Rhys Alban, terpaksa menikah dengan wanita bernama Celine Danayla Matteo, demi mempertahankan harta milik Keluarga Alban. Ia tak mau harta milik keluarganya jatuh ke tangan asisten pribadi Daddynya ataupun pada dinas sosial.
Celine yang sangat senang, menerima pernikahan tersebut, bahkan ia memaksa Rhys untuk menyatakan cinta padanya agar ia tak membatalkan pernikahan itu.
Namun, pernikahan yang didasari dari perjodohan tersebut membuat cinta Celine bertepuk sebelah tangan, juga membuat dirinya bagai hidup di dalam sangkar emas dengan jerat yang semakin lama semakin melukainya.
Hingga semuanya itu meninggalkan trauma besar dalam dirinya, pada cinta masa kecilnya. Apakah ia mampu memutus benang merah yang telah mengikatnya lama atau justru semakin membelit ketika ingatan Rhys kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pansy Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22
“Kita akan pergi ke Paris minggu depan,” kata Lila pada Eve.
“Ahhh benarkah? Aku benar-benar tidak sabar untuk segera memulai proyek film itu. Kamu bisa bayangkan, karirku semakin luar biasa dan fotoku akan ada di mana-mana,” kata Eve.
“Tapi jangan lupakan kalau saat ini kamu sedang hamil. Kamu hanya punya waktu 3 bulan sebelum perutmu yang membuncit akan terlihat,” Lila berusaha mengingatkan Eve.
“Ahhh sialannn sekali anak ini! Aku harus segera meminta Rhys menikahiku, kemudian aku bisa melakukan sesuatu agar anak ini hilang dari perutku. Aku tak mau memiliki anak di saat karirku mulai menanjak.”
“Kamu akan menggugurkannya?” tanya Lila tak percaya.
“Ya. Jika aku telah mendapatkan Rhys, maka anak ini sudah tak dibutuhkan lagi keberadaannya,” kata Eve dengan santai.
Lila tak percaya bahwa Eve akan setega itu. Bukankah bagaimanapun juga itu adalah anaknya sendiri. Gila! Lila menganggap ini sudah gila jika melakukan itu pada darah dagingnya.
**
“Aku tidak mau tahu, Finn. Cari dia, di manapun dia berada, pastikan kamu menemukannya!” perintah Rhys.
Ia sudah tak kuat lagi jika tak melihat Celine. Setiap kali ia kembali ke rumah, hatinya semakin terasa kosong. Bahkan ia tak mengijinkan siapapun masuk ke dalam kamar tidurmya, selain pelayan yang ia izinkan untuk membersihkan.
“Di mana aku harus mencarinya, Rhys?” tanya Finn.
“Ke mana saja.”
“Aku sudah mencarinya di kediaman orang tuanya, tapi nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan siapapun di sana,” kata Finn.
“Berarti bukan di sana. Aku ingin dia ditemukan. Meskipun kamu harus mencarinya ke seluruh dunia, lakukanlah!” ujar Rhys.
Ya ampun, masa tiba-tiba asisten pribadi berubah jadi detektif sih? - batin Finn.
Namun, pada akhirnya Finn menyewa detektif untuk mencari keberadaan Celine. Ia tak ingin tugas dari Rhys mengganggu semuanya.
**
Sudah 1 minggu ini Celine berada di Desa Lauterbrunnen. Pemandangan yang begitu indah, hawa yang sejuk, serta penduduk yang sangat ramah, membuat Celine nyaman dan tenang di sana.
Hoekkk … hoekkk …
Tiba-tiba saja pagi itu berubah menjadi kelabu. Gejala yang dialami Celine, membuatnya yakin kalau ia sedang hamil. Ia membeli sebuah testpack di minimarket milik Aunty Giza dan memeriksakan dirinya.
“Bagaimana?” tanya Aunty Giza.
“Positif,” jawab Celine.
“Jangan bersedih,” kata Aunty Giza.
“Aku tidak sedih, Aunty. Aku justru bahagia karena sekarang aku tak sendiri. Aku memiliki dia yang akan menemani hari-hariku.”
“Kamu juga harus menjadi wanita yang kuat, Lin. Kamu tak boleh terus bersedih, yakinlah bahwa akan ada pelangi setelah badai,” Aunty Giza yang telah mengetahui cerita hidup Celine, hanya bisa menguatkannya.
“Aunty, apa di sini ada sekolah?”
“Tentu saja ada, memangnya kenapa?”
“Aku ingin melamar pekerjaan menjadi guru. Sejak dulu aku sangat menyukai anak-anak dan aku terpaksa meninggalkan pekerjaanku dulu karena menikah,” jawab Celine.
“Aunty akan membantumu. Kebetulan, putra Aunty menjadi kepala sekolah di sana.”
“Benarkah?”
“Ya, besok kita akan menemuinya ya,” Aunty Giza sangat senang dengan keberadaan Celine, bahkan menganggap Celine sebagai putrinya sendiri.
