adalah tanda jika ia menyerah akan posisinya sebagai permaisuri. Jika saat itu muncul masalah baik itu kecil atau pun besar, maka ia akan langsung turun dari kursinya.
Karena emas atau perhiasan sendiri melambangkan kekayaan dan kejayaan, itu sebabnya setiap permaisuri Lezarde harus memakai perhiasan, sesuai dengan seberapa majunya kerajaan tersebut di bawah kepemimpinan sang suami.
Aturan itulah yang selalu Calista pegang dan patuhi, aturan yang paling sering diingatkan permaisuri terdahulu padanya.
Katanya-katanya pun masih sangat jelas di ingatan Calista.
“Seorang permaisuri adalah gambaran dari suaminya sendiri, untuk itulah kau harus menjadikan aturan sebagai pedoman,”
“Jika kau ingin menajdi permaisuri sempurna yang dicintai, baik itu cara berpakaian, bersikap, dan berbicara kau harus mengikuti aturan, Calista.”
Setelah selesai bersiap, Calista disibukan dengan setumpuk kertas di mejanya, ia terkejut kala putranya tiba-tiba datang berkunjung.
“Ibu!” teriak sang anak sembari membuka pintu kamar.
Calista mendongak ke arah putranya, “Theo?”
Theodore yang memasang wajah khawatir pergi menghampiri sang ibu.
“Ibu, kudengar kemarin malam kau diserang pembunuh bayaran. Apa ibu terluka? Apa ada bagian tubuh ibu yang sakit?”
“Jika ibu sakit, tolong jangan banyak bekerja, aku tidak ingin ibu seperti kemarin lagi.”
Calista menatap lekat wajah putranya yang hampir menangis, wanita itu tersenyum sembari mengusap rambut Theodore.
“Tenanglah Theo, berkatmu ibu tak terluka sedikit pun.”
“Jangan terlalu khawatir pada ibu.”
“Ibu, aku takut jika kau meninggalkanku. Bukankah ibu sudah berjanji untuk tidak meninggalkan Theo.”
“Ya, sayang. Ibu tidak akan meninggalkan Theo, Theodore adalah kebahagiaan ibu, bagaimana bisa ibu meninggalkan Theo.
Calista mengangkat Theodore ke pangkuannya dan menenangkan putranya itu.
“Padahal Ayah sudah berjanji untuk melindungi ibu, kenapa dia tidak menepati janjinya?”
“Theo, ayahmu lah yang menolong ibu. Bahkan dia sampai terluka karena mengalahkan para penjahat itu.”
“Ayah terluka?”
Calista mengangguk, “Karna melindungi ibu, ayahmu tertusuk pisau.”
...****************...
Setelah keluar dari kamar Calista, raut kesedihan masih terlihat di wajah Theodore, di tengah perjalanan menuju istana pangeran, ia bertemu dengan Aaron.
“Pangeran Theodore,”
Theo yang berjalan menunduk itu pun mendongakkan wajahnya, “Paman. Selamat pagi,” sapanya tanpa semangat.
“Theodore ada apa denganmu? Pagi-pagi begini kau sudah memasang wajah penuh kesedihan seperti itu. Apa karena berita hari ini?”
Theodore tak membalas, ia kembali menununduk.
“Baiklah, maukah Theo menemani paman untuk jalan-jalan di taman, mungkin paman dan Theo bisa bertukar cerita.”
Anak laki-laki itu pun mengangguk setuju, bersama Aaron keduanya pergi menuju taman, untuk sesaat keheningan menguasai, tetapi kemudian Theodore mulai berbicara.
Sorot mata sendunya menatap bunga mawar yang tumbuh subur di taman.
“Paman aku takut kehilangan Ibu.”
“Kenapa? Bukankah mereka selalu bersamamu?”
“Paman para pelayan saja tahu seperti apa keluarga ini.”
“Sekarang aku selalu takut jika ibu pergi, aku takut dia akan meninggalkanku sendirian.”
“Hei, apa yang Theodore takutkan, ibu dan ayahmu kan sangat menyayangimu, mana mungkin mereka akan meninggalkanmu.”
Manik mata Theodore berpindah menatap Aaron, “Paman aku bukanlah anak bodoh, sampai-sampai tidak tahu arti dari hanya menggunakan satu mahkota.”
“Berpura-pura seolah tak terjadi apapun adalah hal yang paling menyakitkan, paman.”
“Dulu ibu selalu berusaha untuk menjadi permaisuri yang sempurna, tapi apa yang ibu dapatkan sebagai gantinya hanyalah hinaan.”
“Sekarang ibu sudah menyerah, hanya tinggal menunggu waktu baginya untuk turun dari tahta, Paman.”
“Dia akan turun dari kursi permaisuri, apa menurut paman dia akan tetap di sini? Pasti ibu akan pergi dan meninggalkanku dengan ayah.”
“Hei, kenapa Theo berpikiran buruk, ibumu itu sangat menyayangimu. Apa pun yang terjadi di masa depan, dia tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Meski Aron menucapkan kata-kata penghibur, wajah Theodore masih murung.
“Theo bagaimanana jika kita pergi ke luar istana? Mungkin saja kau bisa bertemu dengan Isabela.”
Theodore menggeleng, “Hari ini aku masih harus mengikuti banyak kelas, Paman.”
Di sisi lain, di istana selir. Selene yang berada di kamarnya tampak gusar, ia membanting seluruh barang ke lantai untuk meluapkan kekesalannya.
“Kenapa semua jadi begini!”
“Kenapa harus seperti ini!”
“Aku tidak akan membiarkannya hidup tenang. Aku akan membalasnya!” teriak Selene sembari melemparkan sebuah vas.
Setelahnya, Selene terdiam sembari mengigit bibirnya, memikirkan rencana apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
“Semua sudah keluar dari rencana awal, akan sangat sulit bagiku menemukan cara.”
“Dia, semoga dia bisa cepat kembali, dan membantuku membereskannya.”
sblmnya aku mendukung Aaron, skrg males banget