Berawal dari kesalahan yang Faiz Narendra lakukan di masa lalu, membuat hidup Keluarga Narendra terancam bahaya.
Berbagai teror, dan rentetan penyerangan dilakukan secara diam-diam, oleh pelaku misterius yang menaruh dendam kepadanya.
Namun bukan hanya pelaku misterius yang berusaha menghancurkan Keluarga Narendra.
Konflik perebutan pewaris keluarga, yang dilakukan oleh putra sulungnya, Devan Faiz Narendra, yang ingin menjadikan dia satu-satunya pewaris, meski ia harus membunuh Elvano Faiz Narendra, adik kandungnya sendiri.
Sedangkan Elvano yang mulai diam-diam menyelidiki siapa orang yang meneror keluarganya. Tidak sengaja dipertemukan, dengan gadis cantik bernama, Clarisa Zahra Amanda yang berasal dari keluarga sederhana, dan kurang kasih sayang dari ayahnya selama hidupnya.
Ayah Clarisa, Ferdi tidak pernah menyukai Clarisa sejak kecil, hanya karena Clarisa terlahir sebagai anak perempuan. Ferdi lebih menginginkan bayi laki-laki untuk meneruskan keturunannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laksamana_Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Hari ini adalah hari yang tidak biasa bagi Elvano. Ia baru saja menerima pesan dari Devan, untuk bertemu di area bela diri milik keluarga Narendra.
Sebenarnya Elvano merasa heran dengan permintaan kakaknya tersebut, namun tanpa ragu-ragu ia langsung menuju ke tempat lokasi yang sudah ditentukan.
Sesampainya di tempat tersebut, Elvano melihat kakaknya, yang sudah menunggu dengan senyum ramah di wajahnya.
"Akhirnya kamu datang juga"ucap Devan sambil mengusap rambut Elvano dengan lembut.
Kesambet apaan ni orang, tumben-tumbenan manis kek gini, biasanya juga kek iblis, batin Elvano yang merasa aneh melihat perlakuan kakaknya itu
"Emm, iya kak. Maaf aku sedikit terlambat, jalanan macet tadi" balas Elvano tersenyum canggung.
"Gak papa, kalau gitu gimana kalau kita berduel, aku ingin melihat sejauh mana kemampuanmu sekarang" ucap Devan dengan penuh semangat.
"Hah! Berduel sama kakak?, ah enggak kak, gak mau" tolak Elvano
"Kenapa?" tanya Devan
"Ya karena kakak pasti menang, terlebih aku sama sekali tidak pandai bela diri" balas Elvano membuat Devan tertawa.
"Hahaha, ya sejak kapan adik kakak ini pandai berbohong hmm" ucap Devan sambil mengacak-acak rambut adiknya.
"Aaa, kakak jadi berantakan ni rambut ku" rengek Elvano seperti anak kecil.
"Hahaha, ya sudah ayo!" ajak Devan dan membuat Elvano tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kakaknya.
Mereka berdua berjalan menuju ke tengah lapangan yang begitu luas ,dan bersiap untuk memulai duel mereka.
"Mari kita mulai" ucap Devan yang sudah siap mengambil posisi bertarung.
"Iya kak" balas Elvano yang langsung menyerang maju.
Bugh
Bugh
Bugh
Mereka berduel dengan penuh semangat dan konsentrasi. Setiap kali satu di antara mereka berhasil melakukan serangan, yang lainnya pun dengan cekatan menghindari serangan tersebut.
Pertarungan mereka berlangsung cukup lama dan terlihat bahwa mereka berdua memiliki skill bela diri yang sama kuatnya.
Hingga akhirnya Devan menemukan cela dan berhasil menendang kaki kiri Elvano hingga membuatnya terjatuh.
Bruak
"Argh" ringis Elvano Melihat Elvano yang sudah terjatuh, dengan cepat Devan ingin memukul wajah Elvano dengan pukulan keras.
Namun, sesaat sebelum pukulan itu sampai ke sasaran, Devan tiba-tiba menghentikan gerakannya.
"Kenapa berhenti kak?" tanya Elvano yang merasa bingung dengan tindakan kakaknya itu
Devan tersenyum tipis dan menarik kepalan tangannya beralih mengulurkan tangannya untuk membantu Elvano berdiri.