Celine memandang ke luar jendela. Kini yang ada dalam pikirannya hanya dirinya dan anak yang ada dalam kandungannya. Ia tak ingin memikirkan masa lalunya, karena rasanya terlalu sakit.
**
Hoekkk … hoekkk …
Sudah beberapa kali Rhys bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan apa yang dimakannya. Pagi ini, perutnya serasa diaduk hingga ia tak kuasa menahan rasa mualnya. Wajah Rhys juga terlihat sangat pucat karena sudah beberapa hari ini ia tak naffsu makan.
“Rhys, makanlah sedikit,” ujar Finn yang kini berada di dalam kamar tidur Rhys.
“Aku tidak mau.”
“Jangan seperti anak kecil. Perut kamu itu kosong. Akan berbahaya untukmu jika kamu tidak makan.”
“Biarkan saja. Aku …,” Rhys memegang kepalanya dengan kencang. Tiba-tiba saja rasa sakit di kepalanya datang dan ia tak bisa menahannya. Dirinya yang tengah bersandar pada headboard pun merasa oleng dan akhirnya jatuh hingga tak sadarkan diri.
Finn yang melihat itu langsung mendekati Rhys dan mengguncang tubuhnya, “Rhys, bangun! Jangan bercanda! Ayo, bangunlah!”
Finn membantu Rhys kembali ke tempat tidur, kemudian ia meminta supir untuk menyiapkan mobil dan memanggil petugas keamanan untuk membantunya mengangkat tubuh Rhys ke mobil. Ia akan membawa Rhys ke rumah sakit.
“Ada apa dengannya?” tanya Aunty Anna yang melihat keadaan Rhys.
“Ia pingsan, sepertinya ia kelelahan,” jawab Finn seadanya.
“Bagaimana kamu tidak kelelahan jika kamu mencari uang, sementara wanita ular itu hanya menghabiskan uangmu,” gumam Aunty Anna sambil melihat kepergian Finn dan Rhys.
Ia mengambil ponselnya dan ingin menghubungi suaminya. Ia harus memberitahukan padanya tentang keadaan Rhys yang notabene masih keponakannya. Namun, berkali-kali ia mencoba, selalu gagal.
“Ke mana sih dia? Apa pekerjaannya di perusahaan begitu banyak sampai-sampai mengangkat telepon dariku saja tidak bisa?” Gerutu Aunty Anna yang kemudian melemparkan ponselnya ke sofa.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Finn terus memperhatikan Rhys, karena ia sungguh mengkuatirkan sahabatnya itu.
Sebelum sampai, Finn telah menghubungi pihak rumah sakit untuk menyiapkam ruangan untuk Rhys. Keluarga Alban adalah pemilik rumah sakit itu, tentu saja mereka akan mendahulukan pemilik sekligus pewaris satu-satunya Keluarga Alban dibanding pasien yang lain.
Rhys langsung dibawa ke bagian gawat darurat san mendapatkan penanganan, hingga menjadikannya pusat perhatian. Seorang wanita yang sedari tadi tengah berdiri di bagian administrasi, menatap hal itu dengan tajam. Ia pun langsung tak terima dengan semua itu.
“Jadi ini yang kalian maksudkan adil?!” teriak wanita itu, membuat dirinya-lah kini yang menjadi pusat perhatian.
“Maaf, Nona. Tapi ia adalah pemilik rumah sakit ini,” jawab salah seorang staf administrasi.
“Jadi kalian mendahulukan pemilik rumah sakit ini, tapi menelantarkan kami pasien yang sudah mengantri dari tadi dan membutuhkan penanganan segera?!” wanita itu sungguh marah karena ia yang datang sejak 1 jam yang lalu, hanya diacuhkan saja karena menggunakan program bantuan pemerintah.
Ia harus bolak-balik ke bagian administrasi untuk mengecek apakah gilirannya sudah tiba. Ia yang tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari bagian administrasi, langsung mendatangi Finn.
“Hei kamu! Apa kamu anak pemilik rumah sakit ini juga?” tanyanya dengan ketus dan tatapan tajam.
“Ada apa?” tanya Finn yang kini tengah mengkuatirkan keadaan sahabatnya.
“Kalian menyelak antrian. Jangan mentang-mentang pemilik, lalu seenaknya saja. Apa karena kami irang miskin jadi diacuhkan sejak tadi?!”
Finn yang mendapatkan tatapan dari sejumlah orang pun tak bisa menjawab. Ia yang sedang bingung pada akhirnya pergi ke bagian administrasi dan meminta mereka untuk segera membantu para pasien itu. Setelah Finn melakukan itu, para pasien yang sedari tadi mengantri pun mulai dilayani.
“Sudah. Aku sudah membantumu,” kata Finn pada wanita itu.
“Dan aku tak akan berterima kasih!” wanita itu memutar tubuhnya dan kembali mengantri untuk mendapat giliran periksa.
🌹🌹🌹