HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Cuaca panas, terik matahari memang sama sekali tak bersahabat kali ini. Bahkan Ibra yang berada di ruangan yang sejuk pun merasakan panasnya.
"Aaaeeehh, sialan!! Kenapa harus melihat yang begitu," sesal Ibra memukul kepalaya pelan, otaknya tak bisa diajak kompromi.
Panas yang tadi hanya sebatas menyerang kulit, kini menjadi panas yang berbeda dan tak dapat Ibra defenisikan. Gerah, dari dalam dan masih menyiksa walau dia sudah membuka beberapa kancing kemejanya.
Ibra memejamkan mata, berharap otaknya dapat melupakan bagaimana penampilan Kanaya. Rambut acak-acakan,wajah ngantuk, bibir merah dan sempat ia gigit masih berputar-putar dalam benak Ibra.
"Hentikan, Ibra ... kenapa imanmu tipis sekali."
Entah karena pernah merasakannya atau kenapa, biasanya Ibra mampu menahan dan tidak terlalu dengan banyak wanita meski sudah sengaja diperlihatkan.
Dan kali ini berbeda, meski Kanaya mungkin tak sengaja dan tak sadar bagaimana penampilannya, Ibra justru berpikir Kanaya sengaja menyiksa batinnya dengan cara yang begini.
"Kau harus jadi milikku, Kanaya."
Tekad Ibra semakin kuat, pria itu kini beranjak berdiri dan menghubungi Gavin untuk tugas yang lebih mendesak dan harus dia lakukan.
Mondar mandir dengan langkah pelan, Ibrahim menatap pemandangan kota yang sepanas itu di balik kaca. Hiruk pikuk perkotaan, membuat otaknya semakin panas dan tak memiliki obat lain selain yang sempat ia pakai tiga minggu lalu, siapa lagi kalau bukan Kanaya.
"Persiapkan perniakahanku, Gavin ... secepatnya."
Matanya menerawang jauh, jelas saja bisa sebenarnya. Mengingat identitas dan dokomen penting Kanaya sudah ia kantongi sejak awal mereka meninggalkan rumah Kanaya. Tak tanggung, keluarga Kanaya mengusir dengan membuang semua dokumen penting terkait hidup Kanaya.
Mungkin jika wanita itu tahu, marah sudah pasti. Akan tetapi, malam itu yang Ibra pikirkan hanya bagaimana cara mengikat kanaya lebih cepat. Bagaimana cara agar wanitanya tidak memliki kesempatan untuk berlari walau hanya sejengkal darinya.
"Menikah? Anda tidak salah bicara, Tuan?" sahut Gavin di seberang sana, semua ini mendadak dan Gavin merasa Ibra tengah bercanda.
"Aku tidak memintamu bertanya, lakukan saja," tuturnya dingin dan merasa pertanyaan Gavin lebih memgganggu dari apapun, ia tak suka jika memerintah kemudian banyak bertanya.
Mendaftarkan perkawinan mereka ke kantor urusan agama, sebenarnya mudah sekali bagi Ibra. Namun yang ia maksudkan meminta bantuan Gavin untuk persiapan yang lebih matangnya.
Selesai menghubgi Gavin, pria itu kini berlalu pergi. Kerinduan ini tak bisa ia tahan pada akhirnya. Baru berpisah beberapa jam namun Ibra serasa mau gila, apalagi setelah melihat wajah ngantuk Kanaya di ponselnya.
Situasi di kantor belum baik-baik saja pasca tertangkapnya Wedirman oleh Ibra. Namun untuk hal itu, ia tak mau ambil pusing dulu karena kini kepalanya lebih pusing oleh hal yang lain.
Pria itu berjalan dengan wibawa yang selalu ia pertahankan, senyum yang sama sekali tak ia perlihatkan, dan langkah pasti yang membuatnya dipenuhi kekaguman.
"Kanaya, kamulah yang bertanggung jawab dalam hal ini," desis Ibra sembari mulai melajukan mobilnya, perlahan namun pasti dan Ibra melaju dengan kecepatan yang lama-lama kian meninggi.
-
.
.
"Siapa?"
Kanaya gugup luar biasa, Siska berpesan dirinya pulang malam. Dan ini baru hendak menjelang sore, siapa yang bertamu, pikir Kanaya heran.
Dengan jantung yang bergemuruh, takut sekali jika yang datang adalah renternir. Ragu, namun tak berhenti hingga saat ini.
"Bukain nggak ya?" tanya Kanaya pada diri sendiri dan sungguh segugup ini.
Pelan-pelan, jemari lentiknya membuka kunci pintu. Ia tak bisa berpikir jernih saat ini, baginya semua orang bisa saja berbuat jahat dan tidak beradab.
Ceklek
"Boleh aku masuk?"
Di luar dugaan, yang ia lihat kini adalah Ibra yang berdiri dengan mata tajam ke arahnya. Pria itu masih sangat rapi, lebih rapi daripada ketika mengantarnya tadi pagi.
"Ke-kenapa kesini? Kan belum sehari," ucap Kanaya heran, dirinya merasa Ibra melanggar janji, bukankah dia berkata akan menjemput Kanaya beberapa hari lagi.
"Masih sendiri?" Bukannya menjawab, Ibra justru balik Bertanya.
Begitu Kanaya mengangguk, pria itu menerobos masuk tanpa izinnya. Menutup pintu dengan sekali gerakan, dan jelas saja Kanaya bingung melihat kelakuan Ibra.
"Kamu kenapa?"
"Bukannya harus dikunci, Hm?" Ibra bertanya dengan tatapan yang kini berbeda.
Grep
Dalam waktu satu detik tangan Ibra sudah melingkar dipinggang Kanaya. Pria itu menariknya kuat dan tubuh mereka kini tiada berjarak. Kanaya mendongak lantaran tinggi Ibra yang memang jauh berbeda darinya, menatap Ibra panik dan berusaha melepaskan pelukan pria itu.
"Ibra, ap-apa yang kamu lakukan?" tanya Kanaya gugup dan debar jantungnya sudah lebih heboh daripada petasan tahun baru.
"Kamu menggodaku sebelumnya, tanggung jawab, Naya." Ibra mengikis jarak antara wajahnya dan wajah Kanaya, perlahan menunduk dan menatap lekat manik indah Kanaya.
"Lep-lepaskan aku!! Tanggung jawab apanya, Ibra? Aku yang hamil kenapa kamu yang minta tanggung jawab," sergah Kanaya menjauhkan wajahnya, menahan dada Ibra dengan kedua tangannya, namun rasanya percuma karenga tangan kanan Ibra sigap mengambil langkah.
"Bukan masalah itu, perihal kamu hamil aku sudah janji tanggung jawab, ini lain persoalan Kanaya sayang."
Demi Tuhan dia merinding, Ibra semakin mengeratkan pelukannya bahkan membuat Kanaya meraskan sesak saat ini. Kenapa juga dia bertemu dengan manusia semacam ini.
"Ibra, sadar ... kamu lupa ini dimana?"
"Sadar, apartemen temannu, dia sedang pergi dan pintunya sudah aku kunci." Seringainya tipis, tatapan mata sendu seakan menuntut sesuatu, dan tangan mulai tak bisa dikondisikan.
"Jangan gila, kamu membuatku sesak."
"Tapi milikku lebih sesak, Kanaya," bisiknya persis di telinga Kanaya, dasar sinting luar biasa, pikirnya.
TBC