"Aku berlatih bela diri bukan untuk menyakitimu, Elvano. Aku melakukannya untuk melindungimu, adik kesayangan ku" balas Devan tersenyum manis membuat hati Elvano tersentuh.
Selama ini, ia selalu merasa bahwa kakaknya tidak peduli dan tak sayang padanya. Namun ternyata ia salah.
"Aku pikir kakak tidak perduli dengan ku" ucap Elvano.
"Lah, kata sapa?" tanya Devan.
"Itu buktinya kemarin, kakak menolak ide ku yang ingin bergabung di perusahaan ayah" balas Elvano.
Devan menghela nafas " El, dengerin kakak. Kamu masih terlalu muda untuk masuk kedalam dunia bisnis. Bisnis bukan mainan El, bisnis itu perang" ucap Devan memberi pengertian.
"Lebih baik gunakan waktu mu untuk bermain-main, nikmati masa muda mu sebelum kamu dewasa El. Ingat masa muda gak akan kembali lagi setelah kamu dewasa nanti" lanjutnya.
"Dan masa penyesalan pasti akan tiba di hari tua kak, jika di masa muda kita cuma bermain dan berleha-leha tanpa mempersiapkan masa depan" balas Elvano
"Aku memang masih muda. Tapi kak, jika aku tidak belajar dari sekarang, lalu kapan aku bisa berhasil?" tanya Elvano.
"Kamu serius ingin masuk ke perusahaan?" tanya balik Devan membuat Elvano mengganguk.
"Baiklah jika itu memang kemauanmu, tapi aku ingin kamu belajar ke luar negeri,” ucap Devan.
Elvano menatap heran kakaknya, “Kenapa kak? Mengapa kakak ingin mengirimku ke luar negeri?”
Devan menghela nafas sebelum menjawab "Kamu ingin masuk kedalam perusahaan kan?" tanya Devan.
"Iya kak" balas Elvano
"Makanya kakak ingin kamu belajar ke luar negeri agar kelak bisa mengambil alih bisnis keluarga.” ujar Devan
"Apa? Mengambil alih bisnis keluarga?” tanya Elvano kaget. Devan menganggukkan kepala,
“Ya, kakak butuh seseorang yang bisa mengelola bisnis keluarga dengan baik. Dan menurut kakak, kamu adalah orang yang tepat untuk itu.”
"Kakak minta maaf kemarin sempat meragukanmu dan mengusirmu dari kantor. Kakak juga sudah dengar jika kemarin kamu membuat pertemuan investor sukses dan mendapat tanggapan baik dari mereka"
"Dan kalau di pikir-pikir" Devan meletakan tangan kanannya di kepala Elvano.
"Kamu lebih cocok jadi penerus ayah dibanding kakak" lanjutnya sambil tersenyum manis.
Elvano terdiam sejenak, mencerna semua kata-kata yang baru saja didengarnya. Dia merasa tersanjung, namun juga bingung dengan tiba-tiba kakaknya mengusulkan hal tersebut.
“Tapi kak, aku belum siap untuk belajar ke luar negeri,” Elvano mencoba menolak.
“Kamu harus siap, Elvano. Ini adalah kesempatan emas untukmu.” ucap Devan
Tanpa Elvano sadari, di balik senyum manis Devan, tersimpan niat jahat untuk menjauhkan Elvano dari bisnis keluarga.
Dan menjadikan Devan satu-satunya pewaris keluarga Narendra, membuat kekuasaan, dan kekayaan keluarga tetap berada dalam genggamannya.
"Hmm, baiklah nanti aku pikirkan kak" jawab Elvano
"Bagus, gitu baru adik kakak" ucap Devan
Drrt...
Suara handphone Devan berdering mengalihkan obrolan kakak beradik itu. Devan melihat kontak nama pemanggil dan melihat jika itu sekretarisnya yang menelpon.
"El, kakak pergi dulu ya, ada rapat mendadak" ucap Devan.
"Iya kak hati-hati" balas Elvano dan dibalas anggukan Devan.
Devan bergegas masuk ke dalam mobil dan segera mengangkat teleponnya.
"Kevin, ada apa?" tanya Devan.
"Maaf tuan, situasi di sini sangat genting. Banyak warga yang berbondong-bondong demo dan memblokir akses jalan hingga membuat truk dan alat berat lainnya tidak bisa masuk" ucap Kevin dengan suara gemetar.
"Ck, dasar keras kepala sekali mereka" geram Devan sambil menekan gas mobilnya.
"Tunggu saya, saya akan kesana" ucap Devan mematikan sepihak panggilan Kevin.
Mobil Devan melaju dengan sangat cepat menuju lokasi demo yang berada di wilayah rencana pembangunan pabrik teknologi.
************
Motor Clarisa berhenti di salah satu kampus terkenal yang terletak di pusat kota. Kehadirannya di kampus ini tidaklah tanpa alasan.
Clarisa Zahra Amanda, gadis berusia 19 tahun, berhasil masuk ke kampus tersebut melalui jalur prestasi dan mendapatkan beasiswa penuh.
Selain itu, paras cantiknya telah membuat dia menjadi primadona kampus, yang banyak diperhatikan oleh para mahasiswa dan mahasiswi lainnya.
Clarisa memilih untuk mengambil fakultas ekonomi di kampus ini, karena memiliki minat yang besar dalam dunia bisnis dan keuangan.
Sejak awal kuliah, Clarisa telah menunjukkan potensi dan kecerdasannya dalam mata kuliah ekonomi.
Ia juga aktif mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler di kampus, sehingga reputasinya semakin meningkat di antara sesama mahasiswa.
Namun, di balik penampilannya yang cantik, kecerdasan, dan juga ketenarannya, Clarisa hanyalah sebuah robot yang dipaksa untuk menekan perasaanya.
Di kampus ia bisa tertawa bebas bersama teman-temannya, namun jauh di hatinya tersimpan rasa kesedihan dan kurang kasih sayangnya seorang ayah.
Clarisa memarkirkan motornya di depan gerbang kampus, langkahnya terasa berat saat ia melangkah memasuki area kampus.
Matahari terik menyengat kulitnya yang putih, membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Dia merapikan rambut panjangnya dan mengatur kembali baju lengan panjang yang dipakainya.
Saat melintasi area kampus, Clarisa tiba-tiba merasa sepi. Suasana sepi di kampus yang biasanya ramai dengan mahasiswa membuatnya merasa sedikit cemas.
Namun, rasa cemas itu segera sirna ketika dia melihat sosok familiar di kejauhan. Reva, teman satu fakultasnya, sedang duduk di bangku taman sambil memainkan ponselnya.
"Reva!"panggil Clarisa sambil melambaikan tangan. Reva mengangkat kepalanya dan tersenyum cerah melihat Clarisa mendekat.
"Hai, Clarisa! baru dateng lo" tanya Reva.
"Iya ni baru sampai" balas Clarisa dan duduk di samping Reva.
"Emm gitu, eh tapi bentar itu mata lo kenapa? Lo abis nangis ya?" tanya Reva yang melihat kedua mata Clarisa yang sedikit sembam.
Clarisa terperanjat mendengar pertanyaan Reva. Dia berusaha tersenyum sebaik mungkin agar Reva tidak curiga.
"Ah, bukan apa-apa, Rev. Gue hanya sedikit lelah karena kurang tidur semalam. Lo tahu kan tugas akhir yang harus diserahkan minggu depan?" tanya Clarisa, membuat Reva mengangguk.
"Iya gue tau" balas Reva
"Nah, masih banyak yang harus gue persiapkan" ucap Clarisa mencoba membuat alasan agar Reva percaya.
Reva mengangguk mengerti "Ya, gue juga ngerasai hal yang sama. Tugas akhir memang selalu membuat kita stres. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, Cla. Kesehatan lo lebih penting daripada apapun" ucap Reva.
Clarisa tersenyum tipis mendengar kata-kata Reva. Dia merasa lega karena Reva tidak bertanya lebih lanjut tentang matanya yang sembab.
"Makasih, Rev. Gue akan mencoba untuk lebih memperhatikan waktu istirahat. Terus bagaimana dengan lo? tugas akhir lo apa kabar?" tanya Clarisa
"Tenang, sudah hampir selesai. Tinggal revisi kecil-kecil saja. Gue yakin lo juga bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. Ayo, semangat!" ucap Reva tersenyum manis, dan mereka melanjutkan obrolan tentang kuliah, tugas akhir, dan hal-hal lain yang biasa dibicarakan oleh mahasiswa.
gak bisa berkata kata banyak